Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemerdekaan RTC] Pesan Merdeka Nenek

17 Agustus 2016   08:14 Diperbarui: 17 Agustus 2016   10:34 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan deras di malam buta selalu membuat Jono kelihatan dungu.

Bagaimana tidak, tidur di dalam rumah panggung kayu beratapkan seng setiap malam di ujung pemukiman yang sesak, Jono selalu berbungkus sarung tipis pemberian nenek. Lantas deras air dari langit itu menghujam selaksa peluru yang dilepas penuh kejengkelan oleh tentara kumpeni yang kesal dengan aksi gerilya pribumi, Jono terbangun dengn tubuh gigil. Seolah pribumi yang tertangkap.

Jono terus ingat neneknya.

"Cepat selesaikan sekolahmu."

Pesan nenek beberapa tahun sebelum meninggalnya. Mulutnya penuh wangi sirih. Jono diam saja. Nenek tahu apa soal sekolah sekarang ini, huh! batinnya.

Nenek tidak tahu, sekolah sekarang isinya manusia jenis kabel putus, mudah korsleting. Ada yang tidak cocok, berkelahi. Kalau bukan guru yang menampar murid, murid sama orang tuanya yang mengeroyok guru. Untung saja belum ada aturan kepemilikan senjata api. Kalau sudah ada, bisa-bisa sekolah jadi killing field, Nek. Di halaman sekolah akan dibangun benteng dan bunker, masing-masing buat guru dan murid yang bertengkar. Gerutu Jono berlanjut dalam hati. 

"Bapakmu hanya guru rendahan. Jangan sia-siakan perjuangannya," kata nenek lagi.

Haduuh. Kalau sudah bawa-bawa bapak, Jono jadi berhenti menggerutu. "Iya Nek."

Tapi mana pernah Jono yang puber itu menaati nasehat neneknya. Jono tetaplah manusia badung nomor satu di sekolah. Tak pernah degradasi ke nomor dua, apalagi ke divisi anak-anak baik yang dengar-dengaran.

Beberapa kali Ibunya harus memenuhi panggilan kepala sekolah. Berkali-kali juga wajah lelah itu hanya tertunduk diceramahi, seperti orang tua gagal mendidik anaknya. Jono hanya mengintip dari jendela ruang kepala sekolah yang pecah setengah kacanya. Ibu Jono merelakan dirinya sebab tak mau harga diri ayah yang guru diinjak sesama guru. Dan Jono, tetap saja berlaku seperti terhadap nasehat-nasehat nenek.

Tak ada rasa bersalah apalagi bersedih melihat ibu seperti itu. Jono hanya keder kalau bapak mengetahuinya. Bukan karena takut dipukul. Jono lebih tidak bisa menerima kesalahan jika sampai bapak menangis. Mungkin karena jarang melihatnya menangis penuh sesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun