Anak muda itu datang dengan setengah tertunduk ke mejaku. Ia membawa pesanan yang baru saja selesai dimasak. Hampir tak berani menatap mataku, meletakkan sajian makan siangku pelan-pelan.
“Silahkan, Pak.”
Aku diam saja. Kuperhatikan tubuhnya dengan ketelitian yang menelisik.
Kulitnya hitam legam. Rambutnya disisir miring, pipinya tirus. Badan kurusnya ditutupi kemeja yang makin pudar warnanya. Sedang celana kain panjang yang menggantung di atas mata kaki jelas tidak pernah disentuh setrika selain juga pudar warnanya. Mungkin baju dan celana panjang itu adalah satu-satunya pakaian terbaik yang dimiliki. Anak muda ini jelas menanggung beban hidup yang tidak mudah dalam kemiskinannya. Tapi mengapa ia bertahan?
Kebiasaanku menelisik manusia yang baru kutemui memang sudah lama membiasa. Barangkali karena latar kerja sebagai perpanjangan tangan perusahaan tempatku bekerja dalam berurusan dengan orang banyak. Aku memang sering menyelesaikan orang-orang yang menolak ekspansi bisnis perusahaan, dengan cara yang baik atau tidak baik-baik.
Ya, aku bekerja pada sebuah perusahaan pengembang gedung-gedung komersil. Dan perusahaanku sekarang sedang naik daun, bisnisnya sedang berkembang. Terlebih ketika dalam pemilihan walikota kemarin kami menjadi inti kekuataan yang mendukung pihak pemenang. Sebagai imbalan beberapa rencana pengembangan kota ke dalam jejaring menara komersil diberikan kepada kami.
Sejarah memang dikendalikan mereka yang menang dan berkuasa, hahaha.
“Pak, masih ada pesanan yang belum diantar?”
Ah, anak muda itu datang lagi.
“Rasanya sudah semua.”
Dia kemudian kembali ke dapur dan aku berusaha memulai makan siangku. Berusaha?
Sejujurnya makan di warung kecil begini bukanlah hal yang kusukai, kalau bukan dengan menahan rasa jijik. Warung kecil, bahan makan yang murah, dan bukan tempat yang nyaman untuk berlama-lama. Tapi kali ini kuabaikan sejenak cita rasa kelasku. Aku harus makan di sini karena kepentingan yang lebih besar.
Warung kecil ini terletak posisi yang sangat strategis untuk rencana pembangunan gedung komersil. Ia satu-satunya kepemilikan warga yang belum dilepas. Beberapa anak buahku yang diutus untuk membeli tanah ini tidak pernah berhasil merayu pemuda kurus itu. Mereka bahkan harus kembali ke kantor dengan tanda tanya besar dan menerima omelanku yang pedas. Mengurusi warung kecil dengan pemuda kurus bodoh saja tidak becus! Padahal lulusan sekolah di luar negeri semua. Goblok.
Orang-orang muda terdidik sering lebih kaku dari halaman buku yang mereka hafal setiap bentuk hurufnya!
***
Suapan terakhir nasi goreng itu tiba juga dalam kunyahanku. Tak terasa, aku menghabiskan nasi goreng sederhana ini sebentar saja. Nasi goreng yang luar biasa nikmat. Aku tidak pernah menyantap yang senikmat ini, bahkan di restoran berkelas di manca negara pun dalam negeri yang sering menjadi lokasi membereskan transaksi bisnis dengan orang-orang pemerintah.
Dari siapa pemuda itu belajar memasak? batinku.
“Mas, sini. Sebentar.”
Pemuda itu bergegas datang. Wajahnya selintas pucat. Seperti merasa ada yang salah.
“Ada apa Pak? Maaf jika ada yang membuat kurang nyaman.”
Aku tersenyum. “Duduklah, sebentar saja Mas.”
“Nasi goreng ini nikmat sekali. Saya belum pernah menyantap yang senikmat ini. Dari mana Mas belajar membuatnya?”
Dia tersenyum, lega. Wajah tirusnya yang pucat kembali normal.
“Bapak bisa aja. Nasi goreng yang sederhana seperti ini apa nikmatnya...hehehe.”
“Saya serius. Saya sudah keliling kota-kota di dunia, makan nasi goreng di restoran Indonesia yang sudah memiliki nama besar. Tidak ada yang senikmat ini, Mas.”
“Saya belajar pada Ibu saya, Pak. Ibu saya sering membuat nasi goreng ketika kami masih kecil.”
“Ibu kamu dimana? Bapak?”
“Keduanya sudah meninggal, lima tahun yang lalu.”
Oooh. Pemuda sebatang kara. “Sudah berkeluarga?”
“Belum Pak. Saya tidak berani. Hidup seperti ini mana bisa menafkahi anak orang, hehehe.” Ia tersenyum lagi. Senyum yang menerima nasibnya. Senyum jiwa muda yang inferior.
Aku terus ingat laporan anak buahku. Baru ketahuan sekarang, mereka datang ke tempat ini dengan logika seperti pergi ke ruang tender proyek. Otaknya berisi penawaran dan bagaimana memenangkan semata. Pantas saja mereka tidak pernah berhasil. Benar-benar orang sekolahan yang kaku, lebih parah dari lembar sampul buku. Dungu!
“Mas, tidak memiliki keluarga yang lain? Adik atau Kakak? Atau mungkin, Paman, Bibi?” Rasa penasaranku makin menjadi. Sepertinya sudah waktunya masuk pada inti urusan yang membawaku ke warung kecil ini.
“Tidak ada Pak. Adik-adik sudah meninggal semua bersama Bapak dan Ibu. Kecuali saya pulang ke kampung Bapak, adik-adiknya masih ada yang hidup.”
“Hmmm...terus mengapa Mas bertahan hidup sebatang kara di sini? Tidakkah sebaiknya tempat ini dijual dan Mas bisa memulai usaha di kampung?”
Pemuda itu kemudian tertunduk. Persis seperti ketika mengantar pesanan makan siang beberapa saat yang lalu. Sepertinya jiwa inferiornya kembali bertahta lagi.
Aku menunggu jawabannya. Menunggu jiwa inferior itu bicara. Kepentingan perusahaan yang kembali mendesak-desak membuat kenikmatan nasi goreng hilang seketika. Aku kembali menjadi wujudku yang rutin: penyelesai kepentingan perusahaan!
Dia masih diam saja. Aaakh, bikin geregetan saja.
“Kenapa Mas? Mengapa tidak menjual tempat? Mengapa memilih hidup sebatang kara? Dengan uang pembelian, kau bisa memulai usaha di desa atau pindah ke kota yang lain. Mengapa kau tak mau menjual tanah ini?”
Suaraku meninggi. Suara yang sama ketika memarahi anak buahku yang pulang dengan tangan hampa dari tempat ini.
Pemuda itu mulai mengangkat wajah tirusnya. Matanya kini menatap mataku yang mulai menyala marah. Ada nyala nyali yang kini hidup di matanya.
“Saya tahu pada akhirnya Bapak akan datang sesudah mengutus anak buah yang sok tahu itu. Saya tahu tanah peninggalan Bapak saya berada dalam rencana pembangunan gedung komersil. Saya miskin Pak tapi bukan berarti tidak membaca berita di koran-koran. Saya tahu perusahaan Bapak salah satu pendukung utama walikota yang baru.”
“Bapak pasti akan datang kesini. Pasti. Dan hari ini saya jadi tahu manusia seperti apa yang mengutus anak-anak muda seperti saya demi memenuhi ambisi bisnisnya.”
Aku seperti dicekik dengan tatap mata bernyali dan ketenangan tutur kata. Tenggorokanku mendadak kering dan bulir keringat mulai muncul satu-satu di keningku. Dingin mulai merayapi tengkuk.
“Sampai mati pun saya tidak akan menjual tanah ini kepada orang seperti Anda. Saya tidak akan menyerah sekali pun Anda mengirim sejuta preman untuk meneror saya. Anda tahu kenapa?”
“Karena di dapur yang lusuh itu, Anda lihat dapur yang lusuh itu. Di situ peristirahatan Bapak, Ibu dan adik-adik. Dan, Anda ingat ini, saya juga akan beristirahat bersama mereka di situ. Sebenarnya saya berdoa orang seculas Anda mengirim preman untuk menghancurkan warung ini dan membunuh saya. Atau Anda boleh menggunakan tangan-tangan pemerintah untuk menggugat status kepemilikan tanah ini. Silahkan. Saya sudah terlalu letih untuk mengeluh dan terlalu sedih untuk bersaksi. Tapi saya akan berjuang untuk menjaga warisan orang tua saya. Saya akan melawan Anda, Tuan!!”
Rasa tercekik itu makin keras menusuk. Keringatku makin deras menetes. Baru kali ini superioritasku diremuk anak muda kurus dan miskin.
Di mata pemuda yang tadi kusangka inferior itu, kulihat api amarah yang hebat sekali. Pucat terus menebal di wajahku, keringat dingin makin tebal di tengkuk dan keningku. Selangkanganku kini basah sudah. Ketakutan yang hebat telah menderaku.
Aku kalah. Akulah yang sesungguhnya miskin dan inferior!
***
[Untuk pelayan warung yang menyimpan rasa rendah dirinya: jangan menunduk anak muda, kamu bekerja untuk sesuap nasi yang halal, berbangga dirilah!]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI