“Hmmm...terus mengapa Mas bertahan hidup sebatang kara di sini? Tidakkah sebaiknya tempat ini dijual dan Mas bisa memulai usaha di kampung?”
Pemuda itu kemudian tertunduk. Persis seperti ketika mengantar pesanan makan siang beberapa saat yang lalu. Sepertinya jiwa inferiornya kembali bertahta lagi.
Aku menunggu jawabannya. Menunggu jiwa inferior itu bicara. Kepentingan perusahaan yang kembali mendesak-desak membuat kenikmatan nasi goreng hilang seketika. Aku kembali menjadi wujudku yang rutin: penyelesai kepentingan perusahaan!
Dia masih diam saja. Aaakh, bikin geregetan saja.
“Kenapa Mas? Mengapa tidak menjual tempat? Mengapa memilih hidup sebatang kara? Dengan uang pembelian, kau bisa memulai usaha di desa atau pindah ke kota yang lain. Mengapa kau tak mau menjual tanah ini?”
Suaraku meninggi. Suara yang sama ketika memarahi anak buahku yang pulang dengan tangan hampa dari tempat ini.
Pemuda itu mulai mengangkat wajah tirusnya. Matanya kini menatap mataku yang mulai menyala marah. Ada nyala nyali yang kini hidup di matanya.
“Saya tahu pada akhirnya Bapak akan datang sesudah mengutus anak buah yang sok tahu itu. Saya tahu tanah peninggalan Bapak saya berada dalam rencana pembangunan gedung komersil. Saya miskin Pak tapi bukan berarti tidak membaca berita di koran-koran. Saya tahu perusahaan Bapak salah satu pendukung utama walikota yang baru.”
“Bapak pasti akan datang kesini. Pasti. Dan hari ini saya jadi tahu manusia seperti apa yang mengutus anak-anak muda seperti saya demi memenuhi ambisi bisnisnya.”
Aku seperti dicekik dengan tatap mata bernyali dan ketenangan tutur kata. Tenggorokanku mendadak kering dan bulir keringat mulai muncul satu-satu di keningku. Dingin mulai merayapi tengkuk.
“Sampai mati pun saya tidak akan menjual tanah ini kepada orang seperti Anda. Saya tidak akan menyerah sekali pun Anda mengirim sejuta preman untuk meneror saya. Anda tahu kenapa?”