Sejujurnya makan di warung kecil begini bukanlah hal yang kusukai, kalau bukan dengan menahan rasa jijik. Warung kecil, bahan makan yang murah, dan bukan tempat yang nyaman untuk berlama-lama. Tapi kali ini kuabaikan sejenak cita rasa kelasku. Aku harus makan di sini karena kepentingan yang lebih besar.
Warung kecil ini terletak posisi yang sangat strategis untuk rencana pembangunan gedung komersil. Ia satu-satunya kepemilikan warga yang belum dilepas. Beberapa anak buahku yang diutus untuk membeli tanah ini tidak pernah berhasil merayu pemuda kurus itu. Mereka bahkan harus kembali ke kantor dengan tanda tanya besar dan menerima omelanku yang pedas. Mengurusi warung kecil dengan pemuda kurus bodoh saja tidak becus! Padahal lulusan sekolah di luar negeri semua. Goblok.
Orang-orang muda terdidik sering lebih kaku dari halaman buku yang mereka hafal setiap bentuk hurufnya!
***
Suapan terakhir nasi goreng itu tiba juga dalam kunyahanku. Tak terasa, aku menghabiskan nasi goreng sederhana ini sebentar saja. Nasi goreng yang luar biasa nikmat. Aku tidak pernah menyantap yang senikmat ini, bahkan di restoran berkelas di manca negara pun dalam negeri yang sering menjadi lokasi membereskan transaksi bisnis dengan orang-orang pemerintah.
Dari siapa pemuda itu belajar memasak? batinku.
“Mas, sini. Sebentar.”
Pemuda itu bergegas datang. Wajahnya selintas pucat. Seperti merasa ada yang salah.
“Ada apa Pak? Maaf jika ada yang membuat kurang nyaman.”
Aku tersenyum. “Duduklah, sebentar saja Mas.”
“Nasi goreng ini nikmat sekali. Saya belum pernah menyantap yang senikmat ini. Dari mana Mas belajar membuatnya?”