Dia tersenyum, lega. Wajah tirusnya yang pucat kembali normal.
“Bapak bisa aja. Nasi goreng yang sederhana seperti ini apa nikmatnya...hehehe.”
“Saya serius. Saya sudah keliling kota-kota di dunia, makan nasi goreng di restoran Indonesia yang sudah memiliki nama besar. Tidak ada yang senikmat ini, Mas.”
“Saya belajar pada Ibu saya, Pak. Ibu saya sering membuat nasi goreng ketika kami masih kecil.”
“Ibu kamu dimana? Bapak?”
“Keduanya sudah meninggal, lima tahun yang lalu.”
Oooh. Pemuda sebatang kara. “Sudah berkeluarga?”
“Belum Pak. Saya tidak berani. Hidup seperti ini mana bisa menafkahi anak orang, hehehe.” Ia tersenyum lagi. Senyum yang menerima nasibnya. Senyum jiwa muda yang inferior.
Aku terus ingat laporan anak buahku. Baru ketahuan sekarang, mereka datang ke tempat ini dengan logika seperti pergi ke ruang tender proyek. Otaknya berisi penawaran dan bagaimana memenangkan semata. Pantas saja mereka tidak pernah berhasil. Benar-benar orang sekolahan yang kaku, lebih parah dari lembar sampul buku. Dungu!
“Mas, tidak memiliki keluarga yang lain? Adik atau Kakak? Atau mungkin, Paman, Bibi?” Rasa penasaranku makin menjadi. Sepertinya sudah waktunya masuk pada inti urusan yang membawaku ke warung kecil ini.
“Tidak ada Pak. Adik-adik sudah meninggal semua bersama Bapak dan Ibu. Kecuali saya pulang ke kampung Bapak, adik-adiknya masih ada yang hidup.”