Kutatap wajahmu.
“Hahahaha, kau menguping juga selama aku tertidur ya.”
“Mengapa kau menidurkan lelahmu dengan lagu tua begitu?”
“Aku tidak menidurkan lelah. Aku menyalakan rindu.”
“Pernahkah kau merasa kereta yang datang dari balik senja ketika malam menutup langit perjalanan adalah kereta yang membawa lelah. Di dalamnya, daging-daging yang menantang siang terkantuk-kantuk mengendapkan rindunya yang sederhana: pulang ke rumah,” terangku dengan embusan nafas yang pelan saja.
“Makanya aku tidak ke mana-mana. Tidak dengan kereta.”
Lembar halaman Orang-orang Sisilia kau tutup. Lalu menatap termenung lurus-lurus. Perubahan bahasa tubuh yang tiba-tiba saja. Aku bergegas duduk, kali ini lebih dekat dengan dudukmu.
“Kau tak punya rumah? Tak punya rindu?”
“Huuuuuft. Aku memiliki hari dalam keberlimpahan. Keberlimpahan yang tak mengharuskan kerja seperti kamu. Tak perlu berlelah dalam desak sekedar menumpang kereta untuk pulang. Tapi, di situlah lubang itu menganga: tak ada rindu di rumahku. Tak ada gairah untuk selalu pulang. Pulang bagiku seperti berkunjung ke pemakaman, ada kenangan yang awet untuk orang-orang yang sudah tiada, yang tidak bisa lagi kau peluk dan mendengar keluh kesahmu. Kau sudah mengerti mengapa Orang-Orang Sisilia menemaniku, bukan?”
Orang-orang Sisilia adalah novel sejarah dengan pelukisan manusia dan budaya yang sangat memikat tentang asal-usul keluarga mafia. Hidup berjuang di tanah yang keras dengan kekerasan yang seperti menghirup nafas. Tapi hidup seperti itu tidak membuat mereka kehilangan rindu, cinta, pengorbanan dan ikatan persaudaraan di tanah perantauan.
Haaah, perempuan muda, jeans, kemeja kotak-kotak, dan rambut panjang berponi. Kau bingung menjelaskan kerinduan pada rumah yang kini menjadi bangunan mewah tak bermakna. Aku jadi menyukuri hariku yang lelah, rindu rumah yang berjaga, hidup yang bermakna. Narasi manusia miskin yang tumbuh bertahan di mana-mana.