Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Nona yang Ingin Membunuh Senja

9 Maret 2016   09:33 Diperbarui: 9 Maret 2016   20:45 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: doovi.com"][/caption]

Kereta yang datang dari balik senja ketika malam menutup langit perjalanan adalah kereta yang membawa lelah. Di dalamnya, daging-daging yang menggulati siang terkantuk-kantuk menyalakan rindunya yang sederhana: pulang ke rumah.

Seperti aku di depan senja yang membawa kereta yang lelah. Hingga bertemu kamu yang mengajak membunuhnya.

Tidak ada yang luar biasa ketika kita hanya percaya pada yang dilihat mata. Demikian adanya kamu: nona muda, jeans lusuh dan sepatu kets yang mulai sobek di sampingnya. Gambar yang biasa pada kota yang memaksa penduduknya menyesuaikan penampilannya terus menerus. Yang barangkali berbeda hanya rambutmu. Rambut hitam panjang yang berponi dibiarkan tergerai lemas pada pundakmu yang terbungkus kemeja kotak-kotak biru. Kering keringat memberi kilau yang samar di lehermu. Dan, satu lagi yang membuatmu seperti bisa membunuh senja lelah adalah novel Mario Puzo, Orang-Orang Sisilia di tanganmu.

“Hai, bisa aku duduk di sampingmu?”

Kau terkejut. Menatapku dan memandang sekeliling. Ini bukan senja di hari kerja kantoran bukan pula hari libur yang terjepit. Tak ada tumpukan manusia yang berdesakan, hanya ada pekerja serabutan seperti aku. Ada banyak bangku yang kosong. Mengapa meminta duduk di sini, mungkin itu yang tumbuh di kepalamu.

“Oh, maaf. Aku sedang mencari teman berbincang. Stasiun memang sepi tapi kurasa itu sudah setiap hari. Bukankah mereka yang pulang kerja dengan kereta tidak pernah berbincang walau sekedar bertanya, dari mana dan mau kemana?” sambil kukirim segurat senyum memohon ijin. Ah, kota ini memaksa tampilan tubuh sibuk menyesuaikan diri dengan menggerus rasa kehangatan dalam ruang.

“Silakan. Tidak ada label tertempel kalau bangku ini warisan ayahku. Di stasiun kita tidak butuh basa-basi permisi untuk duduk.”

Jawabmu. Tersenyum kikir. Lalu kembali menikmati Orang-orang Sisilia. Nona muda yang ketus, batinku.

“Hendak ke mana?” kucoba ajukan lagi tanya. Barangkali dengan mengetahui tujuan, kita memiliki kata untuk memulai percakapan.

Kau menatap lagi. Setengah terusik, menelisik. Kembali membaca. “Tidak ke mana-mana.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun