[caption caption="Sumber: doovi.com"][/caption]
Kereta yang datang dari balik senja ketika malam menutup langit perjalanan adalah kereta yang membawa lelah. Di dalamnya, daging-daging yang menggulati siang terkantuk-kantuk menyalakan rindunya yang sederhana: pulang ke rumah.
Seperti aku di depan senja yang membawa kereta yang lelah. Hingga bertemu kamu yang mengajak membunuhnya.
Tidak ada yang luar biasa ketika kita hanya percaya pada yang dilihat mata. Demikian adanya kamu: nona muda, jeans lusuh dan sepatu kets yang mulai sobek di sampingnya. Gambar yang biasa pada kota yang memaksa penduduknya menyesuaikan penampilannya terus menerus. Yang barangkali berbeda hanya rambutmu. Rambut hitam panjang yang berponi dibiarkan tergerai lemas pada pundakmu yang terbungkus kemeja kotak-kotak biru. Kering keringat memberi kilau yang samar di lehermu. Dan, satu lagi yang membuatmu seperti bisa membunuh senja lelah adalah novel Mario Puzo, Orang-Orang Sisilia di tanganmu.
“Hai, bisa aku duduk di sampingmu?”
Kau terkejut. Menatapku dan memandang sekeliling. Ini bukan senja di hari kerja kantoran bukan pula hari libur yang terjepit. Tak ada tumpukan manusia yang berdesakan, hanya ada pekerja serabutan seperti aku. Ada banyak bangku yang kosong. Mengapa meminta duduk di sini, mungkin itu yang tumbuh di kepalamu.
“Oh, maaf. Aku sedang mencari teman berbincang. Stasiun memang sepi tapi kurasa itu sudah setiap hari. Bukankah mereka yang pulang kerja dengan kereta tidak pernah berbincang walau sekedar bertanya, dari mana dan mau kemana?” sambil kukirim segurat senyum memohon ijin. Ah, kota ini memaksa tampilan tubuh sibuk menyesuaikan diri dengan menggerus rasa kehangatan dalam ruang.
“Silakan. Tidak ada label tertempel kalau bangku ini warisan ayahku. Di stasiun kita tidak butuh basa-basi permisi untuk duduk.”
Jawabmu. Tersenyum kikir. Lalu kembali menikmati Orang-orang Sisilia. Nona muda yang ketus, batinku.
“Hendak ke mana?” kucoba ajukan lagi tanya. Barangkali dengan mengetahui tujuan, kita memiliki kata untuk memulai percakapan.
Kau menatap lagi. Setengah terusik, menelisik. Kembali membaca. “Tidak ke mana-mana.”
Tidak ke mana-mana?
Pertanyaan itu tidak kukejar jawabnya. Pikiran yang sedang meneliti kerasnya hidup di Italia Selatan tampak lebih menarik. Jadi kuambil saja hape yang belum lunas dicicil, memasang headset dan mendengar lantunan musik. Lantunan yang sering hadir manakala lelah berubah menjadi kantuk yang suntuk.
Kereta senja dari Jakarta
Berhias temaram cahaya memerah
Yang aku rindu, benar-benar rindu,
Jatuh hati ini padamu, lain orang tak ada
Dalam menutup mata, kucari jejak romantika rindu dalam lirik-liriknya. Sederhana. Sebuah nyanyi rindu yang menguatkan para penumpang kereta menjalani lelah yang sama hampir setiap hari. Hingga aku tertidur dalam duduk.
Entah berapa lama.
***
Colekan agak dalam menyentuh pundak membuyarkan tidur. Terperangah dengan mata memerah, kulihat duduk kita berjarak selengan jangkauan.
“Keretamu sebentar lagi tiba.”
Aku mengucak mata, mengembalikan sadar. Kemudian berdiri dan merenggangkan jalan darah yang kaku bertumpuk karena duduk. Menghirup udara senja yang mulai melenyap, sedikit sisa kesegaran masuk ke rongga sadarku. Sudah waktunya pulang.
Dari arah barat, gerbong besi mulai terlihat terus membesar. Dan kau tetap tenggelam di Italia selatan. Serius sekali. Pernah sekali membaca novel itu. Bukan bacaan yang enak disantap di stasiun kereta, kurasa.
“Kau terlalu tua di balik tubuh yang muda. Lebih suram dari kereta senja yang kau dengar,” katamu pelan.
Kutatap wajahmu.
“Hahahaha, kau menguping juga selama aku tertidur ya.”
“Mengapa kau menidurkan lelahmu dengan lagu tua begitu?”
“Aku tidak menidurkan lelah. Aku menyalakan rindu.”
“Pernahkah kau merasa kereta yang datang dari balik senja ketika malam menutup langit perjalanan adalah kereta yang membawa lelah. Di dalamnya, daging-daging yang menantang siang terkantuk-kantuk mengendapkan rindunya yang sederhana: pulang ke rumah,” terangku dengan embusan nafas yang pelan saja.
“Makanya aku tidak ke mana-mana. Tidak dengan kereta.”
Lembar halaman Orang-orang Sisilia kau tutup. Lalu menatap termenung lurus-lurus. Perubahan bahasa tubuh yang tiba-tiba saja. Aku bergegas duduk, kali ini lebih dekat dengan dudukmu.
“Kau tak punya rumah? Tak punya rindu?”
“Huuuuuft. Aku memiliki hari dalam keberlimpahan. Keberlimpahan yang tak mengharuskan kerja seperti kamu. Tak perlu berlelah dalam desak sekedar menumpang kereta untuk pulang. Tapi, di situlah lubang itu menganga: tak ada rindu di rumahku. Tak ada gairah untuk selalu pulang. Pulang bagiku seperti berkunjung ke pemakaman, ada kenangan yang awet untuk orang-orang yang sudah tiada, yang tidak bisa lagi kau peluk dan mendengar keluh kesahmu. Kau sudah mengerti mengapa Orang-Orang Sisilia menemaniku, bukan?”
Orang-orang Sisilia adalah novel sejarah dengan pelukisan manusia dan budaya yang sangat memikat tentang asal-usul keluarga mafia. Hidup berjuang di tanah yang keras dengan kekerasan yang seperti menghirup nafas. Tapi hidup seperti itu tidak membuat mereka kehilangan rindu, cinta, pengorbanan dan ikatan persaudaraan di tanah perantauan.
Haaah, perempuan muda, jeans, kemeja kotak-kotak, dan rambut panjang berponi. Kau bingung menjelaskan kerinduan pada rumah yang kini menjadi bangunan mewah tak bermakna. Aku jadi menyukuri hariku yang lelah, rindu rumah yang berjaga, hidup yang bermakna. Narasi manusia miskin yang tumbuh bertahan di mana-mana.
Aku ingin selalu bisa berlimpah sepertimu, nona muda. Agar masa depan 6 orang adik-adikku bisa tergambar cerah. Agar ayahku yang bertahun berjuang melawan stroke bisa dirawat dengan jasa kesehatan nomor satu di muka bumi. Juga ibuku, agar ia tidak selalu pergi menjadi tukang cuci, memasak atau menjaga anak-anak di rumah tetangga.
“Keretamu sudah tiba.”
Kupandang dalam matamu. Tak ada langkah menuju gerbong terbuka. Matamu menahanku, kau tahu itu.
“Kau mau ikut denganku?” tanyamu.
“Ke rumahmu?”
“Tidak. Kita ke barat, ke mana segala lelah ini berangkat pergi dan pulang. Ke tempat yang menjadi pusat dari keberlimpahanku dan pelestari kekurangan hidupmu. Pusat yang memaksa rindumu berjaga dalam lelah dan menghempaskanku dalam kesepian kasih sayang yang kaya.”
“Aku ingin membunuh senja tepat di rumahnya. Di Barat. Seperti Orang-orang Sisilia.”
Kau genggam tanganku, menarik langkahku. Kita berlawan arah dengan kereta yang pulang.
Kereta senja, dari Jakarta
Berhias temaram cahaya memerah
Yang kuingin kenangan
Hidup dan bersemi
***
*) Selamat Merayakan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1938
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H