Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Modernisme, Remaja, dan "Tubuh Terlarang"

5 Maret 2016   09:00 Diperbarui: 9 Januari 2019   07:16 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Remaja kasmaran yang pergi check in, mengabadikan momen-momen kasmaran itu dari ranjang hingga teras, lalu momen tersebut terkuak di sosial media dan menjadi viral kini telah menjadi kecemasan kolektif.

Kecemasan yang terus mendalam bersama remuknya tabu-tabu moral tentang pergaulan, cinta remaja dan seksualitas. Di puncak kecemasan itu, kita kebingungan dengan sebuah tanya besar: apa yang sedang terjadi dengan remaja hari ini?

Sesungguhnya bila kita melihat persebaran video remaja-remaja kasmaran dalam format 3G, kita tahu bahwa penghancuran terhadap “tabu-tabu seks” itu sudah berlangsung lama. 

Saya pernah melihat video remaja yang, maaf, beradegan ranjang di dalam ruang kelas masih dengan seragam lengkap. Juga remaja dengan seragam putih abu-abu yang melakukan adegan serupa sembari direkam dan ditertawakan teman-temannya dalam kamar hotel. Juga remaja kasmaran yang melakukan hal sejenis di sebuah lokasi liburan, di alam terbuka. Itu semua direkam di Indonesia.

Tak ada rasa risih. Tak ada rasa gentar. Yang ada adalah kerjasama untuk perayaan hasrat.

Jadi sebenarnya kecemasan terhadap perilaku remaja ini tidak perlu menunggu viral di sosial media lalu kita seperti disengat cahaya mentari setelah sekian lama terkurung dalam gelap goa. 

Kita menjadi gelagapan dan berseru-seru tentang moral atau sejenisnya terhadap sesama penghuni di dalam goa. Dan puncaknya, bersemaraklah ratapan cemas bersama yang saling memantul dalam goa, bolak balik dari dinding ke hati. Kita lalu tidak melihat pesan lain dari berkas cahaya itu.

Tidakkah “kecemasan dalam goa (: kita terlalu sibuk dengan dunia sendiri)” yang demikian jelas sesuatu yang terlambat atau “naif” bila dihadapkan dengan perkembangan diam-diam dari pergaulan remaja yang menabrak apa saja dan berlangsung sejak lama?

Kecemasan adalah tanda dari hancurnya pegangan manusia atas ideal atau nilai tertentu. Ketiadaan pegangan nilai akan segera saja menjadikan manusia terjerembab dalam kekosongan maknawi dan bisa berujung krisis diri dan sosial. Kekosongan seperti ini bila makin dalam dan meletihkan maka manusia akan dihantarnya tiba pada kurungan nihilisme.

Bila sudah dalam nihilisme, pada akhirnya masyarakat juga akan mati.

Modernisme, Remaja dan "Tubuh Terlarang"

Saya tidak tahu cerita selanjutnya adalah tentang apa. Saya sekedar mengajak kita melihat pergeseran pemaknaan terhadap tubuh dalam kasus remaja yang kini mudah telanjang di depan teknologi digital.

Tubuh bukan saja susunan anatomi-biologis yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam teologi, filsafat atau juga sosiologi, tubuh adalah simbolisasi kehadiran dari kehendak untuk memburu kenikmatan. Tubuh juga adalah pemujaan kesenangan tanpa batas. Karena itu tubuh yang seperti ini pernah dipandang sebagai “sesuatu yang berbahaya” terhadap agama dan juga modernisme.

Pada agama, tubuh yang hadir dalam perburuan kenikmatan dan pemujaan kesenangan ini akan menabrak kehendak mensucikan tubuh oleh agama, misalnya lewat pernikahan atau puasa panjang kenikmatan. Barang siapa melayani tubuh adalah melayani gairah-gairah rendah; menolak perintah Tuhan.

Sama juga terhadap cahaya moral modernisme, melayani kehendak tubuh adalah mendegradasi makna manusia yang memenuhi konsep panggilan (calling) untuk “mengelola dunia” secara rasional dan menunda penikmatan duniawi. Melayani bujuk rayu tubuh adalah kegagalan menjadi modern.

Generasi modern hidup dalam definisi tubuh yang “dikekang” seperti di atas. Tubuh yang tidak boleh dilayani ajakan penikmatannya sebelum “disucikan” oleh agama. Sama juga, dalam budaya modern, tubuh harus dikekang agar manusia boleh menuntaskan tanggungjawab memenuhi panggilan (kerja) dalam laku kukuh hati bernama asketisme dalam dunia seperti dibahas Mas Weber.

Remaja yang kasmaran, selfie dan bikin video seolah sedang menghidupkan lagi tubuh yang terlarang keras oleh agama dan modernisme. Katakanlah entah oleh ketidaktahuan, karena kerentanan bujuk rayu usia rapuh atau karena rasa ingin mencoba, “mereka jelas merayakan tubuh” yang mengancam keteraturan dan tertib moral.

Saya menyebut entah karena masih sangsi jika para remaja itu sungguh tidak tahu kalau tubuh mereka dilarang merayakan hasrat sebelum waktunya. Karena ada banyak unit-unit moral yang menjadi pengawas atas kemunculan tubuh seperti ini. Andai keluarga gagal memberikan mereka pemaknaan atas tubuhnya, sekolah akan mengambil peran atau lembaga-lembaga agama. Ini sudah berjalan berpuluh generasi dalam keseharian kita bukan?

[Kok masih jebol ya?]

Kedua, jangan abaikan jika di era digital manusia menjadi prosumen. Produsen sekaligus konsumen. 

Begitulah juga yang terjadi terhadap sebaran pornografi, manusia mengumpulkan videonya sekaligus membuat video sendiri. Remaja kasmaran sangat bisa jadi seperti ini: mereka ke warnet, mengakses situs porno, merekam dalam memorinya yang penasaran lalu kasmaran dan membuat video sejenis yang tiba-tiba muncul di internet entah karena perbuatan siapa.

Dalam kondisi demikian, yang jadi pertanyaannya adalah perayaan tubuh akan kenikmatan yang bersemarak pada dunia remaja sekarang ini sungguh tumbuh dalam ketidaktahuan yang artinya sama dengan mengatakan keluarga, sekolah dan lembaga agama sudah gagal? Atau, seharusnya kita mencurigai aksi seperti ini adalah pemberontakan diam-diam terhadap “tubuh yang dikekang” dan sedang menertawakan sikap puritan agama dan modernisme terhadap tubuh?

Pertanyaan seperti ini tidak cukup dibereskan dengan pendekatan hukum, saya kira. Apalagi berhadapan dengan kemungkinan kedua: pemberontakan diam-diam. Saya juga tidak tahu jawab yang sempurna atas ini.

Satu hal yang boleh dipertimbangkan agar kita tidak cemas seperti manusia dalam goa, mari kita coba menggunakan teknik komunikasi bebas paksaan terhadap para remaja.

Jangan posisikan remaja itu sebagai celengan, obyek yang harus menampung citra moral manusia dewasa tanpa bertanya. Kita sejajarkan mereka, posisikan sebagai sesama subyek yang bertanya atau sedang cemas bersama. Kita dan mereka memiliki pengertian akan dunia hari ini yang perlu saling dihargai dan dialogkan.

Secara praktis, sebagai orang dewasa, barangkali kita perlu melihat ke dalam sudut pandang remaja tentang dunia sehari-hari mereka. Kita perlu lebih banyak mendengarkan mungkin, ketimbang mengajukan daftar petunjuk moral tentang boleh dan tidak atau benar dan salah. Kita rasanya harus lebih mendiskusikan opsi-opsi tindakan dalam situasi pergaulan dan cinta mereka ketimbang mendekati kesadaran mereka dengan logika vonis.

Sebab cara yang memberi daftar petunjuk moral dan logika vonis sepertinya lebih menciptakan ketakutan lebih dahulu daripada pengertian. Dan pada titik ini, saya kira Immanuel Kant benar: moralisme yang dipatuhi dalam ketakutan tidak pernah melahirkan subyek bermoral yang tangguh.

Ini terbaca senada pula dengan Foucault, yang menentang pikiran Kant. Foucault mungkin juga benar: sesuatu yang makin dilarang (ditabukan) makin mengundang rasa penasaran dan keinginan untuk mencoba pengalaman keterlarangan. Begitulah juga adanya seksualitas di depan tabu-tabu manusia modern.

Interaksi sesama subyek seperti ini yang mungkin perlu diperdalam lagi. 

Teknik komunikasi bebas paksaan ini mungkin perlu dikembangkan lagi. Saya tidak bilang ini cara baru, yang saya bilang selama ini kita mungkin kekurangan sedikit kesungguhan untuk mendengar, kesungguhan untuk lebih banyak memaknai daripada memaksakan pemaknaan kita yang tumbuh seperti benteng dalam zaman yang jauh dengan situasi hari ini. Kita hanya perlu mengurangi kebiasaan menjadikan kesadaran remaja sebagai koloni dari moralisme kita sendiri.

Barangkali bisa dengan cara seperti itu. 

Dan tentang pemberontakan tubuh sendiri, saya jadi bertanya lagi: mengapa kecemasan terhadap pergaulan dan cinta remaja ini tidak kita perluas pada diri kita sendiri, orang-orang dewasa? 

Orang-orang dewasa yang juga secara diam-diam sedang melakukan aksi sejenis. Yang membedakan adalah orang dewasa lebih bisa menyimpan kisah pemberontakan tubuh itu pada kotak hitam memori yang sangat tersembunyi. Kalau pun tidak begitu, kita menikmati diam-diam kemunculan remaja yang seperti di atas tadi.

Kalau seperti ini, sebagai orang dewasa, kita sudah munafik. 

Kita menghakimi sesuatu yang secara diam-diam, di sudut kelam rahasia, kita merayakannya dengan hati berdesir-desir. Kita mendorong ketaatan pada tubuh yang dikekang sementara pada labirin gelap pengalaman rahasia kita, tubuh yang merayakan perburuan kenikmatan dan kesenangan itu menjadi sumber ketersesatannya.

Entahlah. Mari sarapan dulu, yuk. Selamat pagi, Salam!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun