Saya tidak tahu cerita selanjutnya adalah tentang apa. Saya sekedar mengajak kita melihat pergeseran pemaknaan terhadap tubuh dalam kasus remaja yang kini mudah telanjang di depan teknologi digital.
Tubuh bukan saja susunan anatomi-biologis yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam teologi, filsafat atau juga sosiologi, tubuh adalah simbolisasi kehadiran dari kehendak untuk memburu kenikmatan. Tubuh juga adalah pemujaan kesenangan tanpa batas. Karena itu tubuh yang seperti ini pernah dipandang sebagai “sesuatu yang berbahaya” terhadap agama dan juga modernisme.
Pada agama, tubuh yang hadir dalam perburuan kenikmatan dan pemujaan kesenangan ini akan menabrak kehendak mensucikan tubuh oleh agama, misalnya lewat pernikahan atau puasa panjang kenikmatan. Barang siapa melayani tubuh adalah melayani gairah-gairah rendah; menolak perintah Tuhan.
Sama juga terhadap cahaya moral modernisme, melayani kehendak tubuh adalah mendegradasi makna manusia yang memenuhi konsep panggilan (calling) untuk “mengelola dunia” secara rasional dan menunda penikmatan duniawi. Melayani bujuk rayu tubuh adalah kegagalan menjadi modern.
Generasi modern hidup dalam definisi tubuh yang “dikekang” seperti di atas. Tubuh yang tidak boleh dilayani ajakan penikmatannya sebelum “disucikan” oleh agama. Sama juga, dalam budaya modern, tubuh harus dikekang agar manusia boleh menuntaskan tanggungjawab memenuhi panggilan (kerja) dalam laku kukuh hati bernama asketisme dalam dunia seperti dibahas Mas Weber.
Remaja yang kasmaran, selfie dan bikin video seolah sedang menghidupkan lagi tubuh yang terlarang keras oleh agama dan modernisme. Katakanlah entah oleh ketidaktahuan, karena kerentanan bujuk rayu usia rapuh atau karena rasa ingin mencoba, “mereka jelas merayakan tubuh” yang mengancam keteraturan dan tertib moral.
Saya menyebut entah karena masih sangsi jika para remaja itu sungguh tidak tahu kalau tubuh mereka dilarang merayakan hasrat sebelum waktunya. Karena ada banyak unit-unit moral yang menjadi pengawas atas kemunculan tubuh seperti ini. Andai keluarga gagal memberikan mereka pemaknaan atas tubuhnya, sekolah akan mengambil peran atau lembaga-lembaga agama. Ini sudah berjalan berpuluh generasi dalam keseharian kita bukan?
[Kok masih jebol ya?]
Kedua, jangan abaikan jika di era digital manusia menjadi prosumen. Produsen sekaligus konsumen.
Begitulah juga yang terjadi terhadap sebaran pornografi, manusia mengumpulkan videonya sekaligus membuat video sendiri. Remaja kasmaran sangat bisa jadi seperti ini: mereka ke warnet, mengakses situs porno, merekam dalam memorinya yang penasaran lalu kasmaran dan membuat video sejenis yang tiba-tiba muncul di internet entah karena perbuatan siapa.
Dalam kondisi demikian, yang jadi pertanyaannya adalah perayaan tubuh akan kenikmatan yang bersemarak pada dunia remaja sekarang ini sungguh tumbuh dalam ketidaktahuan yang artinya sama dengan mengatakan keluarga, sekolah dan lembaga agama sudah gagal? Atau, seharusnya kita mencurigai aksi seperti ini adalah pemberontakan diam-diam terhadap “tubuh yang dikekang” dan sedang menertawakan sikap puritan agama dan modernisme terhadap tubuh?