Pertanyaan seperti ini tidak cukup dibereskan dengan pendekatan hukum, saya kira. Apalagi berhadapan dengan kemungkinan kedua: pemberontakan diam-diam. Saya juga tidak tahu jawab yang sempurna atas ini.
Satu hal yang boleh dipertimbangkan agar kita tidak cemas seperti manusia dalam goa, mari kita coba menggunakan teknik komunikasi bebas paksaan terhadap para remaja.
Jangan posisikan remaja itu sebagai celengan, obyek yang harus menampung citra moral manusia dewasa tanpa bertanya. Kita sejajarkan mereka, posisikan sebagai sesama subyek yang bertanya atau sedang cemas bersama. Kita dan mereka memiliki pengertian akan dunia hari ini yang perlu saling dihargai dan dialogkan.
Secara praktis, sebagai orang dewasa, barangkali kita perlu melihat ke dalam sudut pandang remaja tentang dunia sehari-hari mereka. Kita perlu lebih banyak mendengarkan mungkin, ketimbang mengajukan daftar petunjuk moral tentang boleh dan tidak atau benar dan salah. Kita rasanya harus lebih mendiskusikan opsi-opsi tindakan dalam situasi pergaulan dan cinta mereka ketimbang mendekati kesadaran mereka dengan logika vonis.
Sebab cara yang memberi daftar petunjuk moral dan logika vonis sepertinya lebih menciptakan ketakutan lebih dahulu daripada pengertian. Dan pada titik ini, saya kira Immanuel Kant benar: moralisme yang dipatuhi dalam ketakutan tidak pernah melahirkan subyek bermoral yang tangguh.
Ini terbaca senada pula dengan Foucault, yang menentang pikiran Kant. Foucault mungkin juga benar: sesuatu yang makin dilarang (ditabukan) makin mengundang rasa penasaran dan keinginan untuk mencoba pengalaman keterlarangan. Begitulah juga adanya seksualitas di depan tabu-tabu manusia modern.
Interaksi sesama subyek seperti ini yang mungkin perlu diperdalam lagi.Â
Teknik komunikasi bebas paksaan ini mungkin perlu dikembangkan lagi. Saya tidak bilang ini cara baru, yang saya bilang selama ini kita mungkin kekurangan sedikit kesungguhan untuk mendengar, kesungguhan untuk lebih banyak memaknai daripada memaksakan pemaknaan kita yang tumbuh seperti benteng dalam zaman yang jauh dengan situasi hari ini. Kita hanya perlu mengurangi kebiasaan menjadikan kesadaran remaja sebagai koloni dari moralisme kita sendiri.
Barangkali bisa dengan cara seperti itu.Â
Dan tentang pemberontakan tubuh sendiri, saya jadi bertanya lagi: mengapa kecemasan terhadap pergaulan dan cinta remaja ini tidak kita perluas pada diri kita sendiri, orang-orang dewasa?Â
Orang-orang dewasa yang juga secara diam-diam sedang melakukan aksi sejenis. Yang membedakan adalah orang dewasa lebih bisa menyimpan kisah pemberontakan tubuh itu pada kotak hitam memori yang sangat tersembunyi. Kalau pun tidak begitu, kita menikmati diam-diam kemunculan remaja yang seperti di atas tadi.