Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dinamika Sosial Media dan Tiga Cara Mengada

22 Desember 2015   14:04 Diperbarui: 23 Desember 2015   12:39 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara mengada seperti ini serupa bunglon, lekas mengubah tampilan untuk keselamatannya. Karakter mengada seperti ini mungkin mewakili juga sifat-sifat massa, ia selalu ketakutan berhadapan dengan “yang lain/berbeda” dari dirinya namun pada saat yang tiba-tiba mudah sekali menenggelamkan diri pada kerumunan ramai yang yang menimbulkan rasa nyaman bagi dirinya. Ia juga bisa seolah bijak di sosial media namun sesungguhnya memendam gairah destruktif yang mengerikan, serupa para psikopat atau penipu di dunia nyata.

Ini kurang lebih tiga pembedaan sederhana cara mengada yang melekat pada eksistensi warga sebagai prosumen di sosial media. Catatan tambahannya adalah, karena juga disebut sebagai cara mengada, maka ia bukanlah sejenis komponen yang sudah tetap dan baku seperti mesin, tinggal dirakit dan segera berfungsi. Berbeda dengan mesin, ia sangat dinamis. Karena itu juga, "manusia digital" bisa bergulat dalam cara mengada yang pertama lalu memilih opsi cara kedua dalam perjalanannya atau memilih menjadi yang cara ketiga. Begitu pun sebaliknya. Pendek kata, keberlangsungannya cara mengada ditentukan oleh rangkaian perjumpaan dan pasang surut pergaulan virtual di sosial media bersama dengan dunia nyata sehari-hari di luar sana.

Dari pembedaan sederhana tiga cara mengada berikut motif dasarnya ini, secara praktis, kita sudah boleh membayangkan konsekuensi-konsekuensi yang melekat dari tiap-tiap tiga cara mengada. Jadi, silahkan dipilih saja hendak mengikuti yang mana, merayakan kematian, menghidupkan, atau hidup digital tanpa ketetapan. [Monggooo, Anda memilih maka politisi ada! Eh salah ding #gagalmoveon, hihihi]

Memang ada tesis yang bilang dalam putaran dunia maya (Cyberspace) ada hukum anarki selain pelipatan dan penyebaran informasi dengan sangat cepat namun keberadaannya bergantung pada cara mengada apa yang kita pilih untuk menghadapi kemungkinan anarki tersebut. Barangkali dengan melihat cara mengada warga di sosial media, kita bisa melihat bagaimana cara pandang atau reaksi warga biasa atas satu isu dan mungkin dengan begitu, kita bisa tahu sedang berada pada track seperti apa sebagai Indonesia yang terus mengalami pembentukan jati diri.

Lalu terhadap cara mengada ini, apa yang mau saya lakukan?

Saya tidak memiliki resep praktis atau anjuran-anjuran moral. Sebagaimana usaha untuk bercermin, yang sedang saya lakukan hanyalah mencari gambar sejujurnya dari tiga cermin cara mengada itu. Selama ini, opsi mana yang saya pilih secara jujur: opsi satu, dua atau ketiga? (bukan opsi yang dipilih karena melayani selera dan penilaian orang banyak). Jangan-jangan selama ini saya sedang bersolek baik, santun, dan menganjurkan kebaikan-kebaikan sementara dalam dunia nyata adalah sosok bengis, kejam, dan mengumbar kebencian tiada istirahatnya.

Hanya diri sendiri yang tahu motif terdalam apa yang sedang dituruti walau orang bilang tulisan Anda menunjukkan siapa Anda.

Termasuk bersikap terhadap komentar pedas untuk tulisan yang sudah susah payah dibuat dan memakan pulsa ketika dipublikasi (hahaha), biar tidak darah tinggi, barangkali komentar seperti itu dimaknai ada benarnya sehingga pedasnya adalah peringatan. Andai pun tiada benarnya, mungkin lebih baik dipahami sebagai cara mengada yang dipilih. Justru jadi celaka jika ikut melayani atau malah berhenti menulis. [Hiks..]

Yang tampak makin pasti bagi saya, tiga cara mengada itu akan selalu eksis menghidupi dunia maya, semacam poros yang menggerakkannya. Ada kekuatan yang sangat berkepentingan memainkan tiga cara mengada tersebut dengan senang hati tanpa para pelakunya menyadari. Saya percaya ada sejenis "invisible hand" yang mengail untung dari benturan kehadiran tiga cara mengada itu. Invisible hand itu siapa? Saya tidak tahu, kan invisible, hehehe.  

Begitulah sedikit cerita saya sebagai "cara memaknai" tanggapan pedas atas tulisan sendiri yang muncul di laman facebook Kompasiana. Menulis tanggapan seperti ini mungkin terbaca lebaaay. Oke saja, no what-what. Bagi saya, ini sejenis relaksasi diri, obat resah; sebuah cara mengambil jarak dari keramaian. Semoga saja ada berguna di luar kebutuhan saya. 

Jelang akhir tahun 2015, sekalian juga saya hendak memohon maaf kepada kawan-kawan K’ers semua, kepada mereka yang sepuh, senior, seangkatan mau pun adik angkatan (maksudnya karena tahun terdaftar di Kompasiana, hehehe), bilamana terdapat kesalahan dalam tulisan pun komentar-komentar yang membuat hati dan interaksi menjadi tidak nyaman sepanjang setahun terakhir ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun