Kritikus budaya pun berbeda-beda menanggapi era seperti ini.
Keterbelahan mereka, bagi saya, sebenarnya juga berjangkar disini. Hanya posisi tafsirnya yang berbeda-beda. Maka jika kita teruskan, pada era dimana manusia menjadi prosumen berhadapan dengan infromasi, ada dua arah berfikir utama.
Secara padat, dua arah utama itu boleh kita sampaikan dalam pertanyaan : apakah yang sedang terjadi adalah sebuah perayaan tiruan dimana-mana atau justru kecemasan akan pendangkalan? Apakah era ini harus disambut dengan sikap gembira atau justru kegelisahan-kecemasan? Apakah ini era individu seperti “Malafide” (Sartre) yang serba melahap-memuntah semua “nikmat lebih” atau justru era “Cogito” (Descartes) yang mencari bentuk-bentuk baru “emansipasi” pikiran?
Dua arah berfikir utama yang menampilkan keterbelahan posisi tafsir ini telah begitu meramaikan dinamika pemikiran filsafat dan ilmu sosial-humaniora. Maka cara terbaik untuk mengikuti susunan gagasan mereka adalah dengan berkunjung langsung pada para penulisnya. Karena saya berkelas amatiran, penulis catatan kaki saja dengan kualifikasi mencomot sana-sini, adalah lebih selamat tidak memosisikan diri sebagai penganjur : mana sebaiknya yang diikuti.
Sehingga yang bisa saya lakukan adalah melihat dengan umum posisi warga yang berdiri di luar posisi sebagai kritikus (dengan pemahaman teoritik dan juga argumen kritik yang kuat)? Seperti apa cara mengada warga dalam era digital atau era menjadi prosumen yang bisa dipetakan?
Berdasarkan pengalaman terbatas bersosial media, paling kurang ada tiga modus/cara mengada menurut saya. Ketiganya adalah :
Pertama, cara mengada yang mewujud dalam sikap nyinyir, sinisme, gemar caci maki, gemar provokasi, suka berkelahi, dkk-nya. Sikap ini berakar pada gairah atau naluri thanatos, merayakan “kematian’ yang disebut Sigmund Freud itu.
Sikap seperti ini mungkin menunjukkan ruang dalam dari karakter personal yang sakit atau pantulan luar dari pengalaman hidup yang terlalu kelam. Penting disadari, naluri thanatos tidak selalu menandakan rendahnya level pendidikan atau minimnya jumlah kekayaan. Digitalisasi melalui sosial media seperti fasilitas yang membuatnya mudah sekali meledak lantas menghantam apa dan siapa saja yang dipandang bersebrangan; ruang untuk ekspresi langsung. Bahwa sikap seperti ini cenderung menciptakan atmosfir yang selalu gerah dan menyumbang terlalu sering pada negativitas yang tanpa ujung, itu perkara kedua.
Kedua, cara mengada yang mewujud dalam laku menolak caci maki, mengajak kesejukan dan persaudaraan, dkk-nya. Sikap ini berakar pada gairah positif atau naluri eros, merayakan kehidupan, mengikuti Sigmund Freud lagi.
Sebagaimana posisinya yang berseberangan dengan cara mengada pertama, pada yang kedua, ia menggunakan media sosial sebagai fasilitas untuk membangun persaudaraan dan kesejukan. Perbedaan disikapi secara tenang dan merendah,konflik pendapat yang tajam dihadapi secara baik-baik. Kritik pun tak perlu disuguhkan dengan bahasa sarkastik. Penting diawasi bagi saya, tidak berarti dengan cara mengada ketiga, pribadi di belakangnya tidak memiliki sejarah kelam dan rasa sakit kemalangan. Bisa saja palsu sebab ini dunia maya.
Ketiga, cara mengada yang mewujud pada aksi yang tidak memiliki kekukuhan pilihan terhadap dua jenis di atas. Sesekali terbaca sedang digaris pertama, sesekali berada di garis kedua. Dengan kata lain, ini jenis yang kamuflastik, labil, dan tidak percaya diri; berdiri diantara thanatos dan eros.