Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dinamika Sosial Media dan Tiga Cara Mengada

22 Desember 2015   14:04 Diperbarui: 23 Desember 2015   12:39 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya diberitahu K’ers Imam Muttaqien bahwa tulisan-tulisan dari akun S Aji yang diteruskan pada laman facebook Kompasiana mendapat reaksi komentar yang pedas-pedas. Terus terang saja, saya tidak tahu perkembangan tanggapaan atas tulisan-tulisan tersebut sebab memang sudah mengambil sikap berpuasa dari facebook dan twitter. Kabar dari Imam telah merangsang rasa kepo sehingga menggelisahkan. Jika tidak dilayani, akan menjadi siksaan batin tersendiri, (duuhaai). Maka saya memutuskan mengecek kabar dari Imam tersebut.

Yang sempat saya baca reaksi pedasnya hanyalah komentar terhadap puisi untuk Jokowi yang berjudul Doa Seorang Tua, yang juga diheadline admin. Satu saja komentar yang terbaca menyebut saya penjilat tahi tuannya (ampuun, melihat langsung Jokowi saja saya belum pernah, apalagi makan siang satu meja). Sesudah membaca ini, saya lalu menutup laman facebook Kompasiana, mengambil nafas. Darah rasanya mendidih, hawa tetiba menjadi gerah. Padahal sedang duduk di kursi empuk di bawah langit Desember yang mendung dan bukan sedang merapal ajian Sinar Matahari-nya Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng yang kini entah masih jomblo atau sudah menikah dan beranakpinak.

Kawan-kawan K’ers yang lain mungkin sudah terbiasa merasakan komentar-komentar pedas atas tulisannya. Termasuk juga membaca komentar pedas yang tidak nyambung dengan materi yang ditulis. Atau malah, terbiasa menulis pedas-pedas, hehehe. Maksud saya, sudah biasa dan bersikap biasa saja. Kalaulah sudah bersikap biasa-biasa saja, maka tulisan ini tidak perlu dibaca sampai selesai.

Saya lanjut ya.

Sesudah membaca sekilas komentar tadi, rasa-rasanya ingin lagi aktifkan facebook dan ikut menambah pedas komentar tersebut (biar tahu rasanya pedas mana antara sambal Padang versus dabu-dabu Manado, haha). Tapi kemudian akhirnya saya memilih meletakkan reaksi pedas itu sebagai “cermin” dan membawa pulang ke dalam diri sendiri. saya lupa-lupa ingat, tapi kalau tak salah, ada pesan bijak yang pernah bilang, jika dirimu dikendalikan amarah, bercerminlah!

[Nah, coba saja bercermin kalau sedang marah, wajah apa yang tampak disana? Sudah jelek, marah-marah pula, wakakakak]

Bercermin adalah laku melihat ke dalam, menengok ke dasar diri sendiri. Dalam proses melihat cermin itu, saya pertama akan berusaha memeriksa lagi karakter tulisan saya (apakah good content atau bad content, meminjam bahasa jurnalisme). Pemerikasaan akan konten atau materi ini semacam pintu masuk membawa diri tiba pada jenis motif yang melandasi cara mengada di sosial media. Cara mengada ini yang saya cari.

Untuk memulai melihat cara mengada, saya mulai dengan pertanyaan : pada era seperti apakah yang sedang kau hidupi? Tenaga pendorong apa yang sedang terlibat dalam membentuk kesadaran kolektif dan hubungan-gubungan sosial masyarakat luas?

Pertanyaan mengenai era, zaman, kondisi, periodisasi, konteks, membawa pikiran melihat kecenderungan umum, selera, energi gerak, kecenderungan, dkk-nya. Sebab tidak ada motif mengada yang hadir dalam ruang kosong, ahistoris, dan murni “idealisitik”.

Saya tidak tahu pelukisan era hari ini yang tepat dan benar seperti apa.

Yang tampak jelas, era ini adalah era serba digital, segala macam manusia tersambung oleh teknologi internet, tersambung ke dalam satu sistem komputerisasi total. “Informasi” telah demikian menyebar dari mana dan kemana saja seolah tsunami, datang setiap detik dan menyapa kita langsung sejak dari kamar mandi. Fasilitas sosial media juga membuat manusia bisa menyampaikan apa saja dan kapan saja (sejauh ada gadget dan sinyal), bahkan hal-hal remeh yang terlalu privat, ke dalam ruang percakapan virtual. Singkatnya, era digital, manusia dibentuk menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen “informasi”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun