Saya diberitahu K’ers Imam Muttaqien bahwa tulisan-tulisan dari akun S Aji yang diteruskan pada laman facebook Kompasiana mendapat reaksi komentar yang pedas-pedas. Terus terang saja, saya tidak tahu perkembangan tanggapaan atas tulisan-tulisan tersebut sebab memang sudah mengambil sikap berpuasa dari facebook dan twitter. Kabar dari Imam telah merangsang rasa kepo sehingga menggelisahkan. Jika tidak dilayani, akan menjadi siksaan batin tersendiri, (duuhaai). Maka saya memutuskan mengecek kabar dari Imam tersebut.
Yang sempat saya baca reaksi pedasnya hanyalah komentar terhadap puisi untuk Jokowi yang berjudul Doa Seorang Tua, yang juga diheadline admin. Satu saja komentar yang terbaca menyebut saya penjilat tahi tuannya (ampuun, melihat langsung Jokowi saja saya belum pernah, apalagi makan siang satu meja). Sesudah membaca ini, saya lalu menutup laman facebook Kompasiana, mengambil nafas. Darah rasanya mendidih, hawa tetiba menjadi gerah. Padahal sedang duduk di kursi empuk di bawah langit Desember yang mendung dan bukan sedang merapal ajian Sinar Matahari-nya Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng yang kini entah masih jomblo atau sudah menikah dan beranakpinak.
Kawan-kawan K’ers yang lain mungkin sudah terbiasa merasakan komentar-komentar pedas atas tulisannya. Termasuk juga membaca komentar pedas yang tidak nyambung dengan materi yang ditulis. Atau malah, terbiasa menulis pedas-pedas, hehehe. Maksud saya, sudah biasa dan bersikap biasa saja. Kalaulah sudah bersikap biasa-biasa saja, maka tulisan ini tidak perlu dibaca sampai selesai.
Saya lanjut ya.
Sesudah membaca sekilas komentar tadi, rasa-rasanya ingin lagi aktifkan facebook dan ikut menambah pedas komentar tersebut (biar tahu rasanya pedas mana antara sambal Padang versus dabu-dabu Manado, haha). Tapi kemudian akhirnya saya memilih meletakkan reaksi pedas itu sebagai “cermin” dan membawa pulang ke dalam diri sendiri. saya lupa-lupa ingat, tapi kalau tak salah, ada pesan bijak yang pernah bilang, jika dirimu dikendalikan amarah, bercerminlah!
[Nah, coba saja bercermin kalau sedang marah, wajah apa yang tampak disana? Sudah jelek, marah-marah pula, wakakakak]
Bercermin adalah laku melihat ke dalam, menengok ke dasar diri sendiri. Dalam proses melihat cermin itu, saya pertama akan berusaha memeriksa lagi karakter tulisan saya (apakah good content atau bad content, meminjam bahasa jurnalisme). Pemerikasaan akan konten atau materi ini semacam pintu masuk membawa diri tiba pada jenis motif yang melandasi cara mengada di sosial media. Cara mengada ini yang saya cari.
Untuk memulai melihat cara mengada, saya mulai dengan pertanyaan : pada era seperti apakah yang sedang kau hidupi? Tenaga pendorong apa yang sedang terlibat dalam membentuk kesadaran kolektif dan hubungan-gubungan sosial masyarakat luas?
Pertanyaan mengenai era, zaman, kondisi, periodisasi, konteks, membawa pikiran melihat kecenderungan umum, selera, energi gerak, kecenderungan, dkk-nya. Sebab tidak ada motif mengada yang hadir dalam ruang kosong, ahistoris, dan murni “idealisitik”.
Saya tidak tahu pelukisan era hari ini yang tepat dan benar seperti apa.
Yang tampak jelas, era ini adalah era serba digital, segala macam manusia tersambung oleh teknologi internet, tersambung ke dalam satu sistem komputerisasi total. “Informasi” telah demikian menyebar dari mana dan kemana saja seolah tsunami, datang setiap detik dan menyapa kita langsung sejak dari kamar mandi. Fasilitas sosial media juga membuat manusia bisa menyampaikan apa saja dan kapan saja (sejauh ada gadget dan sinyal), bahkan hal-hal remeh yang terlalu privat, ke dalam ruang percakapan virtual. Singkatnya, era digital, manusia dibentuk menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen “informasi”.
Kritikus budaya pun berbeda-beda menanggapi era seperti ini.
Keterbelahan mereka, bagi saya, sebenarnya juga berjangkar disini. Hanya posisi tafsirnya yang berbeda-beda. Maka jika kita teruskan, pada era dimana manusia menjadi prosumen berhadapan dengan infromasi, ada dua arah berfikir utama.
Secara padat, dua arah utama itu boleh kita sampaikan dalam pertanyaan : apakah yang sedang terjadi adalah sebuah perayaan tiruan dimana-mana atau justru kecemasan akan pendangkalan? Apakah era ini harus disambut dengan sikap gembira atau justru kegelisahan-kecemasan? Apakah ini era individu seperti “Malafide” (Sartre) yang serba melahap-memuntah semua “nikmat lebih” atau justru era “Cogito” (Descartes) yang mencari bentuk-bentuk baru “emansipasi” pikiran?
Dua arah berfikir utama yang menampilkan keterbelahan posisi tafsir ini telah begitu meramaikan dinamika pemikiran filsafat dan ilmu sosial-humaniora. Maka cara terbaik untuk mengikuti susunan gagasan mereka adalah dengan berkunjung langsung pada para penulisnya. Karena saya berkelas amatiran, penulis catatan kaki saja dengan kualifikasi mencomot sana-sini, adalah lebih selamat tidak memosisikan diri sebagai penganjur : mana sebaiknya yang diikuti.
Sehingga yang bisa saya lakukan adalah melihat dengan umum posisi warga yang berdiri di luar posisi sebagai kritikus (dengan pemahaman teoritik dan juga argumen kritik yang kuat)? Seperti apa cara mengada warga dalam era digital atau era menjadi prosumen yang bisa dipetakan?
Berdasarkan pengalaman terbatas bersosial media, paling kurang ada tiga modus/cara mengada menurut saya. Ketiganya adalah :
Pertama, cara mengada yang mewujud dalam sikap nyinyir, sinisme, gemar caci maki, gemar provokasi, suka berkelahi, dkk-nya. Sikap ini berakar pada gairah atau naluri thanatos, merayakan “kematian’ yang disebut Sigmund Freud itu.
Sikap seperti ini mungkin menunjukkan ruang dalam dari karakter personal yang sakit atau pantulan luar dari pengalaman hidup yang terlalu kelam. Penting disadari, naluri thanatos tidak selalu menandakan rendahnya level pendidikan atau minimnya jumlah kekayaan. Digitalisasi melalui sosial media seperti fasilitas yang membuatnya mudah sekali meledak lantas menghantam apa dan siapa saja yang dipandang bersebrangan; ruang untuk ekspresi langsung. Bahwa sikap seperti ini cenderung menciptakan atmosfir yang selalu gerah dan menyumbang terlalu sering pada negativitas yang tanpa ujung, itu perkara kedua.
Kedua, cara mengada yang mewujud dalam laku menolak caci maki, mengajak kesejukan dan persaudaraan, dkk-nya. Sikap ini berakar pada gairah positif atau naluri eros, merayakan kehidupan, mengikuti Sigmund Freud lagi.
Sebagaimana posisinya yang berseberangan dengan cara mengada pertama, pada yang kedua, ia menggunakan media sosial sebagai fasilitas untuk membangun persaudaraan dan kesejukan. Perbedaan disikapi secara tenang dan merendah,konflik pendapat yang tajam dihadapi secara baik-baik. Kritik pun tak perlu disuguhkan dengan bahasa sarkastik. Penting diawasi bagi saya, tidak berarti dengan cara mengada ketiga, pribadi di belakangnya tidak memiliki sejarah kelam dan rasa sakit kemalangan. Bisa saja palsu sebab ini dunia maya.
Ketiga, cara mengada yang mewujud pada aksi yang tidak memiliki kekukuhan pilihan terhadap dua jenis di atas. Sesekali terbaca sedang digaris pertama, sesekali berada di garis kedua. Dengan kata lain, ini jenis yang kamuflastik, labil, dan tidak percaya diri; berdiri diantara thanatos dan eros.
Cara mengada seperti ini serupa bunglon, lekas mengubah tampilan untuk keselamatannya. Karakter mengada seperti ini mungkin mewakili juga sifat-sifat massa, ia selalu ketakutan berhadapan dengan “yang lain/berbeda” dari dirinya namun pada saat yang tiba-tiba mudah sekali menenggelamkan diri pada kerumunan ramai yang yang menimbulkan rasa nyaman bagi dirinya. Ia juga bisa seolah bijak di sosial media namun sesungguhnya memendam gairah destruktif yang mengerikan, serupa para psikopat atau penipu di dunia nyata.
Ini kurang lebih tiga pembedaan sederhana cara mengada yang melekat pada eksistensi warga sebagai prosumen di sosial media. Catatan tambahannya adalah, karena juga disebut sebagai cara mengada, maka ia bukanlah sejenis komponen yang sudah tetap dan baku seperti mesin, tinggal dirakit dan segera berfungsi. Berbeda dengan mesin, ia sangat dinamis. Karena itu juga, "manusia digital" bisa bergulat dalam cara mengada yang pertama lalu memilih opsi cara kedua dalam perjalanannya atau memilih menjadi yang cara ketiga. Begitu pun sebaliknya. Pendek kata, keberlangsungannya cara mengada ditentukan oleh rangkaian perjumpaan dan pasang surut pergaulan virtual di sosial media bersama dengan dunia nyata sehari-hari di luar sana.
Dari pembedaan sederhana tiga cara mengada berikut motif dasarnya ini, secara praktis, kita sudah boleh membayangkan konsekuensi-konsekuensi yang melekat dari tiap-tiap tiga cara mengada. Jadi, silahkan dipilih saja hendak mengikuti yang mana, merayakan kematian, menghidupkan, atau hidup digital tanpa ketetapan. [Monggooo, Anda memilih maka politisi ada! Eh salah ding #gagalmoveon, hihihi]
Memang ada tesis yang bilang dalam putaran dunia maya (Cyberspace) ada hukum anarki selain pelipatan dan penyebaran informasi dengan sangat cepat namun keberadaannya bergantung pada cara mengada apa yang kita pilih untuk menghadapi kemungkinan anarki tersebut. Barangkali dengan melihat cara mengada warga di sosial media, kita bisa melihat bagaimana cara pandang atau reaksi warga biasa atas satu isu dan mungkin dengan begitu, kita bisa tahu sedang berada pada track seperti apa sebagai Indonesia yang terus mengalami pembentukan jati diri.
Lalu terhadap cara mengada ini, apa yang mau saya lakukan?
Saya tidak memiliki resep praktis atau anjuran-anjuran moral. Sebagaimana usaha untuk bercermin, yang sedang saya lakukan hanyalah mencari gambar sejujurnya dari tiga cermin cara mengada itu. Selama ini, opsi mana yang saya pilih secara jujur: opsi satu, dua atau ketiga? (bukan opsi yang dipilih karena melayani selera dan penilaian orang banyak). Jangan-jangan selama ini saya sedang bersolek baik, santun, dan menganjurkan kebaikan-kebaikan sementara dalam dunia nyata adalah sosok bengis, kejam, dan mengumbar kebencian tiada istirahatnya.
Hanya diri sendiri yang tahu motif terdalam apa yang sedang dituruti walau orang bilang tulisan Anda menunjukkan siapa Anda.
Termasuk bersikap terhadap komentar pedas untuk tulisan yang sudah susah payah dibuat dan memakan pulsa ketika dipublikasi (hahaha), biar tidak darah tinggi, barangkali komentar seperti itu dimaknai ada benarnya sehingga pedasnya adalah peringatan. Andai pun tiada benarnya, mungkin lebih baik dipahami sebagai cara mengada yang dipilih. Justru jadi celaka jika ikut melayani atau malah berhenti menulis. [Hiks..]
Yang tampak makin pasti bagi saya, tiga cara mengada itu akan selalu eksis menghidupi dunia maya, semacam poros yang menggerakkannya. Ada kekuatan yang sangat berkepentingan memainkan tiga cara mengada tersebut dengan senang hati tanpa para pelakunya menyadari. Saya percaya ada sejenis "invisible hand" yang mengail untung dari benturan kehadiran tiga cara mengada itu. Invisible hand itu siapa? Saya tidak tahu, kan invisible, hehehe.
Begitulah sedikit cerita saya sebagai "cara memaknai" tanggapan pedas atas tulisan sendiri yang muncul di laman facebook Kompasiana. Menulis tanggapan seperti ini mungkin terbaca lebaaay. Oke saja, no what-what. Bagi saya, ini sejenis relaksasi diri, obat resah; sebuah cara mengambil jarak dari keramaian. Semoga saja ada berguna di luar kebutuhan saya.
Jelang akhir tahun 2015, sekalian juga saya hendak memohon maaf kepada kawan-kawan K’ers semua, kepada mereka yang sepuh, senior, seangkatan mau pun adik angkatan (maksudnya karena tahun terdaftar di Kompasiana, hehehe), bilamana terdapat kesalahan dalam tulisan pun komentar-komentar yang membuat hati dan interaksi menjadi tidak nyaman sepanjang setahun terakhir ini.
Secara khusus, saya memohon maaf kepada Opa Tjipta yang dalam balasan komentar saya pada tulisan beliau di sini, mengatakan jika salah satu orang yang ingin ditemui beliau pada Kompasianival kemarin adalah S Aji. Ini sungguh sebuah kehormatan bagi saya. Sebenarnya saya memendam niatan yang sama, ingin sekali berjumpa sosok sesepuh Opa yang terus tekun menulis sembari berbagi manfaat dan inspirasi dari kisah nyata selain juga sosok sepuh yang mengajarkan jika berKompasiana bukan terbatas ruang persaudaraan maya semata, persaudaraan di Kompasiana itu nyata. Saya tidak bisa hadir sebab saat yang sama harus segera menuju Ternate, Maluku Utara demi menjenguk Opa dari Ibu yang sedang sakit.
Akhir kata, selamat menyambut perayaan Natal bagi saudara-saudara Kristiani.
Salam!
***
Ilustrasi: annmariehoyt.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H