Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahasa Puitik dan Menulis Optimisme

15 Desember 2015   08:52 Diperbarui: 16 Desember 2015   02:55 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik seperti ini adalah politik yang mati. Ia tidak memiliki imajinasi lain selain terkunci dalam kotak suara. Kalau pun ia bicara visi misi atau mengutip bahasa ideologi, itu hanyalah sekedar taktik alias modus. Gerak atau energi terdalamnya tidak pergi jauh dari perkara kalkulasi menang dan kalah. Termasuk tentang daulat rakyat, dalam politik seperti ini, ia hanyalah pemanis dalam bahasa marketing saja, bukan eksistensi yang riil dan memiliki pengaruh.

Dalam kenyataannya, kita bisa menyaksikan dunia politik yang seperti ini. Hampir di seluruh daerah, politik bukanlah sebuah ruang untuk membangun imajinasi yang lebih segar tentang cita-cita hidup bersama. Dimana-mana, politik mengalami defisit makna, hanya ada kala pemilu dan sesudah itu elit hidup terpisah dari rakyatnya.

Dunia ekonomi pun bukan tidak sedang mengalami kecenderungan yang sama.

Kesibukan berburu investasi secara besar-besaran yang disertai dengan aksi deregulasi dan debirokratisasi sistematik telah juga merawat nalar kalkulatif di atas. Hubungan ekonomi membuat manusia tersekat dalam kalkulasi pemilik modal, pasar, buruh dan komoditi dengan mantra besar yang disebut keuntungan. Tidak ada imajinasi lain selain hubungan-hubungan mekanik, seolah mesin. Dalam ekonomi, manusia tidak lebih dari baut penyangga mesin produksi, pertumbuhan, dan keuntungan; ekonomisme yang membunuh manusia dari inti tujuannya.

Di daerah-daerah kita juga membaca gejala ekonomi yang tumbuh dalam jenis hubungan mekanik. Seolah saja segala hal harus diarahkan untuk mendongkrak PAD. Pesisir direklamasi bukan untuk menahan laju abrasi, tapi untuk melayani ideologi pusat jasa dan perdagangan. Ijin-ijin pembukaan hutan juga digenjot habis-habisan demi mendongkrak kas PAD. Manusia di kota-kota didorong untuk terus hidup dalam kerja keras berdampingan dengan bujuk rayu belanja tiada henti. Manusia di pinggir hutan dipaksa menjadi saksi bisu perubahan lansekap hutan karena ekspansi perkebunan dan tambang.

Yap, politik dan ekonomi yang jatuh pada logika kalkulasi, kehilangan imajinasi di luar statistik pertumbuhan dan arti kemuliaan manusia. Itulah politik dan ekonomi yang kehilangan bahasa puitiknya.

Dari penjelasan ini, pengertian pertama, bahasa puitik yang dimaksud adalah bahasa yang merawat imajinasi dari penjerumusan makna manusia karena nalar kalkulatif-instrumentalis tersebut. Dengan kata lain, bahasa puitik adalah bahasa yang memberi proporsi kepada kemuliaan manusia dan menentang dominasi pengertian tentang manusia yang direndahkan seolah benda-benda saja. Bahasa puitik yang juga memberi penghargaan pada alam raya dan semesta kehidupan makluk yang lain setara sederajat.

Lantas, yang kedua, pengertian apalagi yang bisa diturunkan dari gambaran di atas?

Pendasaran yang lain tentang bahasa putik saya temukan dalam Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang berjudul Peta (majalah Tempo edisi 13 Desember 2015).

Kalimat pembuka dalam catatan pinggir tersebut sangat mengena :

Hidup bukan peta yang dibingkai. Tapi manusia agaknya mudah melupakan itu, ketika sejarah jadi cerita yang sudah selesai-sebelum penaklukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun