[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock | Admin"][/caption]Membaca reportase kawan K’ers tentang merawat optimisme dalam produksi tulisan di Kompasiana yang dianjurkan presiden Jokowi adalah salah satu pesan penting yang perlu tindaklanjuti secara sungguh. Pertama-tama, saya mencoba menangkap pesan itu bukan karena ajakan seorang kepala negara tapi sebagai sejenis panggilan (calling) terhadap diri sendiri terlebih dahulu.
Yang kedua, tentulah untuk berkontribusi kepada Kompasiana pada tahun-tahun mendatang secara lebih bermanfaat, paling kurang terhadap diri pribadi. Yang ketiga, sesudah dua tantangan ini terpenuhi secara baik barulah ia boleh menjadi penyebar optimisme ke lingkungan pembaca yang lebih luas dan kompleks.
Setiap kita memiliki cara sendiri dalam mewujudkan karya yang merawat dan menyebarkan optimisme. Jenis karya itu akan bertingkat-tingkat dan bervariasi secara tematik. Maka akan ada jenis karya yang merawat optimisme dari pengalaman-pengalaman faktual-subyektif yang sifatnya “skala kecil” hingga pada jenis karya yang berjibaku dengan hal-hal skala dan kompleks bin rumit.
Manakah jenis menulis karya yang lebih baik dipilih?
Bagi saya, tidak ada. Karya tulis yang berangkat dari concern akan peristiwa harian yang tampak sepele dan seolah sudah biasa tetap memiliki nilai optimisme yang berharga sebagaimana isu besar yang membutuhkan jenis cara memahami lebih kompleks. Persoalannya lebih pada bagaimana kita menyampaikan makna dalam membangun optimisme hidup bersama. Selain itu, secara sosial, dalam hidup berbangsa di era globalisasi, setiap peristiwa harian yang diangkat selalu memiliki konteks sistem besarnya termasuk juga setiap dinamika dalam sistem besar selalu akan memberi dampak ke dalam peristiwa harian.
Terkait menulis dan merawat optimisme tersebut, saya akan coba masuk dalam sedikit pembahasan soal ini dengan niat pertama untuk memberi sedikit “petunjuk jalan” bagi keterlibatan saya pada tahun-tahun mendatang. Dan semoga usaha awal ini dapat juga menjadi stimulus gagasan di akhir tahun. Saya mencoba menghubungkan pengertian bahasa puitik dengan menulis sebagai usaha berbagi optimisme itu.
Bahasa Puitik dalam Menulis Optimisme
Salah satu guru saya pernah berujar “dunia politik hari ini menjemukan juga dangkal; seperti mati. Karena ia telah kehilangan bahasa puitik!”.
Mendengar ini, saya sempat bingung. Politik yang kehilangan puisi? Politik yang seperti apa dan puisi yang serupa apa? Maka kami berdiskusi dan saya mengambil beberapa benang merah berikut.
Politik hari ini atau yang selama ini berjalan adalah politik yang sedang terpenjara dalam bahasa yang formal, prosedural, dan terus saja memelihara dirinya dalam pragmatisme dan perburuan material. Sehingga yang terjadi antara politisi, partai dan konstituen adalah hukuman yang formil-prosedural-pramagtis-material oriented.
Bahasa politik seperti ini bukan saja kaku, rutin, dan menjemukan. Politik menjadi sekedar kontestasi dalam pemilu. Politik menjadi sekedar kotak suara, daftar pemilih tetap, nomor urut dan kalkulasi hasil pemungutan suara. Politik yang membuat hubungan manusia jatuh pada hubungan benda-benda yang mudah saja dihargai dengan rupiah. Tak ada manusia di sini.
Politik seperti ini adalah politik yang mati. Ia tidak memiliki imajinasi lain selain terkunci dalam kotak suara. Kalau pun ia bicara visi misi atau mengutip bahasa ideologi, itu hanyalah sekedar taktik alias modus. Gerak atau energi terdalamnya tidak pergi jauh dari perkara kalkulasi menang dan kalah. Termasuk tentang daulat rakyat, dalam politik seperti ini, ia hanyalah pemanis dalam bahasa marketing saja, bukan eksistensi yang riil dan memiliki pengaruh.
Dalam kenyataannya, kita bisa menyaksikan dunia politik yang seperti ini. Hampir di seluruh daerah, politik bukanlah sebuah ruang untuk membangun imajinasi yang lebih segar tentang cita-cita hidup bersama. Dimana-mana, politik mengalami defisit makna, hanya ada kala pemilu dan sesudah itu elit hidup terpisah dari rakyatnya.
Dunia ekonomi pun bukan tidak sedang mengalami kecenderungan yang sama.
Kesibukan berburu investasi secara besar-besaran yang disertai dengan aksi deregulasi dan debirokratisasi sistematik telah juga merawat nalar kalkulatif di atas. Hubungan ekonomi membuat manusia tersekat dalam kalkulasi pemilik modal, pasar, buruh dan komoditi dengan mantra besar yang disebut keuntungan. Tidak ada imajinasi lain selain hubungan-hubungan mekanik, seolah mesin. Dalam ekonomi, manusia tidak lebih dari baut penyangga mesin produksi, pertumbuhan, dan keuntungan; ekonomisme yang membunuh manusia dari inti tujuannya.
Di daerah-daerah kita juga membaca gejala ekonomi yang tumbuh dalam jenis hubungan mekanik. Seolah saja segala hal harus diarahkan untuk mendongkrak PAD. Pesisir direklamasi bukan untuk menahan laju abrasi, tapi untuk melayani ideologi pusat jasa dan perdagangan. Ijin-ijin pembukaan hutan juga digenjot habis-habisan demi mendongkrak kas PAD. Manusia di kota-kota didorong untuk terus hidup dalam kerja keras berdampingan dengan bujuk rayu belanja tiada henti. Manusia di pinggir hutan dipaksa menjadi saksi bisu perubahan lansekap hutan karena ekspansi perkebunan dan tambang.
Yap, politik dan ekonomi yang jatuh pada logika kalkulasi, kehilangan imajinasi di luar statistik pertumbuhan dan arti kemuliaan manusia. Itulah politik dan ekonomi yang kehilangan bahasa puitiknya.
Dari penjelasan ini, pengertian pertama, bahasa puitik yang dimaksud adalah bahasa yang merawat imajinasi dari penjerumusan makna manusia karena nalar kalkulatif-instrumentalis tersebut. Dengan kata lain, bahasa puitik adalah bahasa yang memberi proporsi kepada kemuliaan manusia dan menentang dominasi pengertian tentang manusia yang direndahkan seolah benda-benda saja. Bahasa puitik yang juga memberi penghargaan pada alam raya dan semesta kehidupan makluk yang lain setara sederajat.
Lantas, yang kedua, pengertian apalagi yang bisa diturunkan dari gambaran di atas?
Pendasaran yang lain tentang bahasa putik saya temukan dalam Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang berjudul Peta (majalah Tempo edisi 13 Desember 2015).
Kalimat pembuka dalam catatan pinggir tersebut sangat mengena :
Hidup bukan peta yang dibingkai. Tapi manusia agaknya mudah melupakan itu, ketika sejarah jadi cerita yang sudah selesai-sebelum penaklukan.
Saya menangkap kalimat pembuka ini sebagai sebuah peringatan jikalau kita, manusia, selalu mudah terpenjara pada tafsir-tafsir yang merawat gairah berkuasa atas dunia dan sesama manusia sebagaimana tampak dalam gambaran praktik politik dan ekonomi harian di atas. Lagi-lagi Albert Camus benar, manusia selalu menjadi mangsa dari kebenaran yang dianutnya. Saya tidak bilang bahwa semua teori ekonomi dan politik hanya berkutat soal menang kalah atau untung rugi. Sependek bacaan saya, isu manusia dalam politik dan ekonomi juga memiliki pembela-pembelanya yang gigih walau gagasan mereka gagal menjadi arus utama.
Selanjutnya, Goenawan Mohamad lalu memberi satu lagi pendasaran yang memiliki relevansi dengan pengertian bahasa puitik :
Manusia tak hanya berada dalam peta yang dibingkai dan kanvas yang statis. Ia punya apa yang saya sebut sebagai “ruang puitik”, dimana berkecamuk segala yang tak-dapat-diperhitungkan, dimana segala yang-tak-pasti melontarkan bayang-bayangnya.
Dalam penjelasan ini, maka pengertian kedua, bahasa puitik adalah bahasa yang bicara sejarah dan hidup manusia yang tidak satu warna, bukan garis lurus dan melulu bahagia. Hidup manusia juga bergulat dengan tragedi dan kekelaman, berjuang melewati ketidakpastian, bukan seperti benda-benda ya g terikat dalam hukum fisika atau kimia. Manusia menjadi memiliki harga kehormatan karena ia menolak tunduk pada kekelaman dan kegetiran perjalanan hidupnya.
Maka bahasa puitik yang membicarakan ihwal hidup manusia yang belum selesai didefinisikan, hidup yang tidak pasti, tidak melulu bahagia gaya sinetron, juga adalah sebuah usaha untuk merawat optimisme dari sebuah cara bertutur yang berdiri di sisi kelam. Merawat optimisme dari sudut tutur seperti ini jauh lebih nendang ketimbang membicarakan optimisme dari kisah-kisah keindahan.
Kalau demikian halnya, pengertian ketiga, bahasa puitik yang dimaksud juga terbaca senada dengan maksud Ignas Kleden. Bahasa puitik disebutnya memiliki dua kapasitas, yakni untuk menyingkap dan menyembunyikan. Bahasa puitik bisa menghantar pembacanya tiba pada pemaknaan baru atas hidup dan peristiwa yang terekam dalam kata-kata atau justru tiba pada tanda tanya yang tidak pernah usai dan pencaharian terus menerus akan hakikat hidup manusia.
Optimisme itu dibangun dalam pencaharian terus menerus berdasarkan pada pengetahuan, baik yang bersumber dari agama pun bukan, terhadap arti hakikat hidup manusia dalam hubungannya dengan sesama, terhadap alam, dan terhadap semesta. Pencaharian seperti ini melampaui batasan ruang dan waktu walau berangkat dari perjalanan fana manusia dalam ruang dan waktu tertentu.
Dari tiga pelukisan singkat ini, dalam kaitan dengan merawat optimisme melalui medium menulis, maka ringkasan bahasa puitik yang dimaksud adalah :
1), bahasa yang mengembalikan nilai, imajinasi dan proprosi kemuliaan manusia terhadap kuasa yang membuat segala hal seolah daftar benda dan komoditi saja;
2), bahasa yang menjaga sikap kehati-hatian dan mawas diri manusia berhadapan dengan definisi hidup yang merasa sudah tuntas dan mudah menghakimi;
3), bahasa yang melihat manusia selalu berada dalam tegangan : mencari pemaknaan baru atau malah menyerahkan daya akal budinya menjadi manusia dengan mentalitas budak.
Penutup
Demikian beberapa usaha menghubungkan pesan optimisme dalam kerja kepenulisan dengan menggunakan bahasa puitik yang sepintas sangat didominasi asumsi-asumsi antropologi-filosofis. Sebagai usaha awal menyusun sebuah petunjuk jalan untuk menulis dalam tahun-tahun mendatang tantangannya adalah sejauh mana saya berkukuh hati menulis dalam orientasi bahasa puitik yang seperti ini atau nanti justru mencari pendasaran lain yang meninggalkan asumsi antropologi-filosofis.
Yang penting juga dicatat sebelum menutup adalah pengertian bahasa puitik dalam usaha merawat optimisme hidup manusia yang serupa ini bisa saja tidak sejalan dengan kabar-kabar resmi pemerintah tentang pertumbuhan, pembangunan, proyek infrastruktur, dan sejenis kabar yang menceritakan keberhasilan versi pemerintah. Bahasa puitik yang seperti ini akan "membela negara" yang melayani kebaikan hidup dan kemanusiaan serta akan menentang keras jika bertindak sebaliknya.
Semoga "uji coba menyusun petunjuk untuk menulis" ini bisa berguna.
Sudah dulu ya, kopi saya sudah dingin.
Salam
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H