Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sakit!

7 Desember 2015   09:42 Diperbarui: 7 Desember 2015   10:16 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara maraknya sinetron import dari Turki dan India, masyarakat penonton di Indonesia disajikan “drama politik” berjudul #PapaMintaSaham. #PapaMintaSaham adalah drama yang belum diketahui siapa sesungguhnya sang dalang, sutradara, dan penulis skripnya. Semuanya masih misteri.

Di luar para pemain drama #PapaMintaSaham itu, tetiba saja lahir banyak pengamat. Pengamat jenis sekolahan yang hidup dari mendagangkan komentar bukan menulis buku atau melakukan riset serius untuk pengembangan keilmuan. Dan juga, lahir pengamat amatiran yang setiap pemilu datang memilih dan setiap sesudah pemilu makan hati tapi tak penah benci dengan politik.

Dalam drama politik dan pertumbuhan pengamat-pengamat itu, entah mana yang sedang berdiri di jalan yang benar dan bisa dipercaya. Yang jelas, hidup sejujurnya sederhana saja, yang rumit adalah tafsir-tafsirnya, seperti kata Mbah Pramoedya.

Begitulah juga adanya yang terjadi di sebuah kampung padat perkotaan di salah satu sudut Indonesia Raya.

***

Johan pagi itu sedang menyiapkan dagangannya.

Ia telah menjadi penjaja pentol goreng sejak 5 tahun terakhir yang keliling ke sekolah-sekolah. Pekerjaan seperti ini adalah pilihan yang mundur tapi mau apalagi, menjadi bandar judi ketangkasan yang memutar uang 10 juta rupiah sehari sudah tidak memungkinkan. Polisi sekarang sedang ganas-ganasnya pada bandar judi, narkoba, dan perampok jalanan. Tapi masih payah mengejar koruptor.

Masa iya hidup harus berhenti karena mengenang masa lalu melulu? Ah, bukan laki fearless, batin Johan meniru iklan yang sering muncul di tayangan tinju.

“Kamerad Jo, hari ini, istriahatlah sejenak menjaja pentol. Kita kumpul di pos ronda. Bagilah perhatianmu dengan perkembangan mutakhir politik nasional.” ajak Marjuki di tengah kesibukan menyiapkan dagangan.

“Kamerad, apa itu?,”

“Yah, biar kelihatan kita sejajar dan setara sebagai jelatalah. Itu sapaan khas mereka yang setara dan sama rasa” terang Juki terhadap kebingungan Johan mengapa ia dipanggil begitu.

Juki memang eks mahasiswa fakultas Sospol yang gagal sarjana. Ia kebanyakan membaca cerita-cerita revolusioner dari Eropa Timur sana. Konon yang seperti Marjuki ini disebut penganggur intelektual.

“Oh. Saya mau dagang, sekarang kan hari senin dan masih minggu pertama bulan Desember. Anak-anak sedang berlimpah duit jajannya.”

“Kau ini bagimana, situasi perpolitikan Republik sedang pening dalam genting. Ini skandal besar loh. Jangan hanya sibuk dengan urusan dapur sendiri kawan. Ingatlah, kau boleh acuh pada politik, tapi politik akan selalu mencarimu!”

“Politisi itu tidak membeli pentolku Juki. Jelas?” serangan balik Johan akhirnya keluar.

“Tapi mereka menggadaikan hak-hak kewargaanmu.” Marjuki kesal.

Lalu balik kanan, pergi menyusuri gang kecil nan padat. Ia menuju pos ronda, barangkali saja ada warga lain yang sudi dikuliahinya.

Johan kembali sibuk dengan dagangan pentolnya.

***
Pukul 13.00. Tengah hari, matahari berdiri dalam enggan, panas tidak, hujan tiada. Hawa menjadi sumuk.

Johan memilih pulang dari halaman depan sebuah sekolah dasar. Dagangannya hari ini tidak membuahkan pemasukan yang banyak. Tanggal muda tapi orang tua anak-anak itu lebih memilih menitipkan bekal dari pada uang jajan.

“Om, Adi mulai hari ini tidak lagi beli pentolnya Om.”

“Lho, kenapa?Apakah tidak enak lagi Di?,” tanya Johan kaget. Adi, anak kelas 4 SD itu termasuk pelanggan setianya. Tiba-tiba menyatakan putus selera dengan pentolnya. Gawat!

“Ibu bilang, jajanan yang dijual di halaman depan sekolah itu tidak sehat. Seperti berita di tv itu, jadi Adi dilarang jajan. Sekarang bawa bekal setiap hari dari rumah.”

Alamak! Matilah awak, ratap Johan dalam hatinya.

Percakapan dengan Adi beberapa waktu lalu terus menghantui pikirannya dalam perjalanan pulang kembali ke gang padat. Jika 10 anak dari 25 memiliki kesadaran seperti Adi, lalu mereka saling memberi tahu dan mengajak tidak jajan, terus bagaimana nasib pentolku?

Johan galau. Langkah galaunya menuntun singgah di pos ronda. Orang galau selalu butuh curhat.

Ada ramai kecil manusia yang sedang duduk khusyuk di depan televisi. Di depan pos ronda terpasang baliho pasangan calon yang menyumbang televisi tersebut. Desember ini akan ada pilkada serentak. Gantinya, warga di gang padat itu harus mendukung dia sebagai bayaran. Padahal yang nonton televisi di pos ronda hanyalah tukang ojek, pengangguran kampung, dan pedagang keliling yang risau.

Ramai kecil manusia yang sedang menyaksikan sidang tentang skandal yang disebut Marjuki tadi pagi. Johan memutar pandang, memeriksa siapa saja yang hadir. Ada Jono, si reparator panci bocor. Ada Gun, si penjahit sepatu. Ada Rinto, reparator payung keliling. Ada juga Salim, penjahit keliling.

“Kalian lihat, si saksi perekam tenang sekali. Wajahnya menunjukkan jejak kelelahan, tapi emosinya tetap stabil, datar dan terlihat menguasai dirinya. Ia orang yang terlatih bekerja dalam tekanan. Ia profesional. Pribadi yang sangat berkarakter“ suara Juki muncul mengimbangi tanya jawab dalam sidang tersebut.

Sedang Jono, Rinto, Gun dan Salim diam saja. Tatap mereka fokus pada tayangan.

“Jamnya bagus ya. Kira-kira harga berapanya?” tanya Jono kepada Rinto, berharap Rinto pernah bekerja mereparasi jam rusak sebelum jadi reparator payung rusak.

“Entah No. Tapi dari pantulan kilap kilauannya, rasanya memang mahal.”

“Lim, kau pernah menjahit baju sebagus batik yang dipakai itu?” kali ini ganti Gun yang bertanya kepada Salim.

“Belum pernah. Tapi kalau dilihat dari motif dan halus bahannya, batik itu bisa berharga 500 ribu ke atas.”

“Ah, mahal sekali.”

“Ya, memang segitu.”

“Kalian perhatikan. Perhatikan. Pimpinan sidang sepertinya memberi angin dukungan pada saksi perekam ya. Ini bisa jadi menandakan perubahan konstalasi kepentingan dan konsensus di level elit yang tidak terbaca penonton awam. Kalian jangan terkecoh dengan mereka yang sedang bersidang, mereka hanya wayang yang ditugaskan memainkan skrip perannya. Aktor intelektual yang mengatur negoisasi tidak pernah hadir di depan sorot kamera. Itulah sebab disebut dalang bukan?” kembali Juki mengomentari.

Tangannya sambil bersedekap di depan dada. Merasa sedang membaca misteri yang tak terlihat.

“Lim, kalau baju jubah merah itu, lama gak bikinnya?” gantian Gun yang bertanya lagi kepada Salim.

“Kalau dilihat dari bentuknya yang seperti terusan sih gampang aja.”

“Oooh.”

Johan hanya berdiri. Mematung di belakang lima manusia jelata yang berkomentar beda-beda di depan tontonan sidang di televisi.

Ia kemudian mengeluarkan sisa dagangan. Di gelarnya di depan mereka berlima.

Yang terjadi kemudian adalah aksi saling ribut pentol lima anak manusia. Bahkan ketika mulut sudah penuh, tangan-tangan mereka masih juga menggenggam pentol-pentol. Tak ada lagi yang menyimak tayangan televisi.

Nafas mereka megap-megap. Mulut penuh sesak, nafas yang saling memburu agar lekas habis duluan supaya bisa memasukkan pentol berikutnya. Sekejap saja, bleeess, kosong melompong.

Johan lantas mengambil wadah pentol yang sudah kosong. Menatap wajah mereka yang tampak serupa sapi sedang mengunyah.

“Sakit!”

Lalu melangkah menuju rumahnya. Galaunya bertambah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun