“Ibu bilang, jajanan yang dijual di halaman depan sekolah itu tidak sehat. Seperti berita di tv itu, jadi Adi dilarang jajan. Sekarang bawa bekal setiap hari dari rumah.”
Alamak! Matilah awak, ratap Johan dalam hatinya.
Percakapan dengan Adi beberapa waktu lalu terus menghantui pikirannya dalam perjalanan pulang kembali ke gang padat. Jika 10 anak dari 25 memiliki kesadaran seperti Adi, lalu mereka saling memberi tahu dan mengajak tidak jajan, terus bagaimana nasib pentolku?
Johan galau. Langkah galaunya menuntun singgah di pos ronda. Orang galau selalu butuh curhat.
Ada ramai kecil manusia yang sedang duduk khusyuk di depan televisi. Di depan pos ronda terpasang baliho pasangan calon yang menyumbang televisi tersebut. Desember ini akan ada pilkada serentak. Gantinya, warga di gang padat itu harus mendukung dia sebagai bayaran. Padahal yang nonton televisi di pos ronda hanyalah tukang ojek, pengangguran kampung, dan pedagang keliling yang risau.
Ramai kecil manusia yang sedang menyaksikan sidang tentang skandal yang disebut Marjuki tadi pagi. Johan memutar pandang, memeriksa siapa saja yang hadir. Ada Jono, si reparator panci bocor. Ada Gun, si penjahit sepatu. Ada Rinto, reparator payung keliling. Ada juga Salim, penjahit keliling.
“Kalian lihat, si saksi perekam tenang sekali. Wajahnya menunjukkan jejak kelelahan, tapi emosinya tetap stabil, datar dan terlihat menguasai dirinya. Ia orang yang terlatih bekerja dalam tekanan. Ia profesional. Pribadi yang sangat berkarakter“ suara Juki muncul mengimbangi tanya jawab dalam sidang tersebut.
Sedang Jono, Rinto, Gun dan Salim diam saja. Tatap mereka fokus pada tayangan.
“Jamnya bagus ya. Kira-kira harga berapanya?” tanya Jono kepada Rinto, berharap Rinto pernah bekerja mereparasi jam rusak sebelum jadi reparator payung rusak.
“Entah No. Tapi dari pantulan kilap kilauannya, rasanya memang mahal.”
“Lim, kau pernah menjahit baju sebagus batik yang dipakai itu?” kali ini ganti Gun yang bertanya kepada Salim.