“Belum pernah. Tapi kalau dilihat dari motif dan halus bahannya, batik itu bisa berharga 500 ribu ke atas.”
“Ah, mahal sekali.”
“Ya, memang segitu.”
“Kalian perhatikan. Perhatikan. Pimpinan sidang sepertinya memberi angin dukungan pada saksi perekam ya. Ini bisa jadi menandakan perubahan konstalasi kepentingan dan konsensus di level elit yang tidak terbaca penonton awam. Kalian jangan terkecoh dengan mereka yang sedang bersidang, mereka hanya wayang yang ditugaskan memainkan skrip perannya. Aktor intelektual yang mengatur negoisasi tidak pernah hadir di depan sorot kamera. Itulah sebab disebut dalang bukan?” kembali Juki mengomentari.
Tangannya sambil bersedekap di depan dada. Merasa sedang membaca misteri yang tak terlihat.
“Lim, kalau baju jubah merah itu, lama gak bikinnya?” gantian Gun yang bertanya lagi kepada Salim.
“Kalau dilihat dari bentuknya yang seperti terusan sih gampang aja.”
“Oooh.”
Johan hanya berdiri. Mematung di belakang lima manusia jelata yang berkomentar beda-beda di depan tontonan sidang di televisi.
Ia kemudian mengeluarkan sisa dagangan. Di gelarnya di depan mereka berlima.
Yang terjadi kemudian adalah aksi saling ribut pentol lima anak manusia. Bahkan ketika mulut sudah penuh, tangan-tangan mereka masih juga menggenggam pentol-pentol. Tak ada lagi yang menyimak tayangan televisi.