Juki memang eks mahasiswa fakultas Sospol yang gagal sarjana. Ia kebanyakan membaca cerita-cerita revolusioner dari Eropa Timur sana. Konon yang seperti Marjuki ini disebut penganggur intelektual.
“Oh. Saya mau dagang, sekarang kan hari senin dan masih minggu pertama bulan Desember. Anak-anak sedang berlimpah duit jajannya.”
“Kau ini bagimana, situasi perpolitikan Republik sedang pening dalam genting. Ini skandal besar loh. Jangan hanya sibuk dengan urusan dapur sendiri kawan. Ingatlah, kau boleh acuh pada politik, tapi politik akan selalu mencarimu!”
“Politisi itu tidak membeli pentolku Juki. Jelas?” serangan balik Johan akhirnya keluar.
“Tapi mereka menggadaikan hak-hak kewargaanmu.” Marjuki kesal.
Lalu balik kanan, pergi menyusuri gang kecil nan padat. Ia menuju pos ronda, barangkali saja ada warga lain yang sudi dikuliahinya.
Johan kembali sibuk dengan dagangan pentolnya.
***
Pukul 13.00. Tengah hari, matahari berdiri dalam enggan, panas tidak, hujan tiada. Hawa menjadi sumuk.
Johan memilih pulang dari halaman depan sebuah sekolah dasar. Dagangannya hari ini tidak membuahkan pemasukan yang banyak. Tanggal muda tapi orang tua anak-anak itu lebih memilih menitipkan bekal dari pada uang jajan.
“Om, Adi mulai hari ini tidak lagi beli pentolnya Om.”
“Lho, kenapa?Apakah tidak enak lagi Di?,” tanya Johan kaget. Adi, anak kelas 4 SD itu termasuk pelanggan setianya. Tiba-tiba menyatakan putus selera dengan pentolnya. Gawat!