Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Cerita dari Digul

6 Desember 2015   08:00 Diperbarui: 6 Desember 2015   10:36 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Cover belakang Cerita dari Digul/dok.pri"][/caption]Bagaimanakah rasanya menulis dalam kondisi menjalani pembuangan politik?

Pembuangan politik yang bukan saja memenjara kemerdekaan diri. Bukan sebatas membuat jauh dari kampung halaman dan orang-orang tercinta. Tapi ini adalah pembuangan politik yang dialami sebab menentang kekuasaan kolonial yang serba sensorik-represif terhadap karya tulis dan mudah sekali mengeluarkan hukuman tanpa pengadilan. Juga pembuangan politik yang dialami ketika wujud Republik merdeka dan berdaulat belum lagi menunjukkan tanda-tanda kelahirannya.

Ini juga adalah pembuangan politik yang menghadapkan hidup pada ketidakpastian sampai kapan mampu bertahan. Oleh karena melewati hidup harian pada tempat yang jauh dari pengawasan hukum yang beradab.

Sebuah tempat dimana kurungan serta kerja paksa membuka hutan untuk berladang dilakukan dalam todongan senapan dan tendangan sepatu lars. Sebuah tempat dimana serangan penyakit mematikan, malaria hitam, telah menjadi agen malaikat maut yang paling menakutkan.

Pendek kata, bagaimanakah rasanya menulis dalam siksaan lahir batin dimana keyakinan dan hidup dipertaruhkan melewati ketidakpastian sampai kapan dera siksa itu berakhir.

Saya secara terlambat menjumpai buku kumpulan cerita yang ditulis dalam kondisi seperti di atas. Karya yang disunting oleh orang buangan, seorang tahanan politik juga sastrawan cum sejarawan besar, Pramoedya Ananta Toer. Kumpulan tulisan itu berjudul Cerita dari Digul yang pertama kali diterbitkan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tahun 2001. Kini dicetak kembali oleh KPG.

Buku ini memuat lima cerita pendek yang merekam kisah-kisah hidup di Tanah Boven Digul, sebuah tanah kematian bagi para pemberontak yang mulai disediakan pemerintah kolonial tahun 1927. Boven Digul adalah kamp pengasingan yang sengaja dibuat untuk mereka yang dianggap terlibat atau pun bersimpati pada pemberontakan 1926-1927, tanpa pengadilan. (Pramoedya, Pengantar, hal xxi).

Dalam lima cerita itu, tidak ada yang membahas bagaimana menulis dalam suasana penderitaan manusia buangan kolonial. Alias bukan buku resep menulis walau dengan membaca pelan-pelan setiap cerita kita bisa melihat sebuah pola menulis tahun-tahun itu.

Yang lebih saya maksudkan disini adalah buku Cerita dari Digul boleh menuntun untuk menyambungkan kesadaran merdeka hari ini dengan kesadaran yang berjuang untuk merdeka. Teks yang bisa menyambungkannya adalah lima cerita pendek.

Pramoedya dalam pengantarnya mengatakan jika kelima cerita ini memberi jejak penting bagi perkembangan sastra dan bahasa Indonesia.

Apa pasalnya?

Para penulisnya menyusun cerita dengan menggunakan bahasa Melayu yang menjadi “ibu” dari bahasa Indonesia. Mereka menulis dalam gairah nasionalisme bahasa nasional yang masih muda dalam semangat Sumpah Pemuda 1928 yang menetapkan bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Sementara, bagi Pram, ketika kesepakatan Sumpah Pemuda dideklarasikan,kesepakatan bahasa persatuan (baca : Melayu) tidak cukup dinilai dan dirumuskan.

Dengan kata lain, kesulitan tambahan dari para penulis yang eks-Digulist itu adalah menulis dalam sebuah cara bertutur baru yang masih mencari bentuknya. Mereka memilih tidak menulis dalam bahasa ibunya, baik yang berasal dari Sumatera maupun dari tanah Jawa.

Pram sendiri dalam menyusun kumpulan cerita hanya memiliki keterangan biodata dari dua penulis, yakni Wiranta yang kelahiran Priangan, Tanpa Nama yang kelahiran Jawa Tengah, juga Abdoel’Xarim M.s yang lahir di Aceh. Dua lagi tidak diketahui siapa mereka.

Dalam posisi pembaca, saya melihat Cerita dari Digul akan mengajak untuk suasana batin manusia buangan pada sebuah zaman dimana kolonialisme yang mewakili peradaban Barat nan serakah lagi biadab. Ada lima cerita : Rustam Digulist ( D.E Manu Turoe), Darah dan Air-Mata di Boven Digul (Oen Bo Tik), Pandu Anak Buangan (Abdoel’lXarim M.s), Antara Hidup dan Mati (Wiranta), dan Minggat dari Digul (Tanpa Nama).

Rustam Digulist : Cinta, Komunis, dan Pembuangan

Saya akan sedikit membagi bacaan saya pada cerita pertama dari buku Cerita dari Digul. Judulnya Rustam Digulist.

Rustam Digulist yang ditulis D.E Manu Turoe berkisah tentang seorang pemuda dari tanah Simelungun, Sumatera Utara. Rustam memiliki janji untuk menikahi kekasihnya yang sudah mendesak agar janji menikah dan hidup bersama segera dipenuhinya.

Dialog Rustam dan kekasihnya disajikan pengarang dengan indah, layaknya bait puisi. Dialog yang merekam penantian perempuan menunggu dilamar sementara sang lelaki belum lagi memiliki pegangan untuk menafkahi hidup bersama.

“Hhhh...! Hatiku ta’ sabar lagi menanti, Rustam! Bilakah masanya engkau akan melamar puspa sekumtun di taman itu kakanda?Siang hari alam, padamu jua aku terkenang! Apakah engkau akan berjanji jua serupa dahulu, kakandaku?”

“Adinda, adikku Cindai...!”

“Tentukanlah, pastikanlah pebila engkau datang meminang daku!”

“Dengarkanlah perkataanku dahulu dengan sabar, adinda!”

“Hatiku telah penuh sesak, rasanya semakin risau jua!”

Rustam lalu melamar pada sebuah onderneming dan diterima.

Bekerja pada sebuah onderneming membuat Rustam menyaksikan bagaimana buruh-buruh dihajar secara suka hati oleh tuan-tuang kolonial dan cecunguk pelayannya. Yang menarik, pengarang menyebut nama para buruh itu dengan nama-nama Jawa seperti Wongso, Tukinem, dan mbok Sarinem, Hadisisworo dan Kromojoyo.

Penyebutan nama-nama Jawa bisa saja dimaksudkan demi menunjukkan kondisi kala itu dimana para pekerja paksa di wilayah-wilayah onderneming Belanda dikirim dari pulau Jawa sekaligus juga menunjukkan rasa sependeritaan sebagai sesama kaum tertindas yang menghancurkan sekat etnis.

Dalam satu bagian cerita, Rustam sedang risau karena surat kekasihnya yang mendesak untuk dilamar. Surat yang ringkas namun dalam maknanya. Dalam gundah gulananya, datang seorang Parto, kuli, yang melaporkan seorang kuli yang lain, Suparman, sedang dihajar oleh pengawasa atau opseter.

Rustam lalu bergerak ke perkebunan dimana Suparman dihajar dan menyelamatkannya. Penyelamatan Rustam kemudian memicu dendam pada si opseter bernama Borsthaar. Borsthaar kemudian mencari cara untuk membalas dendamnya.

Di zaman kolonialisme ditegakkan dengan senjata dan sepatu lars, aksi pembunuh bayaran tampaknya sudah biasa. Jadi si opseter bisa menggunakan tenaga kuli, yang pribumi, untuk balik menghajar Rustam. Namun ternyata tidak ada yang sudi menerima operasi balasan yang dibayar. Dengan kata lain, para kuli perkebunan itu lebih memilih berdiri di posisi Rustam.

Rupa-rupanya Rustam, dalam bahasa pergerakan, telah mengorganisir mereka. Secara diam-diam Rustam mengadakan pertemuan dengan para kuli perkebunan, pertemuan propaganda. Rustam ternyata adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah terdaftar selama satu tahun.Si Opseter kemudian melaporkan ini dan Rustam ditangkap lalu dibuang di Tanah Merah, Boven Digul.

Selama di pembuangan, Rustam tetap merawat kenangan dan cintanya pada adinda yang batal dilamarnya karena kedoknya terbongkar. Dalam masa-masa sulit ini, Rustam terus merawat harapan ia akan kembali ke kampung, tanah Simelungun dan menempuh janjinya. Rustam memang kemudian bebas dan bisa kembali ketemu jantung hatinya.

Ternyata keadaan telah berubah walau pun rasa cinta masih tetap bertahan. Stigma sebagai PKI dan orang hukuman membuat orang tua perempuan menolak menikahkan mereka. Rustam dan kekasihnya memilih kawin lari baru kemudian mengabarkan kepada keluarga mereka. Orang tua perempuan lalu mengadakan kenduri yang ternyata adalah sebuah panggung untuk menyatakan pembatalan pernikahan mereka.

Di penghujung cerita, Rustam yang seorang PKI, pemuda yang melawan kebengisan tatanan kolonial di wilayah perkebunan, dibuang di tanah Digul, kembali untuk menikahi Cindai, hanya bisa berucap : “Tuhan-lah yang Maha Mengetahuinya!”

Kisah Rustam menunjukkan konsekuensi pilihan politik dan pembelaan pada kaum kuli seorang pemuda dalam wilayah perkebunan kolonial yang bengis selain juga menghadapi penghakiman masyarakatnya sendiri. Rustam yang anggota PKI harus menghadapi tekanan politik kolonial dan “batasan adat” yang memaksanya harus kehilangan mimpi bahagia dengan Cindai. Cerita Rustam Digulist seperti mewakili adagium, revolusi selalu memakan anak kandungnya sendiri!

Bagi saya, si pengarang telah menyusun sebuah tuturan kisah yang memadukan pergulatan seorang pemuda (dunia batin individu) berhadapan dengan zaman yang membuatnya kalah. Tak ada haru biru yang terlalu. Atau juga romantisme yang bikin jemu.

Pengarang memotret dunia dalam tanpa jatuh pada narasi cengeng yang menunjukkan karakter seorang buangan politik yang keras hati melewati penderitaan Tanah Digul yang keras. Tidak ada rumusan praktis bagaimana seharusnya hidup.

Sejarah dan masyarakat adalah universitas kehidupan, terserah pada kita, generasi hari ini hendak mengambil pelajaran dari kisah yang seperti apa.

Di penghujung cerita, Rustam bahkan menyeru bahwa segala usaha dan penderitaan yang dilalui hasilnya hanyalah Tuhan yang menentukan. Rustam ternyata seorang propagandis komunis yang tidak membuang Tuhan dari hatinya.

Begitulah sedikit yang bisa saya bagikan dari pembacaan awal atas Cerita dari Digul. Masih ada empat cerita lagi yang harus disantap bersama secangkir coklat yang kini dingin karena membereskan tulisan ini. Ada sisa cerita yang perlu didalami untuk menjawab kebutuhan menyambungkan hati dan pikiran hari ini dengan suasana hati-zaman para penulis eks-Digulis. Usaha menyambungkan suasana batin hari ini dengan sejarah kelam dari kuasa bengis kolonial di Tanah Merah, Digul.

Jika tertarik, berkunjunglah ke toko buku Gramedia terdekat. Saran saya, sebaiknya dibeli, jangan dibaca di tempat. Hehehe.

Salam akhir pekan.

[Memulai dari Akhir 2015]

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun