Para penulisnya menyusun cerita dengan menggunakan bahasa Melayu yang menjadi “ibu” dari bahasa Indonesia. Mereka menulis dalam gairah nasionalisme bahasa nasional yang masih muda dalam semangat Sumpah Pemuda 1928 yang menetapkan bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Sementara, bagi Pram, ketika kesepakatan Sumpah Pemuda dideklarasikan,kesepakatan bahasa persatuan (baca : Melayu) tidak cukup dinilai dan dirumuskan.
Dengan kata lain, kesulitan tambahan dari para penulis yang eks-Digulist itu adalah menulis dalam sebuah cara bertutur baru yang masih mencari bentuknya. Mereka memilih tidak menulis dalam bahasa ibunya, baik yang berasal dari Sumatera maupun dari tanah Jawa.
Pram sendiri dalam menyusun kumpulan cerita hanya memiliki keterangan biodata dari dua penulis, yakni Wiranta yang kelahiran Priangan, Tanpa Nama yang kelahiran Jawa Tengah, juga Abdoel’Xarim M.s yang lahir di Aceh. Dua lagi tidak diketahui siapa mereka.
Dalam posisi pembaca, saya melihat Cerita dari Digul akan mengajak untuk suasana batin manusia buangan pada sebuah zaman dimana kolonialisme yang mewakili peradaban Barat nan serakah lagi biadab. Ada lima cerita : Rustam Digulist ( D.E Manu Turoe), Darah dan Air-Mata di Boven Digul (Oen Bo Tik), Pandu Anak Buangan (Abdoel’lXarim M.s), Antara Hidup dan Mati (Wiranta), dan Minggat dari Digul (Tanpa Nama).
Rustam Digulist : Cinta, Komunis, dan Pembuangan
Saya akan sedikit membagi bacaan saya pada cerita pertama dari buku Cerita dari Digul. Judulnya Rustam Digulist.
Rustam Digulist yang ditulis D.E Manu Turoe berkisah tentang seorang pemuda dari tanah Simelungun, Sumatera Utara. Rustam memiliki janji untuk menikahi kekasihnya yang sudah mendesak agar janji menikah dan hidup bersama segera dipenuhinya.
Dialog Rustam dan kekasihnya disajikan pengarang dengan indah, layaknya bait puisi. Dialog yang merekam penantian perempuan menunggu dilamar sementara sang lelaki belum lagi memiliki pegangan untuk menafkahi hidup bersama.
“Hhhh...! Hatiku ta’ sabar lagi menanti, Rustam! Bilakah masanya engkau akan melamar puspa sekumtun di taman itu kakanda?Siang hari alam, padamu jua aku terkenang! Apakah engkau akan berjanji jua serupa dahulu, kakandaku?”
“Adinda, adikku Cindai...!”
“Tentukanlah, pastikanlah pebila engkau datang meminang daku!”