“Dengarkanlah perkataanku dahulu dengan sabar, adinda!”
“Hatiku telah penuh sesak, rasanya semakin risau jua!”
Rustam lalu melamar pada sebuah onderneming dan diterima.
Bekerja pada sebuah onderneming membuat Rustam menyaksikan bagaimana buruh-buruh dihajar secara suka hati oleh tuan-tuang kolonial dan cecunguk pelayannya. Yang menarik, pengarang menyebut nama para buruh itu dengan nama-nama Jawa seperti Wongso, Tukinem, dan mbok Sarinem, Hadisisworo dan Kromojoyo.
Penyebutan nama-nama Jawa bisa saja dimaksudkan demi menunjukkan kondisi kala itu dimana para pekerja paksa di wilayah-wilayah onderneming Belanda dikirim dari pulau Jawa sekaligus juga menunjukkan rasa sependeritaan sebagai sesama kaum tertindas yang menghancurkan sekat etnis.
Dalam satu bagian cerita, Rustam sedang risau karena surat kekasihnya yang mendesak untuk dilamar. Surat yang ringkas namun dalam maknanya. Dalam gundah gulananya, datang seorang Parto, kuli, yang melaporkan seorang kuli yang lain, Suparman, sedang dihajar oleh pengawasa atau opseter.
Rustam lalu bergerak ke perkebunan dimana Suparman dihajar dan menyelamatkannya. Penyelamatan Rustam kemudian memicu dendam pada si opseter bernama Borsthaar. Borsthaar kemudian mencari cara untuk membalas dendamnya.
Di zaman kolonialisme ditegakkan dengan senjata dan sepatu lars, aksi pembunuh bayaran tampaknya sudah biasa. Jadi si opseter bisa menggunakan tenaga kuli, yang pribumi, untuk balik menghajar Rustam. Namun ternyata tidak ada yang sudi menerima operasi balasan yang dibayar. Dengan kata lain, para kuli perkebunan itu lebih memilih berdiri di posisi Rustam.
Rupa-rupanya Rustam, dalam bahasa pergerakan, telah mengorganisir mereka. Secara diam-diam Rustam mengadakan pertemuan dengan para kuli perkebunan, pertemuan propaganda. Rustam ternyata adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah terdaftar selama satu tahun.Si Opseter kemudian melaporkan ini dan Rustam ditangkap lalu dibuang di Tanah Merah, Boven Digul.
Selama di pembuangan, Rustam tetap merawat kenangan dan cintanya pada adinda yang batal dilamarnya karena kedoknya terbongkar. Dalam masa-masa sulit ini, Rustam terus merawat harapan ia akan kembali ke kampung, tanah Simelungun dan menempuh janjinya. Rustam memang kemudian bebas dan bisa kembali ketemu jantung hatinya.
Ternyata keadaan telah berubah walau pun rasa cinta masih tetap bertahan. Stigma sebagai PKI dan orang hukuman membuat orang tua perempuan menolak menikahkan mereka. Rustam dan kekasihnya memilih kawin lari baru kemudian mengabarkan kepada keluarga mereka. Orang tua perempuan lalu mengadakan kenduri yang ternyata adalah sebuah panggung untuk menyatakan pembatalan pernikahan mereka.