Pada abad 18 M, salah satu tokoh yang bisa diangkat ada-lah Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), dengan pe-ninggalannya berupa kitab fiqih cukup terkenal yaitu Sabil al-Muhtadīn liat-Tafaqquh fiAmrad-Din, yang merupakan anotasi kitab Șīrāț al-Mustaqīm karya ar-Raniri.
Kedudukannya seba-gai kitab anotasi (syarah), merupakan satu fenomena tersen-diri, bukan saja karena yang sifatnya berbeda dengan kitab pertama, tetapi di dalamnya terdapat beberapa pemikiran yang futuristik dan dalam batas tertentu tidak berangkat dari realitas masyarakat Banjar.18 Tradisi fiqih Timur Tengah yang sering disebut sebagai fiqih al-iftirādī (fiqih prediktif),19 ter-nyata begitu kuat mempengaruhi corak penulisan kitab ini.
3. Pemikiran hukum Islam pada abad 19
Pada abad 19 M, Indonesia melahirkan banyak pemikir yang beberapa di antaranya mempunyai reputasi dunia. Masa ini juga bisa dikatakan sebagai masa terjadinya pergeser-an pusat pemikiran keislaman dari luar Jawa (Sumatra dan Kalimantan) ke Jawa. Ahmad Rifa'i Kalisalak (1786-1876 M), seorang ulama' yang pernah sekitar delapan tahun tinggal.
4. Pemikiran hukum Islam pada abad 20
Pada awal abad ke 20, semangat modernisme Islam telah mengalir ke pulau Jawa. Masyarakat Arab di Batavia ter-masuk yang paling dahulu terangsang oleh perkembangan baru dalam dunia Islam tersebut. Pada tahun 1901, di Pe-kojan mereka mendirikan organisasi al-Jami'at al-Khairiyah (Perkumpulan Kebaikan). Organisasi ini memiliki tujuan di bidang pendidikan. Tokoh yang paling berperan dalam tubuh Jami'at Khair adalah Ahmad Soorkati.
Latar belakang dan tujuan lahirnya KHI
Cacatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdeka. an menunjukkan bahwa kesadaran umat Islam untuk me-laksanakan hukum Islam semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti pada tingkat penga-kuan sebagai sub sistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legali-sasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam men-jadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata sub-stansinya, tetapi secara legal formal dan positif.
Fenomena ini pertama kali muncul linear dengan lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 di mana pada sila pertama menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Per-juangan mulai kelihatan sedikit meredup setelah pada tanggal 18 Agustus 1945, tim sukses dari golongan Islam tidak mampu mempertahankan tujuh kata terakhir dari kalimat tersebut dari hiruk-pikuk polarisasi dasar negara.
Dengan hilangnya tujuh kata ini, maka pada era reformasi sekarang,muncul masalah pelik terutama bagi kalangan fundamentalis,ketika mereka bersikeras hendak melegal-positif-kan hukum Islam (syari'ah) dalam bingkai konstitusi negara.
PENDEKATAN PROGRESIF
Nalar Hukum Islam Pasca KHI