MUHAMMAD TSAQIF HIDAYAT
212121139
HKI 4D
IDENTITAS BUKU
PENULIS: MUHAMMAD LATIF FAUZI,M.Si.,MA
PENERBIT: GERBANG MEDIA AKSARA
TAHUN TERBIT: 2021
CETAKAN: PERTAMA, SEPTEMBER. 2021
HALAMAN: 168
UKURAN: 15,5 x 23 cm
Meskipun memiliki landasan hukum yang tidak kokoh untuk dijadikan pedoman (karena bersifat fakultatif dan tidak imperatif), dalam kenyataan di lapangan, Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) sangat efektif digunakan oleh para hakim di Pengadilan Agama, pegawai Kantor Urusan Agama (KUA), dan sebagian umat Islam. KHI merupakan kumpulan materi hukum Islam yang disusun dalam bahasa undang-undang oleh Tim Proyek “Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi" kerjasama Departemen Agama dan Mahkamah Agung sejak tahun 1985-1991.
Ada tiga bidang hukum Islam dalam KHI yang terumuskan ke dalam 229 pasal, yakni hukum perkawinan 170 pasal, hukum kewarisan 44 pasal, dan hukum perwakafan 15 pasal. Dalam kenyataan yuridis, KHI merupakan satu-satunya materi hukum Islam yang dilegalisasi oleh negara menjadi hukum positif mela-lui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
PEMIKIRAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA
Sejarah perjalanan hukum Islam di Indonesia mengalami dinamika yang panjang, sejak masa kekuasaan raja-raja, masa kolonial,masa kemerdekaan yang meliputi Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi sekarang ini. Dalam perjalanan yang panjang itu, dapat dilihat bahwa pada saat tertentu hukum Islam dapat bersenyawa dengan hukum adat, terkadang dalam posisi pinggiran, dan pada saat yang lain berintegrasi dengan hukum-hukum kenegaraan dan produk perundang-undangan.1
Ketika membahas sejarah pemikiran hukum Islam di Indonesia, dengan berdasar pada teori yang berbeda, masing-masing penulis memiliki perbedaan dalam melakukan pen-tahapan terhadap dinamika hukum Islam di Indonesia. Karena tema CLD KHI sebagai kajian utama dalam tulisan ini, maka penulis menjadikan KHI sebagai tolok ukur dalam memaparkan perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Pada bagian awal dijelaskan tentang konfigurasi pemikiran hukum Islam sebelum KHI, yaitu diskursus tentang pribumisasi hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan yang sudah di-mulai sejak Islam masuk ke Indonesia sampai abad 20. Se-lanjutnya dipaparakan tentang KHI sebagai legislasi hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia, dan terakhir.
tentang pemikiran liberal dalam pemikiran hukum Islam sebagai respon terhadap wacana post-tradisionalisme, neo. modersnime, dan post-modernisme di Indonesia. Salah satu bentuk pemikiran yang bisa diangkat pada periode ini adalah Fiqh Lintas Agama. Pada bagian pertama ini, dinamika pemi-kiran hukum Islam pra KHI dielaborasi terlebih dahulu.
1.Pemikiran hukum Islam pada abad 17
Pada abad 17, hukum Islam menunjukkan dinamika per-kembangannya di Serambi Mekkah, Aceh. Sesuai dengan kebijakan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah dan sultan sesudahnya yang sangat antusias mendatangkan para ulama untuk usaha dakwahnya, pada abad 17 M Aceh telah banyak dihuni oleh para ulama mazhab Syafi'i.
Menurut Shihab,14 setidaknya terdapat empat ulama besar Aceh yang berhasil memperkaya pemikiran keislaman di Indonesia (terutama dalam bidang tasawuf dan hukum Islam), yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang ini. Mereka ber-turut-turut adalah Hamzah Fansuri (w. 1016 H/1607 M), Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri,dan Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105 H).
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani adalah guru murid, pelopor tasawuf Panteisme yang berpengaruh cukup kuat lewat karya tulisnya baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia. Di bawah pengaruh dan dominasi in-telektual al-Sumatrani sebagai mufti dan penasehat sultan, aliran Panteisme tumbuh pesat dengan murid dan pengikut yang cukup banyak.
2. Pemikiran hukum Islam pada abad 1
Pada abad 18 M, salah satu tokoh yang bisa diangkat ada-lah Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), dengan pe-ninggalannya berupa kitab fiqih cukup terkenal yaitu Sabil al-Muhtadīn liat-Tafaqquh fiAmrad-Din, yang merupakan anotasi kitab Șīrāț al-Mustaqīm karya ar-Raniri.
Kedudukannya seba-gai kitab anotasi (syarah), merupakan satu fenomena tersen-diri, bukan saja karena yang sifatnya berbeda dengan kitab pertama, tetapi di dalamnya terdapat beberapa pemikiran yang futuristik dan dalam batas tertentu tidak berangkat dari realitas masyarakat Banjar.18 Tradisi fiqih Timur Tengah yang sering disebut sebagai fiqih al-iftirādī (fiqih prediktif),19 ter-nyata begitu kuat mempengaruhi corak penulisan kitab ini.
3. Pemikiran hukum Islam pada abad 19
Pada abad 19 M, Indonesia melahirkan banyak pemikir yang beberapa di antaranya mempunyai reputasi dunia. Masa ini juga bisa dikatakan sebagai masa terjadinya pergeser-an pusat pemikiran keislaman dari luar Jawa (Sumatra dan Kalimantan) ke Jawa. Ahmad Rifa'i Kalisalak (1786-1876 M), seorang ulama' yang pernah sekitar delapan tahun tinggal.
4. Pemikiran hukum Islam pada abad 20
Pada awal abad ke 20, semangat modernisme Islam telah mengalir ke pulau Jawa. Masyarakat Arab di Batavia ter-masuk yang paling dahulu terangsang oleh perkembangan baru dalam dunia Islam tersebut. Pada tahun 1901, di Pe-kojan mereka mendirikan organisasi al-Jami'at al-Khairiyah (Perkumpulan Kebaikan). Organisasi ini memiliki tujuan di bidang pendidikan. Tokoh yang paling berperan dalam tubuh Jami'at Khair adalah Ahmad Soorkati.
Latar belakang dan tujuan lahirnya KHI
Cacatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdeka. an menunjukkan bahwa kesadaran umat Islam untuk me-laksanakan hukum Islam semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti pada tingkat penga-kuan sebagai sub sistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legali-sasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam men-jadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata sub-stansinya, tetapi secara legal formal dan positif.
Fenomena ini pertama kali muncul linear dengan lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 di mana pada sila pertama menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Per-juangan mulai kelihatan sedikit meredup setelah pada tanggal 18 Agustus 1945, tim sukses dari golongan Islam tidak mampu mempertahankan tujuh kata terakhir dari kalimat tersebut dari hiruk-pikuk polarisasi dasar negara.
Dengan hilangnya tujuh kata ini, maka pada era reformasi sekarang,muncul masalah pelik terutama bagi kalangan fundamentalis,ketika mereka bersikeras hendak melegal-positif-kan hukum Islam (syari'ah) dalam bingkai konstitusi negara.
PENDEKATAN PROGRESIF
Nalar Hukum Islam Pasca KHI
Pada awal abad 21 ini, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia mungkin tampil dengan wajah yang sedikit ber-beda. Geliat pemikiran keislaman itu dimunculkan melalui kelompok-kelompok diskusi atau jaringan. Jaringan terse-but sebagian besar dimotori oleh kalangan intelektual muda, sebut saja JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Eksistensi dan peran ke-lompok-kelompok ini sangat besar dalam meramaikan diskur-sus pemikiran keislaman di Indonesia. Mainstream ideologi jaringan ini adalah menghadirkan Islam sebagai agama pem-bebas, yang membumi dan menghargai kearifan lokal serta yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Pendekatan CLD KHI
Gagasan munculnya CLD KHI ini merupakan hasil dari telaah yang serius dan mendalam serta pembacaan kritis ter-hadap pasal-pasal dalam KHI. Pengkajian terhadap KHI ini menggunakan enam perspektifutama, yaitu:
1. Pluralisme (al-ta'addudiyyah).
Dalam pandangan Abd. Moqsith Ghazali, bahwa sebagian kalangan di dalam Islam telah menempatkan syari'at bukan sebagai jalan atau sarana (wasilah) tersebut, melainkan se-bagai tujuan (ghayah) dan titik akhir. Syari'at kemudian tampil sebagai parameter dan arah yang mesti dituju dari seluruh kerja-kerja intelektual dan perubahan masyarakat.
Penyikap-an seperti ini berimplikasi pada upaya-upaya pemutlakan dan sakralisasi syari'at dalam Islam. Syari'at telah dipandang se-bagai sebuah cetak biru baku yang tidak boleh berubah dan kedap kritik. Maka, yang mungkin bagi umat Islam mutakhir bukan memodifikasi syariat Islam zaman lampau sesuai kon-teks ruang dan waktu yang dinamis, melainkan mengimple-mentasikannya bahkan mendesakkannya dalam masyarakat.
2. Nasionalitas (muwāțanah).
Telah maklum bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan atas satu komunitas agama saja dan bukan atas satu ideologi keagamaan tertentu. Warga negara Indo-nesia diikat oleh basis nasionalitas. Dengan nalar demikian, Indonesia tidak mengenal adanya warga negara kelas dua. Umat non-Islam tidak dapat dikatakan sebagai dzimmiatau ahl al-dzimmah dalam pengertian fikih politik Islam klasik.Oleh karena itu, dalam konteks perumusan hukum Islam bercorak kelndonesiaan.
3.Penegakan hak asasi manusia (iqāmat al-huqūq al-insāniyyah).
Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang se-kadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberal-isme seperti dahulu. Hak asasi manusia lebih dipahami se-cara humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya.
4.Demokrasi.
Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang sejalan dengan prinsipkebebasan,kesetaraa'n,dan kedaultana manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik, secara men-dasar dapat dikatakan paralel dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.Artinya, pada tataran prinsipil tersebut antara Islam dan demokrasi tidaklah bertentangan.
5. Kemaslahatan (maşlahat).
Salah satu basis pengembangan hukum Islam adalah
maqasid al-syari'ah, yaitu tujuan ditetapkannya hukum
Islam.40 Istilah yang sepadan dengan maqasid al-syari'ah ada-
lah maslahah. Imam al-Haramain al-Juwaini termasuk ahli
ushul fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami
maslahat dalam menetapkan hukum Islam. Secara tegas ia
mengatakan bahwa sesorang tidak dapat dikatakan mampu
menetapkan hukum dalam Islam sebelum ia memahami benar
6. Kesetaraan gender (al-musāwah al-jinsiyyah)
Mansour Fakih menyatakan bahwa gender pada dasarnya merupakan perbedaan antara pria dan wanita yang bukan didasarkan atas faktor biologis, juga bukan jenis kelamin(seks) sebagai kodrat Tuhan yang secara permanen berbeda, tetapi berkaitan dengan behavior differences antara pria dan wanita yang socially contructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
PANDANGAN ULAMA' TERHADAP CLD KHL
Gemuruh pembaruan metode dalam kajian keslaman, ter-utama di bidang hukum, dapat dibaca sebagai akibat dari revolusi sains dan teknologi abad 17 di Barat. Banyaknya pene-muan baru yang memiliki dampak dan pengaruh siginifkan terhadap dimensi kehidupan (gaya dan pola pikir) manusia, termasuk di dalam dunia Islam, telah memaksa para pemikir hukum Islam untuk berpikir ulang. Terdapat cukup banyak kasus yang muncul yang tidak cukup penjelasannya hanya dengan menggunakan perangkat metodologi hukum Islam klasik.
Dalam rangka mengatasi masalah itu, dilakukanlah upaya reformasi hukum Islam pada pertengahan abad 19.Sayangnya reformasi tersebut tidak pernah menyentuh pada tataran yang lebih fundamental, yakni dasar-dasar teoritis hukum Islam atau yang biasa dikenal dengan ushul fikih. Ushul fikih tetap saja memusatkan perhatiannya pada upaya penafsiran literal al-Qur'an dan Sunnah.
MENUJU PEMBARUAN HUKUM YANG EFEKTIF
Gerakan pembaruan Islam dapat diartikan sebagai upaya, baik secara individual maupun kelompok pada kurun waktu dan situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktekkeislaman yang telah mapan(established) kepada pemahaman dan pengamalan baru. Pembaruan beritik tolak dari asumsi bahwa Islam sebagai akumulasi doktrin dan sistem nilai pada tataran aplikasinya sudah tidak relevan atau bahkan menyimpang dari Islam yang sesungguhnya. Oleh karena itu, sasaran pembaruan adalah bukan Islam dalam artian normatiftetapi pada wilayah interpretasi atau pemaham-an terhadap Islam yang berkembang dan dipraktekkan dalam sejarah.
KESIMPULAN & INSPIRASI
Perubahan fikih perkawinan menuju hukum keluarga Islam bukanlah persoalan yang mudah dan sederhana. Penga-laman di beberapa negara Muslim menunjukkan bahwa dalam proses itu, terdapat beberapa kepentingan, baik agama mau-pun politik, yang saling tarik menarik. Konsekuensi yang paling terlihat adalah pergeseran otoritas. Hukum tidak hanya dikaji dari sudut pandang semata, tetapi dari sudut pandang yang lain, melibatkan disiplin ilmu yang lain, seperti sejarah seperti sejarah, politik dan budaya.
Hal ini dilakukan untuk menghadirkan suatu perspektif yang lebih utuh dan memahami apa yang terjadi dalam perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia. Jadi, di sini hukum keluarga Islam tidak dipahami dalam kerangka norma semata, tetapi diletakkan sebagai fenomena sosial. Dan agar mendapatkan informasi yang cukup tentang konteks makro dan faktor-faktor lain yang terkait dengan pembaruan hukum keluarga Islam.
buku ini menginspirasi karena buku ini membahas perkembangan pembayaran hukum Islam di Indonesia, pada pasca era reformasi. Dan penulis menggunakan pendekatan social legal dalam melihat perkembangan hukum keluarga tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H