B. Pendahulan
Latar Belakang
Setiap rumah tangga pada hakikatnya menginginkan terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah (samawa), yaitu keluarga yang bahagia, sejahtera lahir dan batin, serta memperoleh keselamatan hidup di dunia maupun akhirat. Pernikahan menjadi pertalian yang legal untuk mengikatkan hubungan antara dua insan yang berlainan jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan, yaitu memperoleh keturunan yang sah. Namun, mewujudkan keluarga samawa tidaklah mudah. Dibutuhkan perjuangan dari kedua belah pihak, baik suami maupun istri, karena dalam perjalanan rumah tangga akan selalu muncul permasalahan yang bisa menggoyahkan keutuhan keluarga. Tanpa adanya kesatuan tujuan, rumah tangga akan mudah mengalami percekcokan atau perselisihan yang dapat mengakibatkan keretakan dan ketidak harmonisan hingga berujung pada perceraian.
Perceraian dapat dilakukan oleh pihak suami maupun istri. Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian disetujui oleh suami, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan tersebut. Sedangkan talak adalah jenis perceraian yang inisiatifnya datang dari pihak suami. Cerai talak ialah ikrar yang diucapkan oleh suami yang isinya menyatakan bahwa ia menceraikan istrinya dengan talak satu, dua, atau tiga. Ada berbagai alasan yang dapat dijadikan dasar oleh suami-istri untuk mengajukan gugatan cerai atau talak.
Alasan-alasan tersebut diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, antara lain: salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah; salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih; salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat; salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya; serta terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran tanpa harapan akan hidup rukun lagi. Melalui alasan-alasan tersebut, suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama setempat.
Perceraian sebaiknya dihindari karena merupakan perkara halal yang paling dibenci Allah. Perceraian diperbolehkan hanya jika lebih baik daripada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu dalam penderitaan. Perceraian baru boleh dilakukan jika benar-benar dalam kondisi darurat dan terpaksa sebagai solusi akhir dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Perceraian membawa dampak buruk, tidak hanya pada hubungan mantan suami-istri, tetapi juga pada anak-anak yang menjadi korban utama. Anak yang seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang orang tuanya menjadi terabaikan, mengganggu perkembangan psikis mereka.
Dalam hukum Islam, hak asuh anak dikenal dengan istilah hadhanah, yaitu pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian. Secara praktis, setelah perceraian, anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya. Pemeliharaan atau pengasuhan anak melibatkan dua unsur: orang tua yang mengasuh (hadhin) dan anak yang diasuh (mahdhun). Dalam masa ikatan perkawinan, ayah dan ibu bersama-sama berkewajiban memelihara anak. Namun, jika kedua orang tua bercerai, maka yang paling berhak mengasuh anak adalah ibu, dengan tetap menanggung biaya yang diperlukan oleh ayah. Hal ini sudah merupakan kesepakatan ulama bahwa pemeliharaan ini adalah kodrat seorang wanita.
C. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hak asuh anak pasca terjadinya perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali?
2. Bagaimanakah tinjauan hukum keluarga Islam terhadap hak asuh anak pasca terjadinya perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali?