Saya melangkah menyusuri selasar gedung. Di kiri kanan saya mendengarkan suara AC menderu-deru dari ruang-ruang sejuk koperasi pegawai dengan lampu yang terang benderang walau matahari masih bersinar. Entah berapa banyak biaya listrik yang harus dikeluarkan oleh universitas. Di sekitar taman, saya melihat tumpukan tanaman mahal yang setiap pohon harganya cukup untuk biaya hidup sebulan seorang mahasiswa. Di depan saya taman parkir yang teduh dipenuhi mobil mewah yang jumlahnya hanya tersaingi mobil pengunjung mall. Beberapa mobil itu milik orang kaya, rekan si penghuni Wisma Toilet yang membayar SPP ratusan juta. Kemana uang itu melangkah? Apakah si penghuni Wisma Toilet ikut mencicipi rasanya?
Masuk ke ruangan kerja, di meja ada tumpukan nasi dos jatah rapat hari ini. Saya menghitung jumlahnya dan mengali harganya. Saya bertanya dalam hati apakah ada bedanya kalau saya makan atau tidak makan nasi jatah ini? Tokh saya sudah cukup kenyang ketika berangkat dari rumah. Setiap bulan saya juga sudah menandatangani uang makan yang dananya masuk secara otomatis ke rekening saya. Saya membayangkan penghuni Wisma Toilet, membayangkan apa saja yang dimakannya setiap hari. Nasibnya tidak sebaik office boy perusahaan out sourcing yang hampir setiap hari berada diantrian paling depan, menikmati makanan mewah dari perusahaan catering yang melayani tamu-tamu universitas. Ingin sekali menghitung berapa rupiah uang universitas yang dibelanjakan untuk keperluan itu. Apakah didalam kemewahan itu tidak terselip hak penghuni Wisma Toilet?
dari catatan tanggal 11 Mei 2008
Kata kunci:Â Dulux Young Talent 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H