Mohon tunggu...
Triyatni Martosenjoyo
Triyatni Martosenjoyo Mohon Tunggu... -

dosen, arsitek, di Program Studi Arsitektur Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wisma Toilet

19 Januari 2012   04:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:42 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Lantai demi lantai, ruang demi ruang rimba pustaka universitas kutelusuri. Saya tak pernah menyangka betapa luar biasanya harta yang dimiliki tempatku mengabdi sebagai guru. Berjalan sendirian di ruang besar yang berjejeran menimbulkan rasa dingin di sekujur kulitku. Aroma debu menyengat kuat, memancing batuk yang beruntun! Di banyak sudut bertumpukan meja kursi yang tak terpelihara. Pemilik gedung ini tak pernah tahu kalau bahan baku meja dan kursi itu adalah jati klas satu yang harganya jutaan rupiah dan tidak bisa lagi dijangkau oleh orang kebanyakan.

Pada void nampak beberapa chiller AC milik lembaga kajian pendidikan. Air buangan AC dibiarkan menembus lantai yang pelan tapi pasti akan menciptakan rongga-rongga becek di bawah pondasi dan berujung pada penurunan level lantai bangunan. Entah mereka mendapat ilmu dari mana untuk menempatkan outdoor AC di ruang dalam. Mereka tentu tak memiliki kepedulian akan nasib pengunjung perpustakaan yang menghirup udara tak sehat yang berasal dari ruangan mereka. Pada saat yang sama, secara kontinu tak sadar mereka juga menikmati udara tak bermutu yang didapat dari sirkulasi ruang tertutup dan bukan dari ruang terbuka yang sehat.

Di ruang workshop di depan ayunan bayi, saya menemui kamar mandi bergaya kampung yang air comberannya disalurkan ke shaft plumbing dan listrik. Hanya mujizat Tuhan yang membuat kita belum mendengar ada orang yang meninggal akibat tersengat listrik disini. Betapa beraninya mereka mengundang maut! Saya membuka ruang-ruang AC Central. Air handling unit tidak nampak karena tertutup oleh tumpukan barang bekas koleksi para pegawai. Pantas saja semua AC Central disini dilaporkan rusak, sehingga perlu membeli AC baru. Mana bisa mesin itu bekerja mengatur sirkulasi udara di tempat yang tak memberi ruang untuk bernafas. Setiap kerusakan mesin AC karena keteledoran ini merugikan negara minimal dua ratus juta rupiah.

Ada beberapa ruang tertutup rapat tak dapat dibuka. Entah siapa pemegang kuncinya. Karena tak ada yang tahu, saya meminta mandor kontraktor untuk membuka paksa dengan linggis. Rupanya pintu-pintu ruang tertutup itu dipalang dari bagian dalam. Butung si tukang kayu ditugaskan mandor untuk masuk ke ruang berupa lorong gelap bertangga-tangga.

“Banyak kelelawar!” teriak Butung.

“Tidak-apa. Kalau perlu kita minta orang Manado untuk menangkap bahan bsaya santapan lezat mereka”, gurau saya menanggapi teriakan Butung.

Kelelawar yang dimaksud Butung adalah celana dalam warna-warni yang bertebaran entah milik siapa.

Tiba-tiba dari tanga bawah muncul seonggok kepala manusia, seorang anak muda.

“ Kalian mau apa?”

“Maaf, cuma mau mengecek ruangan. Saya ditugaskan memperbaiki gedung ini!” jawab saya.

“Akan saya sampaikan kepada kawan-kawan. Soalnya kalau gedung ini diperbaiki, akan mengganggu kami yang berada disini.”

Setelah berdiskusi sesaat, anak muda itu minta waktu untuk membicarakan maksud kami dengan kawan-kawannya.

Itulah awal keingin tahuan saya untuk tidak melewatkan satu ruanganpun lolos dari pantauan rencana perbaikan gedung. Berada dalam gedung yang besar ini mengingatkan masa lalu saya yang sering dihantui mimpi buruk setelah aktif bekerja sebagai arsitek. Saya suka bermimpi ruang-ruang di bawah atap rumah saya dihuni oleh koloni orang tak dikenal. Mereka mengamati setiap keaktifan saya sehari-hari tanpa saya sadari. Suatu ketika, saat saya naik ke ruang di bawa atap, ternyata di situ ada kehidupan lain yang yang beda dengan kehidupan kita. Kelompok manusia atap ini mengklaim bahwa mereka adalah penguasa ruang di bawah atap rumah dan saya tak punya otoritas untuk mencampuri kehidupan mereka.

Seminggu setelah berdiskusi dengan anak muda penghuni lorong gelap, saya didampingi pegawai perpustakaan dan tukang kayu, kembali mengunjungi kembali ruang tersebut. Ternyata palang-palang dilarang masuk semakin rapat dipasang. Kembali kali ini kami membukanya dengan paksa. Saya menuruni tangga perlahan-lahan diikuti pegawai perpustakaan. Satu lantai tangga berikut bordes dipenuhi dengan jejeran baju yang digantung rapih di atas tali. Di lantai nampak beberapa buah rice cooker. Tiba-tiba muncul seorang anak muda gagah, yang nampak segar seperti habis mandi.

“Hai, bagaimana? Apakah ruang ini sudah bisa saya kerjakan?” “Silahkan!” katanya. Kami sudah selesai memindahkan barang!”

Di ruang tempat anak muda tersebut muncul terlihat meja gambar yang cukup besar. Di dindingnya ada beberapa kertas kalkir desain kapal laut. Saya membuka pintu di sebelah kanan bordes, ruang toilet. Pada lantai depannya bertebaran wastafel dan urionir yang masih utuh dan berkualitas baik. Dua buah wastafel dan dua buah urinoir, harganya minimal lima juta rupiah. Anak muda ini tentu tidak tahu kalau dia sudah merusak barang milik pemerintah dan bisa diancam secara pidana.

Tinggi langit-langit toilet sekitar empat meter. Tinggi dinding dua WC yang ada hanya sampai dua meter, sehingga ada ruang yang cukup luas antara bagian atas dinding WC dengan plat langit-langit. Di atas dinding WC ini di letakkan dua buah meja yang saling menyambung. Mulanya saya tidak mengerti mengapa meja di naikkan ke atas dinding WC, sampai anak muda tadi menjelaskan bahwa meja itu sudah ada di sana sebelum dia menjadi penghuni ruangan. Rupanya meja itu difungsikan sebagai loteng yang dilengkapi dengan fasilitas radio dan televisi.

Saya membuka WC dan membayangkan bau busuk yang bakal ditimbulkan. Lubang-lubang WC disumbat dengan jok-jok kursi. Di hall WC yang wastafel dan urinoirnya sudah dibuka agar ruangannya lebih lapang, nampak beberapa bangku kuliah yang dipendekkan kakinya di tata menjadi kursi duduk ala Jepang. Di sudut ruangan nampak bertumpuk-tumpuk bungkus rokok Marlborough kuning.

Anak muda tadi mengambil ranselnya dan meninggalkan istananya menuruni anak tangga berikut, keluar entah kemana mencari ruang toilet tak bertuan yang dapat dijadikan sebagai istananya yang baru. Saya mengikuti arah langkahnya sambil melirik ruang toilet lain yang masih berpenghuni. Pemiliknya anggota mass media universitas!

Sehabis mengunjungi ruang-ruang gelap yang kemudian saya namakan Wisma Toilet, lagi-lagi rasa dingin merayap dari ujung kaki saya naik perlahan menembus jantung. Ada rasa nyeri yang luar biasa! Universitas dengan nama besar di kawasan ini memiliki mahasiswa yang menuntut ilmu dari balik lorong gelap sebuah toilet dan kejadian itu luput dari perhatian kita para guru yang mengaku sebagai kumpulan orang terpelajar.

Tiba-tiba kepala saya pening, perut mual menghitung setiap rupiah yang saya dapatkan dari universitas. Berapa banyak berbagai kenikmatan yang saya dapatkan yang mungkin adalah hak murid saya. Kenikmatan-kenikmatan itu yang membuat mereka terpaksa belajar dengan aroma berbau tinja yang menyengat dengan cahaya lampu seadanya. Saya membayangkan orang tua mereka yang tentu tak akan pernah mengerti bahwa mengapa untuk menuntut ilmu anaknya harus tinggal di tempat seperti ini. Dari tempat nista yang dipenuhi energi negatif, ini si anak berjuang mewujudkan impian orang tuanya untuk menjadi orang yang terpandang menyandang gelar sebagai sarjana.

Kemana para penghuni Wisma Toilet mencurahkan isi hati saat dibelit masalah berkaitan dengan proses belajar mereka. Apakah mereka tahu bahwa universitas ini punya lembaga konseling yang wajib memberi mereka jalan keluar bila ada masalah? Apakah mereka tahu bahwa universitas ini punya asrama berkapasitas tiga ribu tempat tidur yang dapat mereka nikmati? Apakah mereka tahu bahwa universitas ini memiliki dana yang cukup besar untuk beasiswa bagi mereka yang tak mampu?

Saya melangkah menyusuri selasar gedung. Di kiri kanan saya mendengarkan suara AC menderu-deru dari ruang-ruang sejuk koperasi pegawai dengan lampu yang terang benderang walau matahari masih bersinar. Entah berapa banyak biaya listrik yang harus dikeluarkan oleh universitas. Di sekitar taman, saya melihat tumpukan tanaman mahal yang setiap pohon harganya cukup untuk biaya hidup sebulan seorang mahasiswa. Di depan saya taman parkir yang teduh dipenuhi mobil mewah yang jumlahnya hanya tersaingi mobil pengunjung mall. Beberapa mobil itu milik orang kaya, rekan si penghuni Wisma Toilet yang membayar SPP ratusan juta. Kemana uang itu melangkah? Apakah si penghuni Wisma Toilet ikut mencicipi rasanya?

Masuk ke ruangan kerja, di meja ada tumpukan nasi dos jatah rapat hari ini. Saya menghitung jumlahnya dan mengali harganya. Saya bertanya dalam hati apakah ada bedanya kalau saya makan atau tidak makan nasi jatah ini? Tokh saya sudah cukup kenyang ketika berangkat dari rumah. Setiap bulan saya juga sudah menandatangani uang makan yang dananya masuk secara otomatis ke rekening saya. Saya membayangkan penghuni Wisma Toilet, membayangkan apa saja yang dimakannya setiap hari. Nasibnya tidak sebaik office boy perusahaan out sourcing yang hampir setiap hari berada diantrian paling depan, menikmati makanan mewah dari perusahaan catering yang melayani tamu-tamu universitas. Ingin sekali menghitung berapa rupiah uang universitas yang dibelanjakan untuk keperluan itu. Apakah didalam kemewahan itu tidak terselip hak penghuni Wisma Toilet?

dari catatan tanggal 11 Mei 2008

Kata kunci: Dulux Young Talent 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun