Mohon tunggu...
Tri Wibowo
Tri Wibowo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatir

Contac IG: wibowotri_ email: the_three_3wb@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Marah-marah dan Etika Kebijakan Publik (Menanggapi Marahnya Tri Rismaharini)

5 Oktober 2021   11:38 Diperbarui: 5 Oktober 2021   11:42 2529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pembahasan kebijakan publik yang beretika, kita akan menghasilkan komunitas yang memiliki budaya produktif. Komunitas tersebut adalah organisasi publik, instansi publik, yang didalamnya tidak serta merta menjadi organisasi excellent tanpa adanya personal yang excellent. 

Organisasi publik itu lahir dari implementor ada individu-individu yang merepresentasikan organisasi itu sendiri, hidup atau matinya organisasi adalah tergantung individu-individu didalamnya. 

Begitu pula dengan baik atau buruknya pelayanan publik, akar masalahnya adalah personal-personal yang berinteraksi dengan etika dalam hal kebijakan publik.

Namun bukan berarti serta merta kita dapat melakukan vonis bahwa apa yang dilakukan Ibu Risma adalah hal yang tidak beretika. Mengingat, bisa saja hal tersebut adalah suatu respon terkait dari dampak buruk etika yang selama ini ada dalam lembaga yang iya pimpin, termasuk garis-garis hirarki kebijakan yang menjadi sorotan saat ini.

Etika harus kita definisikan secara menyeluruh, bukan berarti suara keras kita ambil kesimbulan bahwa itu tidak beretika. Atau yang bersuara lembut kita asumsikan bahwa iya adalah personal yang beretika. 

Ingat, bahwa etika adalah prilaku, tingkah laku, dengan kata lain sebagai contoh prilaku korup adalah suatu bentuk etika yang buruk, walau dia tak bersuara keras. 

TRADISI "MARAH-MARAH"

Selanjutnya dalam pembahasan ini, bukan berarti juga bahwa tradisi "marah-marah" akan kita anggap sebagai hal yang lumrah, atau hal tersebut seolah menjadi parameter suksesnya seorang leader dalam memimpin organisasinya. 

Sifat emosional adalah pembawaan pribadi yang cendrung dinamis, namun apabila pemempatan sifat emosional tidak tepat sasaran, iya akan mencedrai prilaku kita dalam organisasi. 

Disini makna pemahaman tertinggi dalam etika bisa teruji, bagaimana seseorang dapat mengkolaborasikan emotional quetion dan intelektual quetion nya sehingga bisa menjadi individu yang memahami hakikat jabatan mereka sebagai pelayan publik. 

Jangan sampai publik menilai atau mengambil kesimpulan bahwa "marah-marah" adalah tindak lanjut dari masalah yang ada, atau organisasi publik baru berubah kalau ada orang yang bisa "marah-marah". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun