Mengenai wacana Revisi UU ITE yang saat ini digulirkan dalam pandangan penulis adalah sebuah kesempatan untuk secara konstitusional mengakomodasi ketidakpuasan beberapa pihak, yang merasa kebebasannya terbelenggu dalam menyampaikan opini atau mengungkapkan pendapatnya.
Tapi harus jujur diakui ada juga pihak lain yang mungkin selama ini merasa tidak pernah menemui masalah dalam menyampaikan pendapat, selama tidak ada niat untuk menyampaikan unggahan yang menyerang pribadi, mengandung unsur kebencian terhadap suku bangsa, agama, ras dan golongan.
Bukan berarti tidak setuju pada upaya menyempurnakan atau merevisi UU ITE, sebagai warga negara yang taat hukum maka kita serahkan saja mengenai hal ini kepada para wakil rakyat kita di Senayan untuk merevisi atau bila perlu merumuskan kembali UU ITE. Mungkin saja memang perlu dibuat aturan dan etika penggunaan media sosial, tentang bagaimana cara mengkritik presiden supaya tidak ditangkap polisi, dll.
Tapi sempat juga terbersit dalam pandangan penulis:Â
Sudah demikian tumpulkah hati nurani kita sebagai bangsa yang berbudaya, sampai etika dan sopan santun dalam mengungkapkan pendapat atau saran dan kritik pun masih harus dijabarkan dan diuraikan dalam sebuah undang-undang?Â
Dimana norma ajaran luhur budi pekerti bangsa kita dalam menghormati orang tua atau pimpinan kita, sehingga sering ditemukan meme dan komentar yang merendahkan martabat pribadi sesama warga negara dan bahkan terhadap simbol-simbol negara?
Apakah di tengah maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial masih banyak di antara pembaca yang masih merasa terbelenggu dalam menyampaikan pandangan atau menulis opini?
Salam kebajikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H