Mohon tunggu...
Try Raharjo
Try Raharjo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Republik

Subscribe ya dan like channel YouTube punyaku youtube.com/c/indonesiabagus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Revisi UU ITE untuk Siapa?

10 Maret 2021   14:43 Diperbarui: 10 Maret 2021   16:48 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto unjuk rasa pada peristiwa Arab spring.| Dokumentasi History.com


Ada banyak alasan bagi kita untuk bisa mengaku merasa beruntung hidup di Indonesia, yang memiliki kekayaaan alam berbagai bentuk. Ada yang terkandung di dalam bumi berbentuk padat seperti emas, perak, perunggu, nikel, aneka batu akik untuk perhiasan, dll. Ada pula yang berbentuk cair dan gas seperti minyak bumi maupun gas alam.

Sementara di permukaan bumi kita juga memiliki kekayaan alam berupa air yang terdapat di ratusan sungai besar, danau, laut, dan samudera yang keseluruhan luasnya mencapai sekitar dua pertiga dari wilayah negara kita. Ada pula kandungan kekayaan di dalam laut berupa mutiara, aneka jenis ikan dan biotanya yang luar biasa. Tidak heran banyak negara asing melirik lautan Indonesia, dan nelayan asing pun tak jera untuk mengadu nasib di wilayah perairan Indonesia sekalipun banyak yang kemudian tertangkap dan ditenggelamkan oleh Angkatan Laut kita.

Ada pula aneka jenis tanaman dan buah-buahan yang tumbuh di permukaan bumi kita dengan bentuk, rasa, dan manfaat yang begitu banyak sehingga Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar (mega bio diversity). Seperti kita tahu, Indonesia juga dinilai memiliki hutan tropis yang berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Selain itu kita juga memiliki cahaya matahari yang lebih dari cukup dan bisa diperoleh sepanjang tahun. Coba bandingkan dengan kondisi negara lain. Ada yang harus berbulan-bulan tidak bisa menikmati cahaya matahari, sementara itu ada juga yang harus diterpa cahaya begitu keras dan harus hidup di tengah gurun pasir.

Semua bentuk kekayaan alam yang kita miliki adalah potensi yang bisa dinikmati dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan kita semua. Melalui riset dan penelitian di bidang farmasi dan kesehatan yang dikembangkan maka akan semakin banyak jenis tumbuhan obat bisa dimanfaatkan untuk kesehatan. Demikian pula inovasi dan pengembangan terhadap sinar matahari, air, angin, dll. yang terus dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan untuk menghasilkan penemuan-penemuan di bidang konversi energi yang tentu akan bermanfaat bagi kesejahteraan seluruh umat manusia.

Tidak saja hanya berupa anugerah alam yang terkandung di dalam bumi, di permukaan bumi, dan di atas bumi, bahkan juga kita memiliki anugerah istimewa berupa budaya adat istiadat dari sekian ratus suku bangsa yang masing-masing memiliki keunikan masing-masing.

Walaupun memang kadang kala ditemukan beberapa kasus perselisihan yang dipicu oleh perbedaan pandangan di antara kita tapi sejauh ini kita bisa selesaikan.

Keharmonisan dan kerukunan masyarakat di tengah sekian banyak agama dan kepercayaan yang ada di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia ini pun relatif masih terjaga kondusif. 

Sebagai bangsa Indonesia kita semua bersyukur atas karunia dan rahmat yang dianugerahkan Allah Yang Maha Kuasa, namun semestinya kita juga bisa mengambil hikmah dan kearifan dari semua yang kita miliki dan telah kita peroleh.

Bentuk dari hikmah dan kearifan tersebut adalah berupa rasa syukur yang terwujud dalam kesungguhan untuk bersama-sama menjaga persatuan dan kesatuan ini, agar persatuan dan kesatuan ini bisa terus dijaga dan dirawat hingga perdamaian bisa dirasakan pula oleh generasi penerus kita di masa depan.

Kita juga harus tetap menjaga kewaspadaan atas segala kemungkinan terjadinya potensi perpecahan di antara kita yang antara lain diakibatkan oleh perbedaan pandangan dan kepentingan sebagai akibat dari latar belakang suku bangsa, agama, ras, dan golongan yang beraneka ragam.

Kita semua harus menyadari bahwa keutuhan bangsa Indonesia ini sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan kita dalam mengelola dan merawat kebhinekaan yang kita miliki.

Ibarat pohon yang semakin tinggi menjulang, angin pun semakin kuat menerpa. Di tengah kemajuan teknologi informasi saat ini, upaya menjaga keutuhan bangsa Indonesia semakin mengalami ujian dan cobaan.

Kalau pada masa dulu kita mewaspadai ancaman kolonialisme yang datang dari kekuatan militer negara lain, kini ancaman itu juga dapat datang dari dalam negeri sendiri, berupa potensi perpecahan yang dapat timbul karena perselisihan yang dipicu oleh persaingan kepentingan dari perbedaan suku bangsa, agama, ras, dan golongan atau kelompok.

Lalu apakah dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan maka kita tidak boleh berbeda pendapat?

Negara kita menganut falsafah Pancasila dengan semboyan bhinneka tunggal ika. Jelas disebutkan kata bhinneka yang artinya berbeda-beda. Itu artinya bahwa perbedaan diakui keberadaannya. Dengan demikian mengemukakan pendapat yang berbeda tentu memiliki tempat di negara kita.

Diskusi, sarasehan, musyawarah, webinar, dsb. yang sering kita lakukan itu bukankah dimungkinkan bisa terjadi karena adanya perbedaan pemahaman?

Di sini bahkan unjuk rasa pun dimungkinkan sebagai bagian dari proses pelaksanaan sila keempat Pancasila. Tentu dengan memperhatikan batasan-batasan sesuai norma susila, ketentuan dan undang-undang yang berlaku. 

Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pendapat yang dikemukakan tersebut dilarang mengandung unsur-unsur kebencian dan fitnah (kabar bohong, hoax), yang dapat memicu perpecahan dan kerusakan.

Batasan untuk semua kebebasan yang kita miliki dalam menyampaikan pendapat adalah suatu konsekuensi logis mengingat semua manusia pun memiliki hak yang sama dan ketertiban pun harus ditegakkan melalui hukum dan aturan yang berlaku.

Jangan lupakan sejarah

Kita harus bisa belajar dari sejarah atau pengalaman historis yang pernah dialami dalam perjalanan sejarah negara kita, dan juga dari kejadian-kejadian yang menimpa negara lain agar tidak sampai mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan bersama.

Kita juga harus bisa memetik hikmah dan pelajaran dari negara-negara lain yang hingga saat ini masih bertikai dan terus terlibat pada konflik tak berkesudahan. Salah satu di antaranya adalah fenomena Arab spring yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Arab spring yang berarti musim semi di Arab adalah fenomena munculnya gerakan dan gelombang unjuk rasa protes di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang mulai merebak pada menjelang akhir tahun 2010. Fenomena tersebut telah memicu dan mendorong pergolakan antara lain di Tunisia, Libya, Suriah, Aljazair, Irak, Lebanon, Sudan, dll.

Dikutip dari History.com protes jalanan yang terjadi di ibu kota Tunisia pada Desember 2010 akhirnya menjatuhkan presiden otoriter Zine El Abidine Ben Ali yang telah memerintah dengan tangan besi selama lebih dari 20 tahun. Kemudian aktivis negara lain yang terinspirasi oleh perubahan rezim di Tunisia mulai memprotes pemerintah otoriter serupa di negara mereka sendiri.

Para peserta gerakan ini mengupayakan peningkatan kebebasan sosial dan partisipasi yang lebih besar dalam proses politik. Khususnya, termasuk di antaranya adalah pemberontakan Tahrir Square di Kairo, Mesir dan protes serupa di Bahrain. Namun, dalam beberapa kasus, protes ini malah berubah menjadi perang saudara skala penuh sebagaimana terjadi di negara-negara seperti Libya, Suriah dan Yaman.

Gerakan tersebut digerakkan dengan slogan awal menumbangkan rezim penguasa namun yang terjadi kemudian adalah justru sesama warga masyarakat yang saling menyerang.

Beberapa pengamat menyebutkan bahwa titik tolak kejadian ini adalah kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran yang diperparah oleh adanya krisis sosial ekonomi yang meliputi inflasi, korupsi, dan kleptokrasi.

Sampai saat ini, hal itu bahkan masih terjadi. Perang dan korban jiwa berjatuhan hingga ratusan ribu atau lebih dan rakyat pun menjadi korban, menderita karena konflik yang melibatkan kekuatan-kekuatan sosial politik dan militer yang dibumbui sentimen atas dasar suku bangsa, agama, ras dan golongan.

Akibatnya, jutaan penduduk harus mengungsi pergi meninggalkan negaranya karena merasa keselamatannya terancam oleh sesama warga negara di negaranya sendiri. Semua itu tentu menimbulkan keprihatinan bagi kita semua. Sebagai bangsa Indonesia, kita berharap agar saudara-saudara kita bisa kembali mewujudkan perdamaian di negaranya masing-masing.

Berkaca dari kejadian yang menimpa saudara-saudara kita itu, sudah semestinya kita bisa memahami betapa besar makna persatuan dan kesatuan di antara sesama warga negara dalam rangka mewujudkan perdamaian di negara kita.

Kita memang sepantasnya bersyukur mampu menjaga segala bentuk perbedaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan kapasitas yang kita miliki masing-masing.

Mengenai wacana Revisi UU ITE yang saat ini digulirkan dalam pandangan penulis adalah sebuah kesempatan untuk secara konstitusional mengakomodasi ketidakpuasan beberapa pihak, yang merasa kebebasannya terbelenggu dalam menyampaikan opini atau mengungkapkan pendapatnya.

Tapi harus jujur diakui ada juga pihak lain yang mungkin selama ini merasa tidak pernah menemui masalah dalam menyampaikan pendapat, selama tidak ada niat untuk menyampaikan unggahan yang menyerang pribadi, mengandung unsur kebencian terhadap suku bangsa, agama, ras dan golongan.

Bukan berarti tidak setuju pada upaya menyempurnakan atau merevisi UU ITE, sebagai warga negara yang taat hukum maka kita serahkan saja mengenai hal ini kepada para wakil rakyat kita di Senayan untuk merevisi atau bila perlu merumuskan kembali UU ITE. Mungkin saja memang perlu dibuat aturan dan etika penggunaan media sosial, tentang bagaimana cara mengkritik presiden supaya tidak ditangkap polisi, dll.

Tapi sempat juga terbersit dalam pandangan penulis: 

Sudah demikian tumpulkah hati nurani kita sebagai bangsa yang berbudaya, sampai etika dan sopan santun dalam mengungkapkan pendapat atau saran dan kritik pun masih harus dijabarkan dan diuraikan dalam sebuah undang-undang? 

Dimana norma ajaran luhur budi pekerti bangsa kita dalam menghormati orang tua atau pimpinan kita, sehingga sering ditemukan meme dan komentar yang merendahkan martabat pribadi sesama warga negara dan bahkan terhadap simbol-simbol negara?

Apakah di tengah maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial masih banyak di antara pembaca yang masih merasa terbelenggu dalam menyampaikan pandangan atau menulis opini?

Salam kebajikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun