***
“Jamu–jamu ...!”
Teriakkanku cukup membuat ibu-ibu memberhentikan langkahku. Alhamdulillah hari pertama cukup sukses. Jamu hasil racikanku laris manis hari ini.
“Jamu-jamu!”
Kembali teriakan itu kian akrab di telinga masyarakat di desaku. Sehingga kedatanganku kini dinanti oleh para pelangganku.
Di tengah perjalanan aku menjajakan jamu, tiba-tiba langkahku terhenti ketika melihat anak-anak yang sedang asik bermain layangan. Mereka adalah anak-anak putus sekolah karena ketiadaan biaya orang tuanya untuk menyelesaikan pendidikan mereka sekalipun sekolah dasar. Alhasil aktivitas mereka hanya sebatas bermain dan menjadi kuli panggul di pasar.
Dadaku kembali menyesak. Aku tidak ingin anak-anak di desaku mengalami nasib serupa denganku. Aku ingin mereka bisa menjadi anak-anak yang cerdas. Kendati aku hanya tamatan sekolah dasar, tapi tak menyurutkan semangatku untuk terus belajar.
Kulangkahkan kakiku dengan tergesa agar segera sampai di gubuk reotku. Kembali kubuka koleksi buku yang sempat kubeli saat di kota dahulu.
Hidupku yang masih sendiri membuat pengeluaranku tak begitu banyak. Apalagi untuk berjualan jamu tak perlu modal banyak. Berbekal tanaman apotek hidup yang ada di kebun nenek, aku sudah bisa memperoleh pendapatan lebih, dari hasil jualanku.
Hari ini menjadi hari yang sangat berbeda untukku. Kukayuh sepeda dengan penuh semangat untuk melancarkan misi perdanaku. Kusinggahi tempat aku biasa berjualan jamu, juga lapangan tempat biasa anak-anak bermain layangan.
“Le ... Nduk ...! mrene, bulek punya sesuatu buat kalian!“ Aku memanggil anak-anak sambil melambai-lambaikan tanganku ke arah mereka.