Mohon tunggu...
Tri Lego Indah Fitrianingsih
Tri Lego Indah Fitrianingsih Mohon Tunggu... pengajar -

MamahMuda yang suka ngeblog || Anggota @tapisblogger || volunteer @rumahpermata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sri Sang Pustakawan

21 Mei 2012   20:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:00 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sri Sang Pustakawan

by : Tri Lego Indah F N

“Kenapa Sri, kamu melamun di situ?” Suara Nyonya Nimas membuyarkan lamunanku. Aku asik melihat Jacob-anak Nyonya Nimas berdiskusi dengan teman-temannya.

“ Ndak, Nyonya, ndak ada apa-apa.” Aku segera kembali ke duniaku, menggeluti pekerjaan yang delapan tahun ini mulai kuakrabi.

***

Aku adalah seorang pekerja di sektor rumah tangga. Sri Prihatini, nama yang diberikan orang tua saat aku lahir benar-benar membuat hidupku prihatin hingga kini. Ibuku meninggal saat aku baru berusia 5 tahun dan aku juga tak tahu di mana rimbanya ayahku. Semenjak kecil aku dirawat nenek.

Nenek hanya mampu menyekolahkan aku hingga sekolah dasar. Saudara-saudara ibu pun tak ada yang peduli denganku. Kehidupan saudara-saudara ibuku yang jauh lebih mapan, namun tak terbesitpun keinginan untuk sedikit memerhatikan nasibku. Boro-boro mengadopsiku. Sekedar menegurku pun mereka tak mau. Entah mungkin karena aku hanya seorang gadis desa yang kini telah piatu. Beruntung aku masih punya nenek, yang masih mau merawatku. Namun, di akhir desember lalu, di tengah keceriaan teman sebayaku menyalakan kembang api menyambut tahun baru,justru menjadi hari kelabu untukku. Malaria, iya, penyakit malaria itu merenggut nyawa nenek di penghujung desember. Ketiadaan biaya membuat aku tak mampu membawa nenek ke rumah sakit. Aku hanya memberikan ramuan tradisional seperti yang disarankan para tetangga. Namun, segala usahaku rasanya sia-sia. Nenek kini telah berpulang ke negeri keabadian.

Semenjak saat itu, hanya sepi yang berkawan akrab denganku. Beruntung, beberapa tetangga masih ada yang peduli denganku. Mereka mau mengirimi aku makanan dan sekali dua kali mengajak aku makan di rumah mereka. Namun aku tak mau terus-terusan makan dari hasil belas kasihan. Aku ingin mandiri. Tanpa merepotkan banyak orang.

Dengan modal nekat dan modal beberapa lembar rupiah yang kupunya, aku memutuskan untuk hijrah ke Ibukota. Mencari pekerjaan apa saja yang penting halal dan mampu membuat diriku tetap bisa bertahan.

Meskipun aku juga tak tahu akan bermuara dimanakah aku nanti, yang jelas, aku terus melangkahkan kakiku. Berulangkali aku keluar masuk area pertokoan, warung makan, maupun tempat laundry. Bukan untuk membeli sesuatu di toko, membeli makan di warung makan, atau melaundrykan pakaian kumalku, namun, aku menawarkan jasaku untuk bisa dipekerjaan di sana. Dan ternyata hasilnya tak seperti yang kuharapkan. Semua nihil. Mereka semua sedang tidak membutuhkan pekerja tambahan. Aku hampir putus asa. Namun segera aku tepis rasa itu. Aku tak boleh menyerah. Aku akan terus berusaha sampai aku mendapat pekerjaan.

Rasa lelah mulai menderaku. Lututku sudah mulai gemetaran. Perutku mulai terasa perih. Kepalaku mulai terasa pening. Ya Robbi, seharian ini aku tak makan sesuap nasipun. Uangku sudah hampir habis untuk turun naik angkutan umum seharian tadi. Badanku sudah mulai limbung. Jalanku terhuyung-hujung dan akhirnya semua rasanya gelap.

***

Kupicingkan mataku. Kupaksakan diri untuk bisa bangun. Tapi tangan lembut itu, mencegah usahaku. Dimintanya aku untuk tetap berbaring saja. Mengingat kondisiku masih sangat lemah.

Perempuan bertangan lembut itulah, Nyonya Nimas. Pemilik Butik ‘Shakilaraya’ di bilangan Tanah Abang, Jakarta. Dari cerita Suster Dyani, nyonya Nimaslah yang menolongku membawa ke puskesmas ini.

Ketika kesehatanku berangsur pulih, dan kami sudah bisa mengobrol, tahulah kini nyonya Nimas bagaimana sampai aku kelelahan dan pingsan. Aku menceritakan dengan detail perihal kematian Nenek dan juga keinginanku mencari pekerjaan di Jakarta. Dengan takzim, Nyonya Nimas mendengarkan ceritaku. Meskipun baru sekali itu aku bertemu, namun begitu lancar aku membagi kisah senduku padanya. Sungguh Allah selalu punya caranya yang indah untuk umatnya. Termasuk caranya memberikan kejutan itu untukku. Nyonya Nimas menawarkan kepadaku untuk tinggal dan bekerja di rumahnya. Karena kebetulan bisnis butiknya lagi ramai-ramainya sehingga sangat kerepotan mengurus rumah dan juga mengurus butiknya. Dengan senang hati, aku terima tawaran Nyonya Nimas dan berulangkali menyampaikan rasa terimakasihku padanya.

***

Selesai sudah pekerjaanku, saatnya kembali ke kamar. Kuhempaskan badanku yang mulai lelah. Kucoba untuk memejamkan mata, mengurangi rasa penat setelah melakoni rutinitas hari ini.

***

“Sri, kamu itu ngapain to nduk?” Nenek bertanya keheranan melihat polahku selesai berbelanja.

“Lagi baca Nek, mumpung gratis,” jawabku sambil mataku tetap asyik merunut kata demi kata yang tercetak di sepotong koran harian maupun majalah bekas yang jadi pembungkus belanjaan kami.

Aku selalu bersemangat jika diminta nenek untuk berbelanja di pasar. Karena artinya aku bisa mendapat banyak potongan-potongan koran bekas. Kadang aku dengan sengaja membawa beberapa tumpuk daun pisang untuk aku tukar dengan beberapa lembar koran harian bekas. Walaupun lusuh aku tetap bahagia membawa serta pulang koran bekas itu beserta hasil belanjaan dalam keranjang plastik.

“Buku adalah jendela ilmu, jika ingin melihat dunia, maka rajinlah membaca buku,” sebaris kalimat yang diucapkan bu Soraya Usman-guru bahasa Indonesiaku saat menyudahi pelajaran, selalu saja terngiang di telingaku.

“Prihatin, rajin benar kau ke perpus. Mau jadi profesor ya, halah! orang desa kayak kita itu ya nantinya juga bakal jadi buruh di sawah, paling banter juga jadi babu, ngapain susah-susah belajar.” Ledekkan teman-temanku semasa sekolah dulu yang hanya kubalas dengan seulas senyum. Aku malas mendebat karena hanya akan menghabiskan energiku.

Anganku menerawang menembus sudut langit kamarku. Semua peristiwa masa lalu saat di desa terekam jelas di memori otakku. Pandanganku terhenti ketika aku melirik pada ayam jago plastik di atas lemari pakaianku.

Prang ..!

Kupungut rupiah yang berserakan di lantai kamarku. Kupecahkan celenganku yang sudah cukup berat.

“Lima ratus dua puluh enam ribu rupiah.” Gumamku bangga sambil kumasukkan lembaran-lembaran kumal rupiah itu di dompet kuno milikku.

Diam-diam aku sering “mencuri-curi” membaca buku koleksi Jacob, putra bungsu Nyonya Nimas yang sangat gemar membaca. Kebiasaan yang jauh berbeda dengan kedua saudaranya yang lain, Yohana yang hanya gemar shopping di mall, dan Lonyenk yang hobi clubbing di diskotik. Aktivitas pencurian ilmu lewat membaca buku ini aku lakukan setiap kali aku membereskan kamar Jacob.

***

Langkahku semakin mantap, memilah-milih buku yang akan menjadi koleksiku. Hari ini untuk kesekian kalinya aku berburu buku recyle di toko loak. Lumayan dapat harga lebih murah dan tentunya dapat membawa pulang buku lebih banyak.

Rasanya puas ketika kutatap rak di pojok kamarku yang sangat sempit. Kini rak kayu itu sudah hampir penuh dengan koleksi buku-bukuku. Belum sampai aku melahap habis buku-buku perburuanku, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar.

“Sri, coba keluar sebentar, saya ingin bicara padamu.” Suara Nyonya Nimas terdengar cukup jelas di balik pintu.

“Ya, sebentar Nyonya.”  Tergopoh-gopoh aku menjawab sembari membukakan pintu.

Ternyata, Tuan Aksan, suami nyonya Nimas yang merupakan orang pejabat pemerintahan, dipindahtugaskan ke Jogja. Sehingga Nyonya Nimas sekeluarga akan segera pindah kesana. Butiknya yang di Jakarta sudah disewakan kepada Yessica, keponakannya yang akan melanjutkan usahanya itu. Sedangkan Nyonya Nimas, akan membuka cabang setibanya di Jogja nanti. Sehingga secara tidak langsung aku akan kehilangan pekerjaanku. Sebenarnya, bisa saja aku ikut nyonya Nimas lagi ke Jogja atau membantu Yessica di butik. Namun sepertinya, aku tak berani mengutarakan itu kepada Nyonya Nimas. Dengan berat hati, aku mengemasi semua barang-barangku. Karena esok pagi keluarga Nyonya Nimas akan berangkat ke Jogja.

***

Hari ini aku memulai kehidupan baruku di desa. Tempat yang penuh dengan berbagai cerita masa kecilku. Aku berpikir keras bagaimana aku bisa menyambung hidupku.

Aku tersenyum nakal ketika selintas ide muncul tiba-tiba di otakku.

***

“Jamu–jamu ...!”

Teriakkanku cukup membuat ibu-ibu memberhentikan langkahku. Alhamdulillah hari pertama cukup sukses. Jamu hasil racikanku laris manis hari ini.

“Jamu-jamu!”

Kembali teriakan itu kian akrab di telinga masyarakat di desaku. Sehingga kedatanganku kini dinanti oleh para pelangganku.

Di tengah perjalanan aku menjajakan jamu, tiba-tiba langkahku terhenti ketika melihat anak-anak yang sedang asik bermain layangan. Mereka adalah anak-anak putus sekolah karena ketiadaan biaya orang tuanya untuk menyelesaikan pendidikan mereka sekalipun sekolah dasar. Alhasil aktivitas mereka hanya sebatas bermain dan menjadi kuli panggul di pasar.

Dadaku kembali menyesak. Aku tidak ingin anak-anak di desaku mengalami nasib serupa denganku. Aku ingin mereka bisa menjadi anak-anak yang cerdas. Kendati aku hanya tamatan sekolah dasar, tapi tak menyurutkan semangatku untuk terus belajar.

Kulangkahkan kakiku dengan tergesa agar segera sampai di gubuk reotku. Kembali kubuka koleksi buku yang sempat kubeli saat di kota dahulu.

Hidupku yang masih sendiri membuat pengeluaranku tak begitu banyak. Apalagi untuk berjualan jamu tak perlu modal banyak. Berbekal tanaman apotek hidup yang ada di kebun nenek, aku sudah bisa memperoleh pendapatan lebih, dari hasil jualanku.

Hari ini menjadi hari yang sangat berbeda untukku. Kukayuh sepeda dengan penuh semangat untuk melancarkan misi perdanaku. Kusinggahi tempat aku biasa berjualan jamu, juga lapangan tempat biasa anak-anak bermain layangan.

“Le ... Nduk ...! mrene, bulek punya sesuatu buat kalian!“ Aku memanggil anak-anak sambil melambai-lambaikan tanganku ke arah mereka.

Segera mereka bergegas ke arahku. “Enten nopo bulek?” kompak mereka bertanya padaku.

Kutunjukkan buku-buku yang kubuntal dengan bekas taplak di bocengan belakang sepedaku.

Rasa bahagia melihat mereka saling berebut buku yang kubawa. Kuajak mereka menepi ke pepohonan rindang di pojok lapangan.

Semilir angin sepoi–sepoi membuat anak-anak semakin hanyut dengan buku yang mereka baca.

Misi perdanaku kini telah tertunai. Dari pertemuan perdanaku dengan anak-anak itu, kini para pelanggan jamuku juga orang tua yang anaknya ikut membaca buku yang kubawa, sekarang semua mendukung langkah kecilku itu. Aku sangat senang dengan minat baca mereka. Antusiasme yang begitu tinggi dari masyarakat di desaku membuatku semakin semangat menggiatkan budaya membaca. Karena aku sadar dengan banyak membacalah, kami orang-orang desa tidak akan dibodohi oleh orang lain.

Kini koleksiku semakin bertambah banyak. Para pelanggan jamuku yang terdiri dari berbagai kalangan, banyak yang menyumbangkan bukunya padaku. Aku sangat berterima kasih karena usahaku kini tak dinilai sebelah mata sebagai hal yang sia-sia.

Langit sore begitu cerah. Secerah hatiku yang sedang sumringah. Kupacu dengan penuh semangat sepeda tua peninggalan nenek yang kini menjadi kebanggaanku.

Kini, aku telah menemukan duniaku. Aku menikmati aktivitas baruku. Dan aku sangat menghargai statusku. Sebagai mantan babu, yang kini menjadi penjual jamu dan juga profesi baruku sebagai penyedia bacaan bagi masyarakat di desaku.

Pustakawan keliling, gelar yang kini disematkan padaku oleh masyarakat, membuatku semakin merasa mempunyai tanggung jawab untuk terus menyampaikan misi mulia. Menggiatkan budaya membaca dimanapun aku berada.

Bandar Lampung, 22/05/2012

2:56 am

#cerpen ini didedikasikan untuk para perempuan hebat di sekitarku yang terus menginspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun