Tidak cukup sampai di situ, Ki Semar menegaskan, "Mari kita belajar dari kasus peradilan baju perang milik Sayidina Ali bin Abithalib. Kendati beliau yakin bahwa barang itu miliknya, tapi lantaran gak punya bukti dan saksi, maka beliau dengan lapang dada mengalah. Itu artinya bukti dan saksi hukumnya wajib. Itu esensi Islam, yakni keadilan. Jadi kalau ada pernyataan kejahatan sudah jelas, tapi sulit dibuktikan, itu sesuatu yang tidak logis, menyimpang dari akal sehat. Kalau tak ada bukti bagaimana mungkin bisa diklaim sudah jelas! Bukankah yang dimaksud jelas itu artinya sudah terbukti?"
Tampak tiga orang dengan cepat membayar dan memilih kabur dari warung. Saking tergesa-gesanya beberapa kali saling terjegal kaki temannya.
"Benar kata leluhur," sindir Cak Dempul dengan suara sengaja dikeraskan, "Dunia ini seperti warung, tempat untuk singgah minum sejenak."
Kini Cak Otok, si pemilik warung mengajukan pertanyaan kepada Ki Semar, "Benarkah dunia ini bersifat semu dan menipu, Ki Semar, sehingga banyak orang yang tertipu?"
"Orang-orang bijak menyebut dunia ini adalah kotoran kucing yang dianggap coklat. Dunia adalah tempat permainan yang penuh jebakan. Permainan itu menyenangkan dan jebakan itu menipu."
"Semacam fatamorgana ya?"
"Betul. Apa itu fakta? Fakta itu adalah kotoran kucing. Apa itu fatamorgana? Fatamorgana itu adalah persepsi pikiran yang menyangka kotoran kucing sebagai permen coklat. Alat permainan dunia itu disebut persepsi, tidak lebih. Itulah faktamorgana."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H