Beberapa murid yang mendapat giliran jaga pos menerima dengan sikap ramah, biarpun pertanyaan itu dilontarkan dari atas kuda dengan nada angkuh. "Ah betul. Kemarin memang ada tamu yang mengaku bernama Ki Renggo. Kalau boleh tahu Ki sanak dari mana?"
"Kami adalah saudara seperguruan Ki Renggo, dari perkumpulan Intijiwo!"
"Oh.., mari saya antar ke ruang tamu. Akan saya beritahu Ki Renggo kalau ada yang mencari. Sepertinya tadi dia sedang bercakap-cakap dengan guru kami di ruang tamu!"
Ki Wakut berpaling ke teman-temannya dan saling melempar senyum penuh arti. Ternyata tidak perlu susah payah untuk mendapatkan pengkhianat itu. Tebakan Ki Dewan ternyata tepat sekali.
Ki Renggo yang baru saja selesai menceritakan semua rahasia yang ia peroleh selama menyamar menjadi tukang kebun, terkejut menyaksikan kedatangan Ki Wakut dan kawan-kawannya.
Ki Renggo langsung bangkit dari tempat duduk. "Saya mohon maaf Guru Lintang, mereka adalah murid Intijiwo yang pasti sedang mencari saya!"
"Ki Renggo, kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" teriak Ki Wakut begitu melihat orang yang dicarinya berdiri di depan. Matanya menatap sambil menyipit seolah sedang menakar kekuatan lawan. Ia bersikap waspada untuk siap menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.
Dengan wajah muram dan kening berkerut Ki Renggo mengaku bahwa dia memang telah berkelahi dengan Giman dan Moko, tapi itu karena dia diserang lebih dulu. "Saya terpaksa harus membela diri. Giman memang meninggal akibat perkelahian yang tidak saya kehendaki itu. Tapi saya tidak membunuh Moko. Dia memilih bunuh diri. Saya benar-benar menyesal dan minta maaf kepada kalian semua dan khususnya kepada Kanjeng Wotwesi!"
"Ha..! Apa kamu pikir cukup dengan menyesal dan minta maaf? Apakah sedemikian murahnya kau menilai nyawa dua orang saudara kami?" hardik Ki Wakut dengan kedua alis terangkat. "Kamu ternyata seorang pengkhianat, dan sekarang kamu harus ikut kami untuk menerima hukuman mati dari kanjeng!"
Ki Renggo melangkah maju dan seolah-olah menyerah untuk ditangkap. Ia letakkan tangannya pada gagang pedang, menggenggam erat, dan berjanji pada diri sendiri, 'Lebih baik mati ketimbang menyerah. Sekarang ini cuma pedang yang akan berbicara,' pikirnya.
Akan tetapi ketika tangan Guru Lintang menahan, dan tatapannya bertemu pandang, ia melihat pendekar besar itu menggeleng-geleng kepala perlahan, sehingga ia mengurungkan niatnya.