Senyum manisnya menumpas segala kejengkelanku. Kelemahanku yang paling fatal, aku mudah terpesona oleh kecantikan. Apalagi gadis itu memang, terus terang, sangat menarik hati.
"Lidah bakar?" Mendadak hidungku mencium daging terbakar.
"Iya, belum pernah tahu kan? Mari silakan masuk, Mas!"
Gadis tinggi semampai berambut hitam panjang itu membawaku ke ruang makan. Mempersilakan agar aku duduk di sebuah kursi yang sepertinya sudah ia siapkan.
"Mbak Meta di rumah sendirian?"
"Sama suamiku. Dia masih bekerja di kampus. Pulangnya malam! Tunggu sebentar ya, Mas!"
"Kerja di kampus? Dosen?"
"Iya, tapi juga kepala perpus!"
'Kepala perpus kok bisa sekaya ini!' "Universitas apa, Mbak?"
Dari dapur ia menyebut nama kampusnya.
"Apakah Pak Doktor Dodit?"