Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (117): Buronan Seharga Sekilogram Emas

18 Desember 2024   04:40 Diperbarui: 18 Desember 2024   11:49 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Asap dari dupa wangi diyakini bisa mengusir roh jahat dan sekaligus merupakan persembahan bagi roh, baik untuk berkenan hadir dan untuk tinggal menetap.

Seorang dukun membawa tungku kecil tempat bara membakar dupa mengelilingi sekitar ruang. Seorang dukun pembantu yang membawa obor kecil mengikuti di belakang. Mereka mengelilingi ruangan itu searah jarum jam sebanyak tiga kali, kemudian berhenti di dekat dasar pintu utama, mengangkat tinggi-tinggi melewati kepala Kencana dan memutarnya sebanyak tiga kali pula.

Dukun pertama lalu mengambil kantung berisi garam dan sambil membaca mantra menaburkannya di sudut-sudut ruangan. Menurutnya, makhluk halus tak akan bisa mengejar jika terdapat garam kasar di dalam ruangan. Kelihatan sepele, namun garam rupanya termasuk salah satu benda yang paling dibenci makhluk halus.

"Aah..!" jerit Kencana, tak kuasa menahan sakit tatkala Kanjeng Wotwesi yang dibantu dua orang dukun melakukan tahapan pengusiran makhluk halus yang menguasainya.

"Pergi kalau kau tidak ingin mati setan keparat!" ancam Kanjeng Wotwesi. Tampak mulutnya terus berkecumik membaca mantra-mantra.

"Aah..! Sakit!" teriakan parau kembali terlontar dari mulut Kencana. Tubuhnya bergetar hebat saat merasakan ada suatu energi yang menerjang, mencoba mendesak roh jahat keluar. Kedua energi yang bertolak belakang itu bertarung di dalam tubuhnya. "Sakiiit..!"

"Cepat pergi atau mati!"

Kencana perlahan kehilangan kesadaran dan mengamuk, berteriak mengumpat sambil matanya yang merah melotot mengerikan. "Kau yang keparat! Bunuh saja aku kalau berani, manusia busuk!" tantangnya.

Setelah itu Kanjeng kembali melancarkan serangan energi ke arah kepala. Secara serentak dua dukun pembantu menyerang ke arah punggung. Beberapa saat kemudian, terjadi hal mengerikan. Perempuan itu memuntahkan gumpalan jerami kering dan serpihan kayu, sebelum akhirnya terkulai pingsan.

Seorang dukun perempuan kemudian mendekati dan membalurkan rempah-rempah di sebagian tubuh Kencana. "Ia cuma kehabisan tenaga!" ucapnya, "Tapi ia sudah sembuh!"

Kencana berhasil disembuhkan. Ia sadar tapi tetap pura-pura belum sepenuhnya pulih. Ia takut jika nanti didesak untuk menjelaskan kenapa sampai bisa ditemukan kerasukan di sebuah desa terpencil. Ia menerima segelas air yang disodorkan dukun perempuan dan meminumnya.

"Ada laki-laki tergila-gila pada Kencana. Tentu saja perempuan yang sudah bersuami ini menolak lelaki itu mentah-mentah. Laki-laki itu kemudian mengancam," dukun perempuan itu bercerita. "Ancaman laki-laki itu bukan omong kosong. Ternyata dia seorang dukun pengabdi setan. Dia kemudian mengirim guna-guna hampir setiap malam!"

Acara menjelang petang itu bukanlah acara yang biasa digelar oleh Kanjeng Wotwesi. Di ruang yang cukup luas itu ada lebih dari dua puluh dukun dari berbagai desa. Mereka berduyun-duyun datang ke Puri Intijiwo untuk mengikuti praktek pelajaran bagaimana mengusir makhluk halus.

"Apa penyebab kasus kerasukan belakangan melonjak tiga kali lipat?" tanya seorang dukun, "Dalam seminggu terakhir saja, saya telah melakukan sekitar dua puluh tiga kali ritual pengusiran makhluk halus! Kejadian hampir bersamaan itu tidak mungkin karena kiriman guna-guna!"

"Perang melawan iblis memang sudah dimulai sejak manusia tercipta dan akan terus berlangsung hingga kiamat!" sahut Mbah Misir, salah satu dukun pembantu kanjeng kepada para dukun yang ingin memperdalam ilmunya itu.

Mbah Misir sudah sangat tua, usianya sudah seratus tahun lebih, tapi hampir setiap hari ada puluhan orang antri di rumahnya untuk mendapatkan 'pengobatan'. Sudah hampir lima puluh tahun dia menjadi seorang penyembuh khusus bagi orang-orang yang kerasukan.

"Salah satu jin yang berhasil saya keluarkan dari pasien!" tutur Mbah Misir, "Jin itu mengaku dia pasukan perang yang kalah dan lari, kemudian menemukan orang yang lemah dan merasukinya untuk bersembuyi dari pengejaran para musuhnya!"

"Bagaimana kita bisa tahu seseorang itu kesurupan atau karena menderita penyakit jiwa?" tanya seorang dukun yang mengaku dari Bojonegoro.

"Sebagian tanda orang yang kerasukan," menurut Kanjeng Wotwesi, "Antara lain bisa berbicara dalam bahasa yang tidak kita ketahui atau memiliki kekuatan fisik yang tak seperti lazimnya, bisa melebihi sepuluh kekuatan orang normal!"

"Iya betul," imbuh seseorang, "Aku sudah menyaksikan kekuatan jin yang melemparkan barang-barang dalam ruangan!"

"Guru saya dulu," tutur Mbah Misir, "Meninggal setelah dilemparkan oleh jin yang merasuki tubuh seorang bocah kecil. Sebelumnya, guru saya itu sudah mencoba mengusir jin itu sampai berkali-kali!"

"Roh-roh jahat itu memang tak begitu saja 'menyerah' dan langsung pergi dengan sekali ritual pengusiran!" sambung Kanjeng Wotwesi, "Mereka ahli mengecoh. Bisa pura-pura menyerah padahal tidak. Mereka akan kembali lagi begitu kita lengah. Aku sangat mengenal watak mereka. Aku sampai bisa mencium bau napas dan mendengar suara asli mereka!"

Semua orang tampak antusias menyimak penjelasan kanjeng yang mereka percaya memang memiliki ilmu sangat tinggi. Terutama ilmu tentang dunia gaib.

"Sebenarnya bagaimana makhluk halus tersebut awalnya bisa berada di dalam tubuh manusia, memang tidak selalu karena kiriman!" Kanjeng Wotwesi melanjutkan, "Bisa juga karena keturunan, di mana pendahulu orang tersebut pernah melakukan perjanjian dengan makhluk halus, sehingga ia kemudian terikat dengan perjanjian itu. Bisa juga karena seseorang menyimpan dan merawat jimat atau pusaka yang berkhodam!"

Mbah Misir menambahkan, "Yang jelas, pada dasarnya jin yang masuk ke dalam tubuh manusia itu bisa dipastikan adalah jin jahat!"

***

Ki Renggo menunggu ketua kelompok tingkat tujuh selesai memberi pelajaran kepada anggota baru. Pelajaran yang dianggap pengetahuan dasar bagi setiap anggota Intijiwo, yang kebanyakan dari mereka tidak paham kenapa harus mempelajari hal tersebut. Mereka antusias belajar tanpa tahu tujuannya.

"Para guru kita telah melakukan penelitian tentang perubahan yang mendasar pada musang, yang dapat dilihat dari perubahan pada kulit dan bulunya!" papar si pelatih, dilakukan di dekat kolam ikan dengan suasana tenang dan hawa petang yang sejuk.

Ada puluhan musang yang dipelihara dalam sangkar besar di tempat itu dan ada puluhan kulit musang yang sudah dikeringkan. Di bawah penerangan obor-obor, pelajaran petang itu adalah menunjukkan corak tertentu di kulit yang sudah dikeringkan. Untuk kulit dan bulu dengan corak tertentu adalah musang murni, corak lainnya adalah musang yang memiliki sifat siluman musang.

Ketika melihat ada kesempatan, Ki Renggo segera menghampiri si pelatih dan menyampaikan bahwa dirinya minta ijin pulang karena ada urusan keluarga. Kebetulan sekali saat itu Ki Dewan dan Ki Jangkar berada di tempat itu, sehingga sekalian berpamitan kepada mereka. Kedua orang yang paling dekat dengan Kanjeng itu sedang memberi makan musang-musang. Kebiasaan yang mereka sukai di saat-saat senggang.

"Mau ijin berapa lama Ki Renggo?" tanya si pelatih.

"Sampai urusan saya selesai! Mungkin dua pekan!"

"Baik, hati-hati selama dalam perjalanan, Ki Renggo!"

"Baik. Terima kasih, Ketua!"

"Tunggu!" seru Ki Dewan tiba-tiba. "Kamu tukang kebun yang biasa merawat taman di puri bukan?"

"Iya benar, Tuan!"

"Ini buat bekal kamu dalam perjalanan!" Ki Dewan lalu mengeluarkan beberapa uang dan ia lemparkan ke arah Ki Renggo.

"Terima kasih banyak, Tuan!" jawab Ki Renggo dengan sikap santun. Ia tadi menggerakkan tangan menyambut pemberian itu dengan santai dan sewajarnya saja, sebelum kemudian menyimpannya di dalam kantung baju. "Terima kasih!" ucapnya lagi sambil membungkukkan badan.

Ki Dewan diam-diam dibuat terkejut. Ketika melemparkan uang tadi, ia sengaja mengerahkan tenaga dalam. Ia ingin menguji, jika hanya memiliki ilmu kepandaian biasa saja, tentu orang yang menerima uang itu akan tersungkur roboh, atau setidaknya akan sempoyongan.

Ketika Ki Renggo sudah pergi dari tempat itu, Ki Dewa berbisik kepada si pelatih, "Suruh orangmu untuk mengikuti Ki Renggo! Dia pasti seorang penyusup, dan jangan dipandang sebelah mata. Ilmunya lumayan tinggi!"

"Siap, Ki!"

"Dua atau empat orang yang terbaik. Jika menemukan sesuatu yang mencurigakan, perintahkan mereka untuk langsung menghabisinya di tempat!"

"Siap laksanakan, Ki Dewan!"

***

Ki Renggo merasa penyelidikannya selama ini telah cukup. Ia telah mendapatkan banyak bukti-bukti mengenai kejahatan Kanjeng Wotwesi dan kesesatan ajaran Intijiwo. Kini tinggal mencari seseorang atau pihak yang dipandang bisa dipercaya untuk mendengarkan semua informasi itu, dan setelah itu diharapkan mampu untuk memberantasnya.

Ia pernah mendengar mengenai Pendekar Pedang Akhirat, tapi sudah sepuluh tahun lebih pendekar itu tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya. Ia hanya tahu pendekar itu tinggal di Jombang, maka ia bertekad untuk pergi ke kota itu dan mencarinya sampai ketemu. Meskipun ia ragu apakah pendekar yang dianggap pembela kebenaran itu nantinya bersedia memberantas kejahatan Kanjeng Wotwesi.

Di sepanjang perjalanan yang dilewati, ia sempatkan untuk selalu menemui warga kampung, untuk sebisa mungkin memberi pencerahan kepada mereka tentang kesesatan Kanjeng Wotwesi dan Intijiwo.

Matahari masih cukup tinggi di atas kepala. Lewat dedaunan pohon Trembesi, sinarnya dapat menembus ke bawah, ke teras warung di tengah kampung. Ki Renggo duduk di salah satu bangku, dan mulai memperkenalkan diri kepada para pengunjung warung.

"Saya menyusup ke sana untuk menyelidiki, karena kakak saya meninggal dijadikan tumbal dan kemudian perkebunan kopi miliknya berpindah tangan menjadi milik Intijiwo!" Untuk kesekian kalinya Ki Renggo membongkar semua praktik kejahatan Kanjeng Wotwesi.

"Kanjeng Wotwesi melakukan serangkaian pembunuhan?" tanya seseorang yang sejak semula sangat tertarik dengan penuturan Ki Renggo.

"Iya benar! Pembunuhan, baik secara langsung maupun dengan menggunakan ilmu hitam, dengan tujuan untuk merampas kekayaan dan usaha korbannya!"

"Dia sangat kaya raya," imbuh mbah pemilik warung, "Itu karena kabarnya kanjeng memiliki kemampuan bisa menggandakan emas! Itulah kenapa banyak orang yang  ingin menjadi muridnya, agar bisa kaya raya!"

"Tapi ternyata di balik kesuksesannya itu penuh cerita yang berlumuran darah! Siapa sangka?"

"Kita harus hati-jati. Di sepanjang jalan kehidupan yang berliku-liku ini, memang ada banyak penipu dan pengecoh yang tanpa henti mencari cara untuk menipu kita!"

"Itu artinya seorang pemimpin spiritual yang sangat berpengaruh tapi sangat membahayakan kehidupan masyarakat luas!"

"Iya. Sangat membahayakan!"

Kebanyakan reaksi warga yang mendengar akan terperangah, kaget dan tak percaya. Satu pertanyaan yang selalu akan terlontar dari mulut mereka, "Kok bisa..?"

Siapa tak kenal Kanjeng Wotwesi, seorang pendekar dan pengusaha kaya raya di Nusantara. Selain itu juga dikenal sebagai seorang pemimpin ulung dan kharismatik. Setiap orang yang pernah bertemu dan mendengar ajarannya selalu merasa seperti terlahir kembali dengan pola pikir baru.

"Dia telah menunjukkan keahlian luar biasa dalam menggerakkan dan menggugah hati para pengikutnya ke kedalaman emosional!" papar seorang kepala dusun di kampung itu. "Itu dikarenakan oleh kefasihan verbal dan kharisma pribadi. Jarang sekali orang yang memiliki kedua-duanya. Kanjeng Wotwesi telah menguasai kedua hal itu!"

"Masalahnya siapa yang mengajarkan kejahatan itu, Ki? seorang berandalan? Seorang bajingan? Bukan, tapi seorang yang dikenal memiliki pengaruh begitu besar!" sahut orang yang duduk di depannya.

"Iya!" timpal seseorang di sebelahnya, "Bayangkan betapa mengerikannya wajah masa depan Nusantara, andaikata para penjahat yang menghalalkan segala cara demi meraih ambisinya itu kelak bisa berkuasa!"

"Hati-hati ngomong soal seperti ini. Bisa membahayakan nyawa kita lho! Kanjeng Wotwesi itu punya banyak pengikut fanatik di mana-mana!"

"Mari kita berdoa agar kejahatannya terungkap dan segera diberantas, dan jangan pernah ada lagi kejahatan serupa di bumi Nusantara yang kita cintai ini!" pungkas si kepala dusun.

***

Telinganya yang peka mendengar suara langka kaki ringan di luar kamar. Daun pintu dicongkel pelan dari luar. Tiba-tiba muncul dua orang berbaju hitam yang bagian kepala diikat tali merah, dengan cepat masuk dan berdiri di dekat lampu minyak, Ki Renggo yang menanti di sudut gelap dapat melihat jelas tamu tak diundang itu. Moko dan Giman.

Karena maklum bahwa mereka adalah murid Intijiwo, Ki Renggo lalu menerjang ke depan dengan sangat gesit. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang tingkat tujuh itu mengeroyok seseorang yang baru tingkat satu. Ki Renggo bertangan kosong sedangkan kedua orang lawannya memegang golok.

"Pengkhianat keparat!" bentak Giman dan pandangan matanya tidak salah lagi mengungkapkan kemuakan. dia lalu menerjang dengan jurus paling ampuh dari Lembah Gunung Pegat, yaitu jurus Topan Menerjang Awan. Jurus itu dilakukan dengan sambaran mengarah pada kaki lawan, akan tetapi itu merupakan tipuan belaka karena jurus itu secara berputar disusul dengan sabetan cepat ke arah leher. Dapat dibayangkan betapa berbahayanya.

Akan tetapi, alangkah kaget Giman melihat Ki Renggo sepertinya tidak terpancing gerakan tipuan itu, namun ketika pedang menyabet leher, Ki Renggo sudah meloncat tinggi di atas kepala sehingga jurus itu pun tidak ada gunanya sama sekali.

Selagi meloncat, tidak hanya untuk memusnahkan jurus lawan, melainkan segera disusul dengan tendangan di kepala, sehingga sekarang Giman tersungkur menabrak dinding kayu, mengguncangkan rumah dan segala isinya.

Terdengar kepala dusun dan istrinya di luar kamar bertanya dengan suara ketakutan, "Apa yang terjadi, Ki Renggo?"

"Ada maling, Ki!" jawab Ki Renggo, "Kalian sembunyi saja di kamar!" Setelah menendang, ia lantas membuat gerakan ringan menginjakan kaki di atas meja, tetapi Moko menyambut dengan golok membabat kaki. Ki Renggo berkelit.

Belum sempat meloncat bangun, Giman membentak marah sambil mencari goloknya yang terlepas. "Pengkhianat keparat!" Setelah bangun dia pun kembali menerjang dengan murka, dari arah bawah membacok ke arah pinggang.

Ki Renggo meminjam tenaga lawan dan meski pun yang diinjaknya sebilah golok, ia melakukan gerakan jungkir balik dan tahu-tahu sudah meluncur keluar kamar menerobos jendela.

"Kau tidak akan bisa kabur pengkhianat bangsat!" bentak Moko beringas dan segera mengejar melalui jendela dan diikuti Giman.

Begitu berada di luar, tampak dua cahaya baja menyambar membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri. Akan tetapi, Ki Renggo dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan ganda itu pun mengenai tempat kosong. Sebelum murid Intijiwo sempat menyerang lagi, Ki Renggo secepat kilat mendaratkan tendangan ke arah kepala dan membuat Giman jatuh dengan kepala lebih dulu membentur tanah. Sangat keras.

Sementara Moko masih sempat menangkis dengan tangan kiri, tapi tubuhnya terlempar ke belakang dan bergulingan di tanah.

"Giman!" raung Moko seraya mendekati dan menggoyang tubuh temannya dengan kaki, tapi tubuh lelaki itu tak bergerak sedikit pun. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan giginya yang kuning melapuk, menyiratkan kengerian.

Ki Renggo yang bertangan kosong akan tetapi begitu lihai bukan main sehingga kedua lawannya yang tingkat tujuh dan bersenjatakan golok itu pun dibuat tak berdaya.

Sambil mengeluarkan suara dari hidungnya, Moko meloncat dan menerjang lagi dengan goloknya. Ki Renggo berkelit sambil melancarkan cakaran maut. Baju Moko robek dan dadanya terkena cakar, terluka cukup dalam dan rasanya pedih sekali.

"Macan Argopuro!" gumam Moko, tiba-tiba mengenali jurus lawan. Ia merasa gentar, tapi tidak ada kata mundur, maka ia kembali menyerang dengan membabi buta.

Kini tendangan keras dari atas menimpa kepala, sampai membuat kedua kaki Moko tertekuk seperti berlutut. Sesaat pandangannya menjadi kabur.

Sebetulnya Ki renggo bisa saja membunuh orang itu tanpa kesukaran, tentu jika ia mau. "Kembalilah ke Lembah Gunung Pegat! Laporkan bahwa kelak aku yang akan datang ke sana untuk menumpas kejahatan kalian!"

"Kematian lebih baik bagiku dari pada jadi pengkhianat," balas Moko tanpa ada sedikit pun rona sedih. Bayangan masa kanak-kanak bermain-main di depan matanya, sebelum akhirnya ia menggorok sendiri lehernya. Bunuh diri.

Ki Renggo tertegun menyaksikan aksi bodoh itu. meskipun itu bukan merupakan kebodohan yang pertama kali ia saksikan di perkumpulan Intijiwo, tapi tetap menghadirkan keprihatinan.

Saat warga kampung akhirnya berdatangan, Ki Renggo segera kabur dari tempat itu. Orang-orang lalu memukul kentongan sambil berteriak nyaring, "Ada pembunuhan!"

Keesokan harinya tersiar kabar bahwa lelaki bernama Renggo adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Sang buronan yang paling dicari oleh perkumpulan Intijiwo, yang nyawanya belakangan dihargai dengan sekilogram emas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun