Sementara Moko masih sempat menangkis dengan tangan kiri, tapi tubuhnya terlempar ke belakang dan bergulingan di tanah.
"Giman!" raung Moko seraya mendekati dan menggoyang tubuh temannya dengan kaki, tapi tubuh lelaki itu tak bergerak sedikit pun. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan giginya yang kuning melapuk, menyiratkan kengerian.
Ki Renggo yang bertangan kosong akan tetapi begitu lihai bukan main sehingga kedua lawannya yang tingkat tujuh dan bersenjatakan golok itu pun dibuat tak berdaya.
Sambil mengeluarkan suara dari hidungnya, Moko meloncat dan menerjang lagi dengan goloknya. Ki Renggo berkelit sambil melancarkan cakaran maut. Baju Moko robek dan dadanya terkena cakar, terluka cukup dalam dan rasanya pedih sekali.
"Macan Argopuro!" gumam Moko, tiba-tiba mengenali jurus lawan. Ia merasa gentar, tapi tidak ada kata mundur, maka ia kembali menyerang dengan membabi buta.
Kini tendangan keras dari atas menimpa kepala, sampai membuat kedua kaki Moko tertekuk seperti berlutut. Sesaat pandangannya menjadi kabur.
Sebetulnya Ki renggo bisa saja membunuh orang itu tanpa kesukaran, tentu jika ia mau. "Kembalilah ke Lembah Gunung Pegat! Laporkan bahwa kelak aku yang akan datang ke sana untuk menumpas kejahatan kalian!"
"Kematian lebih baik bagiku dari pada jadi pengkhianat," balas Moko tanpa ada sedikit pun rona sedih. Bayangan masa kanak-kanak bermain-main di depan matanya, sebelum akhirnya ia menggorok sendiri lehernya. Bunuh diri.
Ki Renggo tertegun menyaksikan aksi bodoh itu. meskipun itu bukan merupakan kebodohan yang pertama kali ia saksikan di perkumpulan Intijiwo, tapi tetap menghadirkan keprihatinan.
Saat warga kampung akhirnya berdatangan, Ki Renggo segera kabur dari tempat itu. Orang-orang lalu memukul kentongan sambil berteriak nyaring, "Ada pembunuhan!"
Keesokan harinya tersiar kabar bahwa lelaki bernama Renggo adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Sang buronan yang paling dicari oleh perkumpulan Intijiwo, yang nyawanya belakangan dihargai dengan sekilogram emas.