Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (116): Orang Pintar

17 Desember 2024   03:46 Diperbarui: 17 Desember 2024   05:47 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

Sudah lewat tengah malam. Tanda-tanda bahwa kiriman santet itu telah berhasil mengenai sasaran belum tampak. Kencana dan Prana semakin tegang menyaksikan Mbah Kukuk Beluk telah basah kuyup oleh keringat. Padahal udara malam itu cukup dingin. Sementara Nyi Lembok sudah berkali-kali menambahkan kemenyan di atas tungku.

"Bagaimana, Ki?" bisik Kencana sambil mendekati Nyi Lembok. Jelas sekali ia mulai tidak sabar karena menangkap ada sesuatu yang tidak beres.

"Rupanya sedang terjadi perang!" balas Nyi Lembok berbisik.

"Perang?"

"Iya. Perang gaib!"

"Terus? Masih lamakah?"

"Anda tenang saja! Di kolong langit ini belum ada dukun santet yang mampu menandingi guru saya ini!" Nyi Lembok lantas menceritakan sejarah Mbah Beluk. Itu dimaksudkan agar Kencana semakin yakin akan ketinggian ilmu hitam yang dikuasai gurunya itu.

Proses yang dilalui oleh seseorang untuk menjadi dukun yang bisa bersatu dengan Siluman Kukuk Beluk Laut itu sangat panjang. Konon kabarnya si pelaku harus memakan daging dan minum darah binatang khusus. Hanya itu yang ia konsumsi dalam kurun waktu tertentu hingga tubuhnya perlahan-lahan bisa berubah dan bersatu menjadi siluman.

Waktu mudah Mbah Beluk adalah seorang istri yang selalu mendapat siksaan dari suaminya. Ia disalahkan karena tidak bisa melahirkan anak. Ia juga dituding gila, sehingga dikurung dalam sebuah bilik dan sama sekali tidak diberi makanan apapun. Lilitan rasa lapar yang hebat membuat ia makan binatang-binatang yang kebetulan masuk ke dalam biliknya. Sampai akhirnya terbiasa.

Suatu ketika ia didatangi sosok jin yang menawarkan akan memberinya kesaktian. Bantuan itu akan diberikan dengan syarat bersedia memberikan tumbal. Tumbal, yang merupakan alat transaksi dengan bangsa jin itu, harus sesuai perjanjian di awal. Mbah Beluk kemudian bersedia, bahkan berjanji akan menyediakan tumbal dari keluarganya sendiri. Yang pertama kali dikorbankan adalah suaminya, kemudian semua keluarga suaminya.

Siluman Kukuk Beluk Laut biasa melakukan aksi pada malam hari. Konon jika ingin membunuh seseorang, hanya dengan membaca mantra maka ia akan berubah menjadi siluman, lalu mendatangi rumah korban. Biasanya, dalam waktu semalam korban akan tewas disebabkan hal yang tak wajar. Selain itu jantung korban akan dimakan untuk meningkatkan ilmu kesaktiannya.

Siluman Kukuk Beluk kadang hidup berbaur dengan masyarakat. Ciri-ciri mereka memang sulit dilihat secara kasat mata. Apalagi kebanyakan ia hanya keluar di malam hari. Orang yang memiliki ilmu cukup tinggi kadang dapat mengenali siluman dengan ciri-ciri mata yang terang menyala, berbeda dengan mata manusia pada umumnya.

"Yang duduk di atas ranjang itu hanya tubuhnya saja!" kata Nyi Lembok sambil menuding ke arah Mbah Beluk. "Ruhnya keluar dan sedang bersatu menjadi siluman!"

Tiba-tiba mereka mencium bau aroma pandan wangi. Itu membuat Nyi Lembok tampak begitu ketakutan.

"Kenapa, Nyi?" tanya Kencana ikut was-was.

"Ada garangan di sekitar kita!" Nyi Lembok lalu berdiri memeriksa Mbah Beluk. Ternyata perempuan tua itu telah tewas, dengan tubuh berasap dan mengeluarkan bau busuk.

Nyi Lembok semakin panik. Bau pandan wangi ada di sekeliling mereka. Ia mengeluarkan jimat-jimatnya dan itu langsung membuat pasukan Siluman Garangan semakin buas dan beringas. Mereka mengeroyok dukun itu dengan sangat ganas.

Kencana yang sangat ketakutan segera melarikan diri dari tempat itu. Ia bahkan tidak lagi menghiraukan Prana yang tertidur.

***

Orang-orang yang memiliki kepekaan merasakan suasana di lembah Gunung Pegat menjadi lebih panas dari biasanya. Mereka yang berilmu cukup tinggi tahu bahwa hal itu diakibatkan oleh karena tempat itu telah dijadikan medan pertempuran antar dua kerajaan jin. Pertempuran yang benar-benar dasyat. Bagi mereka yang tidak peka, akan berpikir itu hanya karena tidak ada angin yang berhembus.

Lembah itu masih tetap seperti semula, akan tetapi di alam jin, tampak kerusakan hebat bagaikan di neraka. Pemandangan potongan-potongan tubuh berserakan di mana-mana. Suasana begitu sunyi, yang terdengar hanya rintihan lemah beberapa pasukan yang tak dapat menahan sakit. Ratusan ribu jin tewas dalam pertempuran hidup mati yang hanya memakan waktu sebentar saja itu. Hanya semalam.

Di tempat lain yang jauh dari Lembah Gunung Pegat, Prana terbangun keesokan hari dan sangat ketakutan melihat kedua mayat yang mengerikan. Mbah Beluk tewas di atas ranjang dengan kondisi jasad menggelembung dan membusuk dengan cepat. Tidak jauh dari situ, Nyi Lembok tewas pula dengan sekujur badan seperti hangus terbakar.

Lelaki itu bergegas memeriksa sekeliling untuk mencari Kencana. Ia menyaksikan dan baru menyadari tengah berada di sebuah tempat yang sepertinya lama tidak ada penghuninya. Tampak tak terawat, maka sangat kotor. Ada meja dan lemari yang rusak. Berbagai jimat yang dipajang dan benda-benda yang tergantung sudah tampak berdebu dan dipenuhi sarang laba-laba.

Prana melihat ada beberapa bongkahan emas yang berserakan di lantai tanah. Ia tidak berani memungutinya. Sebelumnya ia mendengar cerita dari Nyi Lembok bahwa sekeliling tempat itu dihuni oleh makhluk-makhluk halus sehingga menjadi sangat angker.

Waktu itu sudah menjelang pagi, dan sungguh pun cuaca cukup cerah, namun tidak kelihatan ada seorang pun penduduk dusun yang berada di sekitar daerah itu. Tidak ada yang berani, maka tempat itu sesunyi kuburan. Prana berjalan terus dengan penuh kewaspadaan. Harapannya saat itu hanya bisa menemukan Kencana.

Sementara itu, Kencana yang lari keluar dari rumah Mbah Beluk, akhirnya sampai di sebuah perkampungan. Ia terus berlari sampai tenaganya benar-benar habis, lalu jatuh tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan.

Mbok Legi yang keluar rumah untuk memadamkan lampu minyak, terkejut melihat tubuh perempuan tergeletak di depan pintu pagar. Ia cepat memanggil suaminya.

Ketika akhirnya siuman, Kencana berada di sebuah rumah dan dikelilingi beberapa orang. Mereka adalah warga yang penasaran ingin melihat.

"Kami menemukan Nyi sanak tergeletak pingsan di jalan!" kata Ki Legi, "Nyi sanak dari mana dan mau ke mana?"

Kencana bisa mendengar pertanyaan itu dengan jelas, tapi ia ternyata telah kehilangan semua ingatannya, sehingga ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Hanya diam membisu. Sorot matanya menatap nyalang, pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, yang bagi warga tidak ada sesuatu pun yang aneh di tempat yang ditatap perempuan itu.

Kencana merasa ada makhluk-makhluk berwujud mengerikan yang selalu mengikutinya, dan kini ia yakin mereka sedang mengawasinya dari kejauhan.

"Nyi sanak aman di sini! Jangan takut!" Mbok Legi duduk disampingnya dan berusaha menentramkannya.

Sikap Kencana tidak berubah. Sambil menggumam tidak jelas ia melihat ke sana ke mari dengan pandangan was-was. Tenaganya berangsur-angsur pulih, meskipun wajahnya masih pucat dan bibirnya gemetar. Kakinya yang tanpa alas kaki sangat kotor. Terdapat luka berdarah di beberapa tempat akibat lari menempuh jarak yang cukup jauh.

"Dia seperti orang ketakutan!" celetuk seorang warga.

"Sepertinya kebingungan!" timpal yang lain, "Atau jangan-jangan dia gak waras!"

"Kasihan, cantik tapi gila!"

Warga desa yang mendengar berita itu semakin banyak yang datang untuk melihat, tapi tidak ada satu pun yang mengenalnya. Mereka juga kehabisan akal, tidak tahu bagaimana cara untuk memberitahukan kepada keluarga perempuan itu.

Satu hal yang membuat keluarga Ki Legi bersedia dengan senang hati untuk merawatnya, karena mereka yakin dari melihat penampilan perempuan muda itu pasti orang dari kota dan kemungkinan besar dari keluarga kaya.

***

Klebat sendiri ikut turun langsung mencari istrinya. Dengan dibantu puluhan anggota Intijiwo, mereka mengumpulkan informasi dan kemudian menyusurinya hingga ke pelosok-pelosok desa. Dibutuhkan waktu hampir dua minggu bagi mereka untuk bisa menemukan Kencana.

"Maaf, dia terpaksa kami ikat!" kata Ki Legi, "Karena sering mengamuk dan teriak-teriak!"

"Kencana!" panggil Klebat lirih. Ia nyaris tidak percaya bahwa perempuan dalam ikatan itu adalah istrinya. "Kamu ingat aku?"

Kencana menatap kosong sambil menggumam tidak jelas. Wajah, rambut dan seluruh tubuhnya tampak tak terawat.

"Aku Klebat, suamimu!"

Ki Legi yang berdiri di belakang berkata, "Saya kebetulan dianggap 'orang pintar' di dusun sini. Sebagai dukun, saya sudah mencoba menyembuhkannya, tapi akhirnya saya angkat tangan!"

"Kencana, kenapa kamu sampai seperti ini!"

Ki Legi yang menyahut, "Menurut saya, sepertinya ada makhluk halus yang mengikutinya! Makhuk halus itu memiliki ilmu hitam yang sangat kuat, sehingga saya yang dianggap sebagai orang pintar pun tidak sanggup mengusirnya!"

Klebat merasa begitu sedih karena harus menerima kenyataan bahwa istrinya mengalami gangguan jiwa. Ia baru menyadari bahwa perempuan itu lambat laun telah mengisi hatinya. Yang lebih menyedihkan lagi, pada saat seperti itu, sebagai seorang pendekar hebat dan kaya raya, dia ternyata tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tenggelam dalam lamunan ke momen terakhir bersama istrinya.

"Kencana, aku tangkap capung buat kamu!"

"Siapa namanya?"

"Siapa?"

"Gadis yang kamu ceritakan itu!"

"Oh.., Alya!"

"Apa kamu masih mencintainya?"

"Iya!"

"Lalu kenapa kamu mau menikah dengan aku?"

"Demi sebuah pengakuan agar aku disebut sebagai anak yang patuh dan bisa membahagiakan orang tua"

"Berarti kamu tidak mencintai aku?"

Klebat Kembali terlempar ke alam sadar. "Kencana! Aku mencintaimu, sangat mencintaimu!"

"Sebetulnya, terus terang saya sanggup menyembuhkan jika ada sesajen. Apa perlu saya buatkan sesajen dulu?" imbuh Ki Legi menawarkan bantuan. "Setan-setan itu pasti akan pergi setelah dikasih sajen!"

Klebat menampakan wajah meragukan ucapan tuan rumah itu. "Terima kasih sudah merawat istriku, tapi aku tidak punya waktu untuk omong kosong seperti ini!"

"Maaf, Ki sanak, hal-hal gaib itu memang ada! Ini bukan omong kosong! Orang-orang kota apalagi yang masih muda-muda pasti menganggap hal seperti ini omong kosong, tahayul, tidak masuk akal! Tapi..."

"Beri dia uang!" perintah Klebat kepada salah seorang anak buah. "Kita bawa Kencana pulang!"

Seseorang mengeluarkan kepingan kecil emas murni dan menyodorkan kepada Ki Legi.

Lelaki desa itu terbelalak melihat emas yang diterimanya, lalu dengan wajah ceria dia kembali melanjutkan ucapannya, "Jangan sampai Ki sanak menganggap makhluk halus dan hal-hal gaib itu tidak ada, karena itu bisa menyebabkan rusaknya iman. Kita harus mempercayainya. Jika Ki sanak lain kali punya waktu, saya bersedia mengajari Ki sanak tentang hal-hal gaib yang menurut kebanyakan orang-orang kota tidak masuk akal itu! Beri saya alamat rumah Ki sanak, nanti saya yang akan datang!"

"Baik. Saya tinggal di Puri Intijiwo Lembah Gunung Pegat!"

"Puri Intijiwo? Lembah Gunung Pegat? Apa Kisanak punya hubungan dengan Kanjeng Wotwesi?"

"Saya cucunya!"

"Ha.., apa? Cucu Kanjeng Wotwesi?"

"Telingamu tidak salah!"

"Ampuni hamba yang bodoh ini tuan!" ucap Ki Legi sambil membungkukkan badan dan berusaha mencium tangan tamu agungnya itu. "Maaf!" Ia jelas menyesal karena sudah lancang mengaku sebagai 'orang pintar'.

Klebat menatap dengan sikap sedingin tugu batu. Andaikan bukan karena telah menolong istrinya, lelaki tua banyak omong yang mengaku orang pintar itu pasti sudah dihabisinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun