Sebagai pemimpin Padepokan Benteng Nusa, Lintang Kejora tidak luput dari fitnah orang-orang yang selama ini menyimpan dengki. Salah satu fitnah favorit yang mereka ulang-ulang adalah bahwa kekayaan Benteng Nusa berasal dari harta peninggalan Majapahit yang dicuri Panglima Kelabang Karang. Malangnya, panglima itu tewas sehingga Benteng Nusalah yang akhirnya menikmati hasil jarahan haram itu.
"Saya ingin sekali membungkam mulut nyinyir para pendengki itu guru!" seru beberapa murid senior.
"Hm.., tidak ada gunanya menjelaskan kepada orang-orang itu," kata Lintang menenangkan murid-muridnya. "Mereka sebetulnya tahu faktanya, dan fitnah itu hanya laku di kalangan mereka sendiri!"
Murid yang lain mengajukan pertanyaan, "Bagaimana dengan berita yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menandingi kesaktian Iblis Muka Gedek, bahkan ilmu Guru Lintang pun dianggap masih di bawahnya?"
"Ha..ha.., biarkan saja! Itu hanya upaya untuk mengadu domba!"
Semua murid-murid tahu, Guru Lintang Si Pendekar Pedang Akhirat itu seperti harimau menyembunyikan kuku. Ia orang yang tidak mau menyombongkan diri dan sengaja merahasiakan kelebihan-kelebihannya.
"Becik ketitik ala ketara. Kebenaran atau keburukan itu pasti akan ketahuan!" sambung Lintang, "Sapa salah bakal seleh, sapa bener bakal jejer!" Artinya, siapa yang salah bakal kalah, siapa yang benar bakal menang.
"Betul sekali, Guru!" seru murid-murid sepakat.
"Ada ungkapan, 'Menang umuk, kalah ngamuk'. Sama seperti kehidupan kebanyakan kita, saat mendapat nikmat lantas jumawah, namun ketika diberi cobaan hidup sibuk mencari kambing hitam, bahkan menyalahkan Tuhan!"
Saat itu angin semilir yang berhembus terasa lebih sejuk dari biasanya. Keringat yang tadinya membasahi sekujur tubuh telah mengering. Akan tetapi mereka belum mau beranjak dari tempat latihan, masih ingin menikmati pencerahan demi pencerahan dari sang guru.
"Guru, apa yg membuat orang bisa memiliki kekuatan yang begitu hebat?" seorang murid lain mengajukan pertanyaan, "Bakat, latihan keras, atau karena keajaiban?"
"Kecerdasan juga bisa muncul dalam konteks fisik," urai Lintang bangkit berdiri di depan murid-muridnya, "Misalnya, ketika seseorang menirukan gerakan jurus yang rumit setelah guru mengajarinya sekali saja. Kecerdasan kinestetik-jasmani yang tinggi itu dapat menghasilkan ketangkasan dan koordinasi yang lebih baik. Orang dapat mengingat pola gerakan dan dapat menirunya tanpa harus diajari berkali-kali! Itu disebut bakat. Lalu dengan latihan keras menjadikan bakat itu semakin hebat. Kehebatan tanpa bakat dan latihan keras, itulah keajaiban!"
"Selama ini rasanya kami sudah berlatih sangat keras, tapi kenapa tidak bisa seperti pendekar-pendekar yang hebat itu?"
"Ya jangan-jangan kita saja yang merasa sudah berlatih keras. Nasehat orang bijak yang perlu kita renungkan adalah, jika kamu ingin jadi harimau, berhentilah menghabiskan waktu bergerombol dengan kambing! Kambing di sini misalnya sibuk dengarkan omongan yang tidak berguna, fitnah, apalagi sibuk memikirkannya, itu akan menguras energi sia-sia!"
"Bagaimana kalau tidak bisa menemukan harimau, karena lingkungan kita memang kambing?"
"Hijrah! Kecuali kita memang mau jadi kambing, tidak usah susah payah mencari lingkungan harimau!"
Setiap selesai latihan, sambil istirahat, Lintang memang memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya mengenai apa saja. Itu yang membuat hubungan guru dan murid semakin erat.
"Bagi beberapa orang mungkin menemukan bahwa sebuah jurus itu sulit dan rumit, namun dengan ketekunan mereka mampu menghadapinya dan mengatasinya dengan baik. Ketekunan adalah komponen kunci dari kecerdasan. Sifat ini juga mencerminkan kesabaran dan ketahanan! Tidak ada di bawah langit ini yang tidak bisa ditaklukan dengan ketekunan! Sudah untuk hari ini cukup ya!"
"Satu pertanyaan terakhir, Guru!"
"Baiklah!"
"Mana yang harus lebih didahulukan, mengutamakan latihan fisik atau penguasaan teori?"
"Pertanyaan bagus. Saya lama menyelami pertanyaan itu. Apakah praktek, 'Cancut Taliwondo', harus lebih dominan daripada teori, agar jangan sampai ada sindiran sinis yang bilang 'Kakehan gludhuk, ora udan', atau sebaliknya apakah teori harus lebih banyak daripada praktek, yang membuat orang harus memiliki pertimbangan matang sebelum melakukan tindakan. Yang jelas, dalam kehidupan ini dibutuhkan apa yang disebut sebagai kecerdasan spiritual. Hidup ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan ketangkasan dan keterampilan fisik saja. Sebuah modal yang lebih penting yaitu yang berbasiskan spiritualitas. Disitulah letak keseimbangan antara praktek dan teori!"
Hening. Mereka mencoba meresapi kata demi kata yang membuat kepala mereka kini terasa lebih berat.
"Kami jadi ingat Gala. Biasanya dia yang menjabarkan ulang penjelasan guru yang bagi kami cukup sulit dipahami!"
"Ya, kami juga merasa kehilangan dengan kepergian Gala. Meskipun hanya sebagai anak angkat, tapi saya dan Guru Arum sudah menganggapnya seperti anak sendiri!" Selama ini mereka sudah berusaha mencari dan memasang telinga baik-baik untuk menyerap segala informasi yang mungkin bisa mengungkap di mana keberadaan anak itu.
"Mudah-mudahan saja dia sukses mempelajari kitab pusaka itu!" harap seorang murid bernada sinis.
"Tapi masalahnya, itu bukan Gala seperti yang selama ini kita kenal. Dia tidak mungkin mencuri. Pasti ada orang yang menghasutnya!" timpal murid yang lain.
"Saya tidak mempersoalkan kitab itu," sahut Lintang, "Tapi yang saya pikirkan adalah jika dunia persilatan tahu bahwa anak itu memiliki kitab pusaka Sakti Mandraguna, nyawanya pasti bakal terancam, dan yang lebih berbahaya lagi, jika kitab pusaka itu jatuh ke tangan orang jahat!"
Mereka semua belum tahu jika Gala sudah lama tewas. Tidak ada seorang pun yang bakal bisa menemukan, karena mayatnya dikubur di tengah hutan.
***
Di bagian bumi yang lain, upacara rutin bulanan sedang berlangsung. Penulisan mantra untuk jimat, pelantikan anggota baru, dan akan ditutup dengan ceramah Kanjeng Wotwesi. Perkumpulan Intijiwo menyembelih puluhan ayam dan menanak puluhan kilogram beras, yang nantinya akan dibagi-bagikan secara cuma-cuma kepada semua pengunjung.
Bulan bulat sempurna di atas Lembah Gunung Pegat. Malam itu jauh lebih ramai dibanding malam-malam biasanya. Penginapan-penginapan penuh. Warung-warung dadakan berjajar di sepanjang jalan.
Setelah dilantik, puluhan orang anggota baru mendapat kehormatan, bisa berada cukup dekat dengan tempat duduk yang akan ditempati Kanjeng. Hanya pada hari itu.
Tiba saat yang dinanti-nanti, yakni ceramah dari pemimpin tertinggi Intijiwo. Kanjeng Wotwesi berjalan menuju panggung dengan dikawal puluhan anggota tingkat tujuh. Berbagai pekik pujian dilontarkan oleh para anggota yang ratusan jumlahnya. Pujian yang menyebut kanjeng sebagai pahlawan, pelindung rakyat kecil dan pemberantas roh-roh jahat.
Pada saat itu masyarakat umum pun diijinkan memasuki wilayah halaman Puri Intijiwo. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh mereka untuk bisa sedekat mungkin dengan panggung dan menyimak ceramah yang sangat jarang terjadi. Beberapa orang tampak membungkuk rendah, berlutut dengan kepala hampir menyentuh kaki. Yang lain mendesakkan diri ke depan untuk sekedar bisa menyentuh kaki atau jubahnya.
Prihatin melihat sikap orang-orang yang mendewa-dewakan kanjeng, Ki Renggo pun bergeser mundur untuk memberi jalan mereka yang terus merangsek maju.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan di depan panggung, memecahkan suasana khidmat. Salah seorang anggota yang baru dilantik menyerang kanjeng dengan menggunakan jurus tusukan maut ke arah dada. Gerakan yang sangat terlatih dan penuh tenaga itu mampu dipatahkan kanjeng dengan sangat mudah. Petugas keamanan pun dengan sigap melumpuhkan si penyerang gelap.
"Penyusup mau cari mati!"
"Habisi saja!" timpal yang lain, "Jangan beri ampun!"
"Sepertinya dia gak waras, atau memang sudah bosan hidup!"
"Bantai saja penyusup keparat!"
Terlontar berbagai seruan dari kerumunan. Suara-suara yang diliputi kemarahan itu untuk sementara dibiarkan saling bersahutan.
"Tenang-tenang..," seru Kanjeng Wotwesi sambil mengangkat kedua tangan untuk memberi isyarat agar semua kembali tenang.
Suara yang kuat bercampur tenaga dalam itu bergema dan membuat semua orang memandang dengan sikap hormat. Saat itu timbul getaran aneh yang terasa mendebarkan jantung. Bahkan para pendekar yang berada dalam kerumunan pun mengakui bahwa tenaga dalam yang mereka kerahkan untuk meredam getaran itu jauh kalah kuat. Kekaguman mereka terhadap Kanjeng pun semakin bertambah.
"Bawa dia ke sini!" perintah kanjeng, "Kita adalah kumpulan orang beriman yang harus bersikap penuh welas asih. Soal membunuh itu gampang. Tapi kita selidiki dulu, siapa dibelakangnya!"
Ki Renggo tersenyum getir menanggapi ucapan kanjeng. Seperti pepatah yang mengatakan, orang beriman tidak akan pamer dirinya beriman, orang welas asih tidak akan menyebut dirinya welas asih. Mereka yang berlaku demikian adalah orang yang haus akan pengakuan orang lain, dan meragukan keimanan dan sikap welas asih mereka sendiri.
"Beri dia kesempatan untuk mengutarakan alasannya!" imbuh kanjeng dengan sikap arif.
Penyerang gelap itu diminta berdiri untuk menyampaikan alasannya.
Ki Renggo kaget setelah tahu bahwa penyerang itu ternyata orang yang pernah dicurigainya sebagai penyusup. Dugaannya ternyata tidak meleset. Penyusup yang sangat sembrono.
"Ayo cepat ngomong!" bentak seorang petugas keamanan.
Lelaki penyusup berusia di awal tiga puluhan itu berkata, "Banyak orang di dunia ini yang dalam beragama hanya ikut-ikutan saja, oleh karena itu sampai akhir hayatnya mereka tetap tidak tahu soal inti spiritualitas agamanya, sama sekali tidak tahu menahu soal Tuhannya. Sehingga mereka hanya sibuk 'petentang-petenteng' dengan simbol-simbol agama!"
"Huss.., bicara apa kamu itu?" bentak beberapa orang petugas geram.
"Katakan saja siapa kamu, kenapa mau membunuh kanjeng? Gak usah sok bicara mau ngajari soal agama!"
"Saya Suro, putera almarhum Raden Suncoko! Pewaris sah Pendopo Emas yang kalian rampas!"
Begitu acara ceramah selesai. Ki Dewan segera memberi perintah beberapa anak buah untuk berangkat ke Blora, ke tempat istri mendiang Raden Suncoko. Kebenaran mengenai pengakuan Ki Suro harus diusut tuntas.
Keesokan harinya, istri mendiang Raden Suncoko minta dipertemukan dengan puteranya. Ia tidak akan percaya sebelum melihat langsung puteranya itu. Ia kemudian dibawa ke sebuah ruangan di Puri Intijiwo.
"Benarkah dia anakmu!" tanya Kanjeng Wotwesi dingin.
Tubuh perempuan tua itu menggigil menyaksikan puteranya yang babak belur. Ia tidak sanggup lagi untuk tidak menumpahkan air mata.
"Berarti benar dia anakmu. Dia harus dihukum mati!"
"Akan saya lakukan apa saja untuk Kanjeng, tapi saya minta, ampuni anak saya!" tangis ibu yang tampak kejiwaannya terguncang hebat. "Putera saya ini memang agak mengalami gangguan jiwa! Dia sakit!"
"Nyawa harus ditebus dengan nyawa!" sahut kanjeng datar.
"Saya mohon belas kasihan, Kanjeng! Saya mohon!"
Kanjeng Wotwesi diam. Matanya terpejam erat, seperti bangunan suci tempat bersemayam Ratu Jiwo yang keramat. "Itulah satu-satunya kelemahanku, tidak ada sedikit pun belas kasihan buat musuh-musuhku!"
Istri mendiang Raden Suncoko menggigil mendengar kesadisan manusia itu. Jadi, kalau orang yang dianggap terhormat dan mulia saja bisa menjadi begitu buas dan ganas, kehidupan dunia ini tentunya luar biasa jahat.
Setelah mengaku bahwa kelemahannya adalah tidak ada belas kasihan terhadap musuh-musuhnya, ia menambahkan, "Bahkan aku menikmati penderitaan musuh-musuhku!"
"Ampuni kami. Saya akan sembah kanjeng!"
"Aku tidak butuh kamu sembah. Aku pernah memberi suamimu seribu kilogram emas! Kembalikan itu maka nyawa anakmu akan selamat!"
"Tapi emas itu sudah dibagi-bagi oleh suami saya ke semua adik-adiknya!"
"Aku tidak mau tahu! pada saat aku dulu terusir dari kampung halamanku, putri kesayanganku terbunuh, pengikutku dibantai habis. Apakah suamimu mau tahu? Apa kamu dan anak-anakmu mau tahu?"
Tampak wajah layu dan mata sayu yang menunjukkan keputusasaan luar biasa dalam diri perempuan itu. "Tapi Kanjeng juga sudah merampas Pendopo Emas dan membunuh banyak keluarga saya!" keluhnya lirih.
"Belum semuanya! Belum semuanya!"
Pertahanan perempuan itu pun goyah sehingga akhirnya tergeletak di lantai, tak sadarkan diri.
***
Malam yang sunyi membawanya keluar kamar, duduk bersandar pada kursi malas di taman. Bunga-bunga yang nampak sedang bermekaran itu menawarkan rasa persahabatan, apalagi dengan menebarkan bau harum, terasa mengundang kunang-kunang untuk datang bercengkrama.
Kebo Klebat berandai-andai menjadi kunang-kunang, lalu turut bermain bersama mereka. Mulut mereka komat-kamit, mendendangkan nyanyian tentang sejuta kerinduan.
'Jatuh hati padamu
merupakan anugerah terindah
tatkala kuncup senyummu merekah
bak permata semesta
tebarkan harum
di tiap kelopak bunga
aku bagai kunang-kunang
berharap bisa singgah
pada altar suci kelopakmu
yang berlimpah berkah surga
aku tak kan lelah terbang
dengan kepakan sayap ringan
walau penuh rintangan
demi tuk raih serbuk sari
titipan Sang Maha Kasih'
'selama mekar bunga tak lelah
tuk berderma kasih
selama itu pula
rahim bumi tempat cintaku bersemi
akan abadi'
Saat itu, dari jarak sekitar dua puluh meter, Kanjeng Wotwesi mengamati Klebat dengan perasaan iba. Ia bisa ikut merasakan kesepian yang sedang membelenggu hati cucunya itu. Satu-satunya orang yang paling dekat, Mbok Cipluk, telah ia renggut darinya. Ia harus memikirkan untuk mencari pengganti Mbok Cipluk.
Kebo Klebat telah banyak jasanya terhadap Kanjeng Wotwesi dan perkumpulan Intijiwo, telah terbukti ketika berkali-kali membantu menghancurkan para musuh.
Kakek yang sedang bernaung kegelapan itu mendadak tersentak saat mendengar cucu kesayangannya berujar seorang diri.
"Oh, kunang-kunang," seru Klebat, "Sudah berapa lama mondar-mandir menerjang kepekatan malam? Energi apa yang membuat kalian tak kenal lelah? Berterbangan hanya untuk sekadar bisa menjamah terang. Memperhatikan gerak-gerik kalian yang kian menggoda, menyaksikan ulah kalian yang nampak mengajak bercanda, cukup meredam kerinduan yang membara. Hai kunang-kunang, tolong sampaikan kepadanya! Batapa aku merindukannya!"
Karena jasanya yang amat besar itu, Sang Penguasa Lembah Gunung Pegat memberikan hadiah seorang puteri yang sangat cantik kepada cucu kesayangannya itu untuk dijadikan istri. Seolah-olah sebagai upah atas jasa-jasanya.
Namanya adalah Kencanawati, gadis cantik salah seorang putri saudagar terkenal dari Kotaraja Kerajaan Demak.
Saudagar terkenal itu bernama Abah Kastari, baru enam puluh lima tahun. Akan tetapi kerajaan bisnisnya sudah sedemikian menggurita. Sayangnya kesehatannya dari waktu ke waktu kian memburuk. Ia harus berpikir untuk mencari pengganti yang akan mengendalikan bisnisnya yang menjadi salah satu yang terbesar di Nusantara.
Di sebuah taman mewah di belakang rumah, ia kumpulkan keenam anaknya, yang semuanya perempuan. Ia ajak mereka bicara dari hati ke hati.
Bisnis terbesarnya adalah perkapalan. Hampir tujuh puluh lima persen kapal di pelabuhan-pelabuhan besar pesisir utara adalah miliknya. Ia merasa sudah terlalu tua dan kurang sehat untuk menghadapi dunia bisnis yang keras.
Masyarakat luas ramai membicarakan dan menebak-nebak siapa calon penerus bisnis Abah Kastari. Sang Legenda itu pasti tak ingin bisnis yang dirintisnya ambruk sepeninggalnya nanti.
Kelima dari enam anak perempuannya sudah menikah dan mereka tampaknya lebih memilih ikut suami mereka ketimbang menjalankan bisnis. Tinggal satu, Kencanawati, putri bungsu yang menjadi kandidat terkuat sebagai penggantinya.
Abah Kastari memberi tugas khusus kepada Kencanawati. Ini sekaligus test penentu untuk sang putri, apakah memang layak untuk menjadi pewaris dan penerus utama kerajaan bisnis itu.
"Tugas seperti apa itu, Abah?"
"Menjadi istri cucu tunggal Kanjeng Wotwesi!"
Tanpa perlu waktu lama untuk berpikir, Kencanawati menyatakan diri siap. Semua saudaranya terpana. Putri bungsu yang selama ini terkenal manja dan sekaligus pemberontak itu mau menjadi istri orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Sang Legenda tersenyum bahagia. Selaku tokoh yang sudah malang melintang di dunia bisnis, ia merasa telah berhasil mengamankan bisnisnya hingga sampai ke puncak tertinggi, melalui perjodohan putri kesayangannya dengan cucu Sang Legenda lain.
Semua itu tidak terlepas dari skenario Kanjeng Wotwesi dan orang-orangnya. Mereka sudah cukup lama mengincar Abah Kastari dan bisnisnya. Bisnis perkapalan merupakan bisnis yang sangat strategis di Nusantara, yang sebagian besar wilayahnya adalah lautan dengan sepuluh ribu lebih pulau.
"Abah jangan terlalu risau!" Kanjeng Wotwesi berkata dengan nada ceria, "Abah konsentrasi saja pada kesembuhan anda sambil terima uang yang sudah jadi bagian anda! Gampang sekali bukan?"
Kepada Kanjeng yang terhormat dan tampak arif bijaksana itu, yang memiliki perkumpulan terbesar di Jawa, dan dijuluki pendekar dan pengusaha terkaya di Nusantara, Abah Kastari dengan senang hati menjalin kerja sama, dan menyerahkan putrinya.
Kanjeng Wotwesi lantas mengangkat gelas ke atas dan berkata dengan semangat, "Abah Kastari, mari minum untuk persahabatan kita yang kekal selamanya!"
Pernikahan tanpa cinta antara Kebo Klebat dan Kencanawati binti Kastari berlangsung dengan sangat meriah. Pesta besar-besaran laksana putra-putri kerajaan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.
Di masa itu, perjodohan adalah hal yang lumrah, meskipun banyak orang yang menduga bahwa perjodohan itu sesungguhnya adalah demi kepentingan bisnis kedua orang tua mereka.
Kebo Klebat melihat bahwa istrinya itu sangat cantik dan biar pun mukanya agak pucat, akan tetapi muka itu sungguh mempunyai daya tarik yang kuat. Tubuhnya langsing dan memiliki rambut hitam panjang yang terurai lepas sampai ke pinggul.
Klebat menyukai istrinya, namun nama Alya yang terpatri di dalam hatinya belum tergantikan. Meskipun sudah memiliki istri, kadang kala ia masih suka pergi ke warung di Jombang, untuk sekedar bisa mengamati gadis pujaan hatinya.
Kencana pun menyukai suaminya. Di samping sosok laki-laki itu sesuai dengan yang diidamankannya, gagah perkasa, juga karena dia adalah calon pewaris tunggal harta kekayaan yang melimpah. Harta kekayaan itulah yang lebih membuatnya jatuh cinta secepat kilat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H