Oleh: Tri Handoyo
Tujuh puluh lima persen lebih kekayaan Kanjeng Wotwesi dan Intijiwonya sebetulnya adalah dari hasil 'merampas'. Semua perusahaan besar tak akan luput dari radar pemantauan. Kini giliran 'Gajah Unggul' yang sedang dibidik.
Gajah Unggul adalah bisnis rintisan keluarga Ki Ageng Menak Simo, seorang pendekar yang juga pengusaha sejati. Dia sudah banyak mendengar tentang sepak terjang Intijiwo, oleh karenanya dia tidak mau perusahaannya bernasib sama seperti mereka yang telah menjalin kerja sama. Namun demikian, dia selalu mendapat bujukan dari anak-anaknya agar menerima tawaran Intijiwo untuk bekerja sama. Mereka sudah terlalu terhipnotis Kanjeng Wotwesi.
"Kalian pasti pernah dengar cerita perang Kyai Wotwesi melawan Ki Sutowo?" tanya Ki Ageng Menak kepada putra-putrinya, "Saat itu masyarakat di bawah pimpinan Kyai Wotwesi tiba-tiba sepakat bahwa aliran sesat ajaran Ki Suwoto akan membahayakan keimanan mereka dan oleh karenanya layak diperangi. Mereka siap berperang demi membela agama!"
"Mohon maaf, Romo!" sela Ki Songkok, anak tertua Ki Ageng Menak, "Lantas di mana letak kesalahan Kanjeng Wotwesi yang berniat memberantas kesesatan?"
"Dengar dulu, nanti akan tampak bahwa sebetulnya tujuannya itu tidak murni. Bagi Daha, Kyai Wotwesi adalah orang yang sangat ambisius terhadap kekuasaan. Jika kelompoknya kelak menjadi besar, tidak mustahil bisa membahayakan kedudukan Daha. Sementara bagi Demak, Ki Suwoto dianggap mengajarkan aliran sesat. Maka dari itu, Demak dan Daha tidak ambil pusing di saat kedua bela pihak itu sibuk saling bantai!"
Anak-anak itu mencoba menebak akan ke mana arah pembicaraan ayah mereka. Mereka berusaha menunggu dengan sabar.
"Sementara saat para pendekar dan para pendukungnya saling menghancurkan, pihak Kerajaan Daha akan bebas mengeruk dan menikmati sumber daya alam tanpa mendapat gangguan. Jadi ada analisa yang mengatakan bahwa pendekar-pendekar itu memang sengaja dibenturkan! Isu soal agama hanya pengelabuhan!"
"Lantas apa hubungannya dengan kita, Romo?" tanya anak yang lain. "Kita kan akan bekerja sama, bukan mau berkelahi?"
"Makanya dengar dulu. Sabar..! Dua puluh tahun lebih setelah terjadinya konflik rekayasa itu, Kyai Wotwesi masih menyimpan dendam untuk menghancurkan anak keturunan Raden Sutowo. Akan tetapi, mereka mengajak kerjasama, tapi itu hanya perangkap. Apakah kita mau nanti bernasib seperti Pendopo Emas?"
"Maaf, Romo, tapi Wotwesi yang dulu berbeda dengan Kanjeng Wotwesi sekarang. Jaman sudah berubah. Bahkan pihak Kerajaan Demak pun mulai membangun kerja sama dengan Intijiwo!"
"Banyak juga penjahat jadi pengikut Intijiwo!"
"Tentu saja, Romo. Orang besar seperti Kanjeng Wotwesi selalu punya banyak pengikut. Kami tidak takut akan macam orang-orang jahat seperti itu. Kita juga punya banyak anak buah. Kalau menghabisi Kanjeng saja kita sebetulnya mampu, kenapa mesti takut kepada pengikutnya?"
Pertemuan keluarga besar itu dilakukan di rumah Ki Ageng, di ruang keluarga yang dikelilingi perabotan-perabotan mewah. Dari singgahsana kesayangannya, Ki Ageng menegaskan, "Kalian bukan penakut, tapi kekanak-kanakan! Kanjeng Wotwesi itu punya cucu berjuluk Iblis Muka Gedek, dan kalau dia muncul, kalian semua jadi satu pun tak akan ada peluang menang! Ki Genuk Gluduk dan Laskar Cabaknya yang hebat saja dibabat habis!"
Itu bukan topik pembicaraan yang suka didengar oleh putra-putra Ki Ageng Menak. Topik negatif yang cenderung melemahkan semangat. "Romo cenderung tidak mempercayai kami dan suka merendahkan kami!"
"Songkok," kata Ki Ageng sedikit letih, "Kau rupanya belum mengerti. Ketika Intijiwo berhadapan dengan Pendopo Emas, Banyak pengamat yang berspekulasi kalau Intijiwo kena batunya. Karena lawannya saat itu adalah Ki Suncoko yang didukung Ki Genuk Gluduk, pendekar paling sakti di Blora. Tapi yang terjadi ternyata sebaliknya. Ki Suncoko dan Pendopo Emas yang kini lenyap dari muka bumi!"
Banyak yang tidak tahu bahwa prestasi terbesar Intijiwo sebetulnya bukan 'perampasan' Pendopo Emas. Tapi karena kasus itu memang jauh lebih mengguncang dunia persilatan, maka kasus lainnya nyaris tidak terdengar.
***
Pada suatu pagi, Ki Ageng Menak tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Sakit anehnya itu semakin hari semakin parah dan beliau pun akhirnya meninggal sebulan kemudian.
Operasi yang menyebabkan tewasnya Ki Ageng Menak bukanlah upaya pertama yang dilakukan oleh Intijiwo. Pada tahun sebelumnya, satuan tim telah ditugaskan untuk membunuh pengusaha paling kaya raya di bagian barat Jawa itu, tetapi operasi itu dibatalkan pada menit-menit terakhir. Diduga saat itu Ki Ageng Menak sudah mulai melunak akibat bujukan anak-anaknya.
Setelah lewat setahun lebih, rupanya sikapnya tetap gigih menolak kerja sama dalam bentuk apapun dengan Intijiwo. Dia bahkan mulai mendapat perlindungan sangat ketat.
Namun kali ini Kanjeng Wotwesi mencoba cara halus. Dia menatap boneka jerami sambil mulutnya membaca mantra, lalu boneka itu ditenggelamkan dalam kuali berisi genangan darah segar. Dari ribuan kilometer jauhnya, ahli ilmu hitam itu menarik boneka keluar, lalu memasukan ke wadah penuh lintah. Dengan lembut lintah-lintah berebut msuk ke dalam jerami. Itu yang membuat kematian Ki Ageng seolah karena sakit keras.
Empat puluh hari setelah kejadian itu, Ki Dewan mendatangi keluarga Ki Ageng Menak untuk memulai berinvestasi di perusahaan Gajah Unggul. Bagi Intijiwo, itu adalah investasi strategis yang sangat penting untuk melebarkan sayap di wilayah barat.
Dari kerja sama itu, Intijiwo belajar banyak soal seluk beluk memanfaatkan koneksi dengan pemerintahan untuk kepentingan perusahaan. Dengan cara jauh lebih halus dan cerdas daripada kebanyakan perusahaan, yang umumnya meminta proyek kemudian membagibagi hasil jarahan melalui korupsi.
Singkat cerita, proses selanjutnya adalah menuliskan perubahan akta perusahaan, surat itu lalu disahkan oleh pejabat berwenang dan dilaporkan kepada kehakiman di pemerintahan pusat. Kemudian Intijiwo membayar sepuluh persen uang muka kerja sama. Sisanya akan dibayar di kemudian hari.
Seperti yang terjadi dengan Pendopo Emas, sisa pembayaran tidak pernah dilunasi. Setiap kali Ki Menak Songkok menagih akan selalu memicu pertengkaran antara dirinya dan pihak Intijiwo.
Pertanyaan kebanyakan orang adalah kenapa Intijiwo tidak ditendang keluar lantaran tidak mau melunasi hutangnya. Rupanya itulah celah hukum yang dilihat Kanjeng Wotwesi. Apabila perubahan akta sudah mendapat persetujuan kehakiman, membayar satu persen pun sudah menjadikan perjanjian itu sah. Kekurangannya dilaporkan sebagai hutang kepada perusahaan. Yang penting, kedudukan Intijiwo sebagai pemegang saham tidak dapat diganggu gugat.
Tidak butuh waktu lama bagi Kanjeng Wotwesi untuk menyerap semua ilmu dari rekannya. Bahkan ia kemudian lebih cerdik. Ia menyusupkan orang-orangnya di pemerintahan, sehingga bisa mendorong agar mengesahkan aturan sesuai dengan kebutuhan bisnisnya. Itu juga membuat pejabat setempat tutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, sehingga bisa terus berjalan tanpa ada tindakan hukum. Kemudian yang penting lagi, bisa mendapat bocoran informasi rahasia negara.
Pertengkaran demi pertengkaran yang sengaja diciptakan intijiwo membuat perusahaan berjalan terseok-seok. Mereka mengalami kesulitan uang sampai akhirnya tidak mampu menggaji para karyawan. Kemudian sudah bisa ditebak, perlahanlahan Gajah Unggul yang dirintis Ki Ageng Menak dengan susah payah itu ambruk. Seambruk-ambruknya.
Tidak berselang lama, Intijiwo mendirikan perusahaan sejenis, dan menjadi penguasa tunggal di seluruh Jawa. Keluarga Ki Menak terlambat menyadari bahwa mereka sudah dipecundangi sedemikian rupa.
***
"Di Jombang banyak sekali artefak peninggalan Raja Mpu Sindok dan Raja Airlangga!" Dengan cepat topik berikutnya disampaikan Mbah Kucing, "Sepeninggal saya nanti, kalianlah yang berkewajiban melestarikan semua itu agar anak cucu kita kelak tetap mengenal sejarah leluhurnya!"
Semua masih terdiam, seperti diamnya pepohonan yang tampak samar-samar. Tempat sederhana yang diterangi cahaya bulan itu didekap halimun tipis yang lambat merayap.
Mbah Kucing kemudian mempersilakan Mpu Wicak sebagai orang yang paling paham tentang sejarah untuk memaparkannya.
Mbah Kadir menelusuri jejak leluhur dengan ketajaman mata batinnya dan konon ia memiliki kemampuan berdialog dengan ruh para leluhur. Sementara Mpu Wicak bertugas mengumpulkan bukti-bukti dari artefak, prasasti, dan kitab-kitab kuno. Mereka adalah tim yang saling melengkapi.
"Di antara peninggalan Mpu Sindok," papar Mpu Wicak, "Yaitu prasasti Poh Rinting di Desa Glahan Kecamatan Perak, prasasti Geweg di Kecamatan Peterongan. Kemudian prasasti peninggalan Airlangga yang berada di Kecamatan Kudu. Yakni prasasti Munggut di Dusun Sumbergurit, prasasti Kasumbyan di Dusun Grogol, keduanya di Desa Katemas, serta prasasti Sendang Made di Desa Made. Semua itu sebagai bukti akan keberadaan Jombang jauh sebelum munculnya Majapahit."
Sekitar tahun 929 Masehi, Raja Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Hal itu diduga akibat terjadi letusan Gunung Merapi, selain ada juga pendapat yang mengatakan sebagai akibat serangan dari kerajaan lawan.
Beberapa literatur menyebutkan pusat kerajaan yang baru ini terletak di Watugaluh Jombang. Hasil dari bertapa memberi wangsit agar memilih Jombang karena memiliki posisi yang sangat strategis. Pusat kota Jombang memiliki ketinggian 44 meter di atas permukaan laut, jauh dari gunung berapi, jauh dari samudera, sehingga potensi bencana alam pun sangat rendah.
Mpu Sindok kemudian digantikan oleh Sri Isyana Tunggawijaya (947-985 M), kemudian digantikan oleh Dharmawangsa (985-1006 M). Pada tahun 1006, Sekutu Sriwijaya, Raja Wura Wuri, menghancurkan ibukota kerajaan Mataram dan menewaskan Raja Dharmawangsa.
Awal cerita, Airlangga yang merupakan seorang pangeran dari Bali sedang menggelar pernikahan dengan putri Dewi Sekarwati yang merupakan anak dari pamannya, Prabu Dharmawangsa. Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba terjadi serangan hebat dari Raja Wura-Wuri. Sang pengantin berhasil menyelamatkan diri dan lari ke pedalaman hutan belantara di Kudu. Airlangga ditemani Mpu Narotama, orang kepercayaannya dan beberapa prajurit serta para dayang.
Mereka bersembunyi kurang lebih selama tiga tahun di Sendang Made, menyamar menjadi rakyat biasa yang bekerja sebagai pembuat kerajinan, dan sesekali berprofesi sebagai grup kesenian keliling.
Airlangga punya kebiasaan melakukan nyepi di sendang. Aktivitas nyepi ini dilakukan dengan mandi berendam dalam sendang. Bisa jadi, setelah mandi beliau tampak bersih dan segar, sehingga penampilannya semakin menarik dan semakin laris sebagai seniman keliling. Masyarakat kemudian meyakini bahwa dengan melakukan ritual itulah maka akan laris tanggapan seperti yang terjadi pada Airlangga. Selain itu harapan dan cita-cita Airlangga juga terkabul. Dari kisah itulah akhirnya muncul tradisi kungkum yang digelar setiap tahun pada bulan Suro.
Orang yang ingin peningkatan dalam karirnya segera terwujud, atau dalang yang ingin semakin terampil dalam memainkan lakonnya, banyak yang mengikuti ritual tersebut. Sedangkan bagi para sinden melakukan ritual itu karena berharap suaranya bisa semerdu istri Sang Prabu Airlangga yang juga dikenal dengan nama Galuh Sekar Kedaton, yang berperan menjadi 'biduan' saat dalam penyamaran.
Setelah tiga tahun kemudian, Airlangga berhasil menghimpun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan yang telah runtuh. Ia mendirikan Kerajaan Kahuripan, yang kelak wilayahnya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali.
Bukti petilasan Prabu Airlangga dapat dijumpai dalam prasasti Munggut yang bertuliskan huruf Jawa kuno (tahun 1022 M). prasasti itu mengungkapkan, diantaranya tentang hak istimewa warga desa bebas dari pajak karena jasa-jasa mereka.
Tari Remo merupakan tarian yang diciptakan untuk melukiskan perjuangan Prabu Airlangga di medan pertempuran saat bertempat di Jombang. Tari yang memiliki beberapa filosofi yang terkandung dalam gerakan-gerakannya, misalnya gerakan 'gedrug' yang menghentak bumi, merupakan simbol kesadaran manusia terhadap kehidupan yang harus bisa berdamai dengan alam.
Tarian Remo diperankan oleh seorang laki-laki yang menggambarkan sosok pangeran yang gagah berani. Sehingga sisi keperkasaan dan kegagahan seorang kesatria sangat ditonjolkan.
"Salah satu prasasti di Desa Katemas juga menyebut nama Madander," imbuh Mpu Wicak, "Nah, nama Madander itulah yang diyakini sebagai nama Dusun Bedander, Desa Sumbergondang Kecamatan Kabuh. Tempat itulah yang dijadikan Mahapatih Gajah Mada menyenbunyikan Raja Jayanegara saat terjadi pemberontakan Ra Kuti!"
Mbah Gendam menimpali, "Saya tahu cerita itu, Mahapati Gajah Mada saat itu mengirim telik sandi ke pusat Kota Trowulan untuk melihat situasi. Pemuda yang ditugaskan itu hanya diberi waktu setengah hari untuk memberikan laporan. Kalian tahu siapa Si Telik Sandi yang mendapat tugas itu?"
"Siapa?"
"Beliau adalah Mbah Kucing!"
"Oh..!" seru beberapa orang nyaris bersamaan.
"Maaf, kembali ke masalah Kanjeng Wotwesi, menurut Mbah Kadir, mungkinkah dia kelak akan mendirikan kerajaan untuk menyaingi Demak?" tanya Pendekar Ingusan kekanak-kanakan. "Beberapa saksi mata bilang dia memiliki gudang penuh berisi tumpukan emas batangan! Dia lebih kaya dibanding Demak!"
"Kalau dibiarkan terus menipu orang dengan sihirnya, bukan mustahil lama-lama dia bisa mendirikan kerajaan!" jawab Mbah Gendam, "Benar-benar tanda kiamat sudah mendekati bumi Nusantara!"
"Saya mendapat wangsit bahwa kelak bangsa ini akan dijadikan budak oleh bangsa asing. Itu yang lebih mirip kiamat bagi Nusantara!" Tidak ada alasan untuk tidak mempercayai seseorang yang hidupnya adalah pengabdian total kepada Sang Pencipta.
"Benarkah?" tanya Mbah Gendam sedikit gusar, "Pasukan Mongol yang paling menakutkan di seluruh dunia saja kapok untuk mencoba menaklukan Nusantara. Seperti dulu di masa Raden Wijaya. Tanah Nusantara hanya akan menjadi kuburan bagi penjajah yang berani menginjakan kakinya di sini!"
Mbah Kadir tersenyum getir mendengar itu dan berpaling ke Mbah Kucing. Dia yakin Mbah Kucing memiliki firasat yang sama mengenai itu, hanya saja mungkin dia enggan untuk mengungkapkannya.
Mbah Gendam ikut mengalihkan pandangan matanya ke Mbah Kucing, penuh tanda tanya.
Mbah Kucing menganggukkan kepala dengan sikap prihatin. "Wangsit yang diterima Mbah Kadir insyaallah tidak salah!"
"Bangsa dari mana mereka?" tanya Pendekar Sinting.
"Sepertinya mereka dari barat. Bangsa kulit putih!" jawab Mbah Kadir datar.
"Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Bagaimana bangsa kelas kambing saja bisa mengacak-acak nusantara yang dihuni para Harimau ini? Apalagi menjadikan anak-anak keturunan kita sebagai budak mereka!"
Sambil menundukan kepala, Mbah Kadir melanjutkan, "Ketika Nusantara masih dipimpin oleh para Raja, berdarah para ksatria sejati, dengan bersenjatakan pusaka yang dibuat para mpu, didampingi para pasukan berani belapati demi bangsa dan negara, Nusantara begitu jaya dan termasyur di seluruh jagad raya!" Ia tertunduk, "Mbah Gendam benar. Nusantara adalah negeri para Harimau! Negeri para petarung ulung!"
Setelah hening beberapa saat, Mbah Kadir mengangkat kepala dan melanjutkan, "Akan tetapi, saat orang-orang yang merasa paling suci menguasai negeri ini, mengkafir-kafirkan nenek moyangnya, menuduh leluhurnya penyembah pohon dan batu, menganggap sesat mereka yang melestarikan adat-istiadat dan budayanya, bangsa ini mulai kehilangan jati diri, dan saat itulah malapetaka datang. Saat itu organisasi pedagang sekelas kambing saja, seperti yang dibilang Mbah Gendam, mampu menduduki dan mengacak-acak Nusantara. Peninggalan leluhur akan dicuri dan kekayaan alamnya dijarah habis-habisan! Bangsa Harimau ini telah tunduk dan menjadi budak bangsa Kambing!"
Mereka semua terdiam merenungi nasib Nusantara di kemudian hari yang begitu memprihatinkan itu.
"Setelah dijajah cukup lama, bangsa ini akhirnya akan kembali terhubung dengan kejayaan leluhurnya di masa lampau. Kembali bangkit. Kelompok yang selalu menimbulkan keretakan sesama anak bangsa, yang berniat merobohkan tiang-tiang persendian kehidupan, dan menggiring bumi Nusantara menuju kiamat, pada akhirnya dapat disingkirkan. Akan hadir kelompok yang akan selalu menjaga dan merawat Nusantara. Saat itu sudah menjadi kehendak Gusti Allah, bangsa ini akan kembali hebat hingga menjadikannya layak disebut surga dunia!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H