Namun kali ini Kanjeng Wotwesi mencoba cara halus. Dia menatap boneka jerami sambil mulutnya membaca mantra, lalu boneka itu ditenggelamkan dalam kuali berisi genangan darah segar. Dari ribuan kilometer jauhnya, ahli ilmu hitam itu menarik boneka keluar, lalu memasukan ke wadah penuh lintah. Dengan lembut lintah-lintah berebut msuk ke dalam jerami. Itu yang membuat kematian Ki Ageng seolah karena sakit keras.
Empat puluh hari setelah kejadian itu, Ki Dewan mendatangi keluarga Ki Ageng Menak untuk memulai berinvestasi di perusahaan Gajah Unggul. Bagi Intijiwo, itu adalah investasi strategis yang sangat penting untuk melebarkan sayap di wilayah barat.
Dari kerja sama itu, Intijiwo belajar banyak soal seluk beluk memanfaatkan koneksi dengan pemerintahan untuk kepentingan perusahaan. Dengan cara jauh lebih halus dan cerdas daripada kebanyakan perusahaan, yang umumnya meminta proyek kemudian membagibagi hasil jarahan melalui korupsi.
Singkat cerita, proses selanjutnya adalah menuliskan perubahan akta perusahaan, surat itu lalu disahkan oleh pejabat berwenang dan dilaporkan kepada kehakiman di pemerintahan pusat. Kemudian Intijiwo membayar sepuluh persen uang muka kerja sama. Sisanya akan dibayar di kemudian hari.
Seperti yang terjadi dengan Pendopo Emas, sisa pembayaran tidak pernah dilunasi. Setiap kali Ki Menak Songkok menagih akan selalu memicu pertengkaran antara dirinya dan pihak Intijiwo.
Pertanyaan kebanyakan orang adalah kenapa Intijiwo tidak ditendang keluar lantaran tidak mau melunasi hutangnya. Rupanya itulah celah hukum yang dilihat Kanjeng Wotwesi. Apabila perubahan akta sudah mendapat persetujuan kehakiman, membayar satu persen pun sudah menjadikan perjanjian itu sah. Kekurangannya dilaporkan sebagai hutang kepada perusahaan. Yang penting, kedudukan Intijiwo sebagai pemegang saham tidak dapat diganggu gugat.
Tidak butuh waktu lama bagi Kanjeng Wotwesi untuk menyerap semua ilmu dari rekannya. Bahkan ia kemudian lebih cerdik. Ia menyusupkan orang-orangnya di pemerintahan, sehingga bisa mendorong agar mengesahkan aturan sesuai dengan kebutuhan bisnisnya. Itu juga membuat pejabat setempat tutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, sehingga bisa terus berjalan tanpa ada tindakan hukum. Kemudian yang penting lagi, bisa mendapat bocoran informasi rahasia negara.
Pertengkaran demi pertengkaran yang sengaja diciptakan intijiwo membuat perusahaan berjalan terseok-seok. Mereka mengalami kesulitan uang sampai akhirnya tidak mampu menggaji para karyawan. Kemudian sudah bisa ditebak, perlahanlahan Gajah Unggul yang dirintis Ki Ageng Menak dengan susah payah itu ambruk. Seambruk-ambruknya.
Tidak berselang lama, Intijiwo mendirikan perusahaan sejenis, dan menjadi penguasa tunggal di seluruh Jawa. Keluarga Ki Menak terlambat menyadari bahwa mereka sudah dipecundangi sedemikian rupa.
***
"Di Jombang banyak sekali artefak peninggalan Raja Mpu Sindok dan Raja Airlangga!" Dengan cepat topik berikutnya disampaikan Mbah Kucing, "Sepeninggal saya nanti, kalianlah yang berkewajiban melestarikan semua itu agar anak cucu kita kelak tetap mengenal sejarah leluhurnya!"