Semua masih terdiam, seperti diamnya pepohonan yang tampak samar-samar. Tempat sederhana yang diterangi cahaya bulan itu didekap halimun tipis yang lambat merayap.
Mbah Kucing kemudian mempersilakan Mpu Wicak sebagai orang yang paling paham tentang sejarah untuk memaparkannya.
Mbah Kadir menelusuri jejak leluhur dengan ketajaman mata batinnya dan konon ia memiliki kemampuan berdialog dengan ruh para leluhur. Sementara Mpu Wicak bertugas mengumpulkan bukti-bukti dari artefak, prasasti, dan kitab-kitab kuno. Mereka adalah tim yang saling melengkapi.
"Di antara peninggalan Mpu Sindok," papar Mpu Wicak, "Yaitu prasasti Poh Rinting di Desa Glahan Kecamatan Perak, prasasti Geweg di Kecamatan Peterongan. Kemudian prasasti peninggalan Airlangga yang berada di Kecamatan Kudu. Yakni prasasti Munggut di Dusun Sumbergurit, prasasti Kasumbyan di Dusun Grogol, keduanya di Desa Katemas, serta prasasti Sendang Made di Desa Made. Semua itu sebagai bukti akan keberadaan Jombang jauh sebelum munculnya Majapahit."
Sekitar tahun 929 Masehi, Raja Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Hal itu diduga akibat terjadi letusan Gunung Merapi, selain ada juga pendapat yang mengatakan sebagai akibat serangan dari kerajaan lawan.
Beberapa literatur menyebutkan pusat kerajaan yang baru ini terletak di Watugaluh Jombang. Hasil dari bertapa memberi wangsit agar memilih Jombang karena memiliki posisi yang sangat strategis. Pusat kota Jombang memiliki ketinggian 44 meter di atas permukaan laut, jauh dari gunung berapi, jauh dari samudera, sehingga potensi bencana alam pun sangat rendah.
Mpu Sindok kemudian digantikan oleh Sri Isyana Tunggawijaya (947-985 M), kemudian digantikan oleh Dharmawangsa (985-1006 M). Pada tahun 1006, Sekutu Sriwijaya, Raja Wura Wuri, menghancurkan ibukota kerajaan Mataram dan menewaskan Raja Dharmawangsa.
Awal cerita, Airlangga yang merupakan seorang pangeran dari Bali sedang menggelar pernikahan dengan putri Dewi Sekarwati yang merupakan anak dari pamannya, Prabu Dharmawangsa. Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba terjadi serangan hebat dari Raja Wura-Wuri. Sang pengantin berhasil menyelamatkan diri dan lari ke pedalaman hutan belantara di Kudu. Airlangga ditemani Mpu Narotama, orang kepercayaannya dan beberapa prajurit serta para dayang.
Mereka bersembunyi kurang lebih selama tiga tahun di Sendang Made, menyamar menjadi rakyat biasa yang bekerja sebagai pembuat kerajinan, dan sesekali berprofesi sebagai grup kesenian keliling.
Airlangga punya kebiasaan melakukan nyepi di sendang. Aktivitas nyepi ini dilakukan dengan mandi berendam dalam sendang. Bisa jadi, setelah mandi beliau tampak bersih dan segar, sehingga penampilannya semakin menarik dan semakin laris sebagai seniman keliling. Masyarakat kemudian meyakini bahwa dengan melakukan ritual itulah maka akan laris tanggapan seperti yang terjadi pada Airlangga. Selain itu harapan dan cita-cita Airlangga juga terkabul. Dari kisah itulah akhirnya muncul tradisi kungkum yang digelar setiap tahun pada bulan Suro.
Orang yang ingin peningkatan dalam karirnya segera terwujud, atau dalang yang ingin semakin terampil dalam memainkan lakonnya, banyak yang mengikuti ritual tersebut. Sedangkan bagi para sinden melakukan ritual itu karena berharap suaranya bisa semerdu istri Sang Prabu Airlangga yang juga dikenal dengan nama Galuh Sekar Kedaton, yang berperan menjadi 'biduan' saat dalam penyamaran.