Ki Dewan dan Ki Jangkar bangkit dan mencium tangan Kanjeng Wotwesi, kemudian memperkenalkan tamu mereka. Kanjeng Wotwesi menyambut dengan ramah dan senang hati.
Raden Suncoko berasal dari keturunan bangsawan yang cukup kaya raya, tapi merasa kecil dibandingkan dengan Kanjeng Wotwesi.
Setelah cukup berbasa-basi, tuan rumah mengutarakan alasan kenapa mengundang Raden Suncoko. "Raden, wilayah Pendopo Emas milik Raden berada di lokasi yang sangat strategis. Oleh karena itu terus terang saya berminat membelinya!"
"Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya Kanjeng, tapi kami tidak menjualnya!" jawab Raden Suncoko kikuk.
"Sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan dengan sebaiknya!"
"Mohon maaf, Kanjeng!"
"Baiklah!" sambil menampakan senyum lebar, Kanjeng berkata, "Bagaimana kalau saya menawarkan kerja sama. Saya akan bangun lokasi bisnis di tempat anda dan kita bagi sama rata hasilnya? Bagaimana Raden?"
"Hmm.., tapi saya tidak bisa mengurus bisnis. Jadi tidak ingin repot. Saya ingin menikmati sisa umur ini dengan santai saja. Sekali lagi mohon maaf, Kanjeng!"
"Wah itu tidak tepat, Raden. Saya tahu Raden punya lima belas saudara kandung. Harus dipikirkan jika suatu saat nanti mereka akan meminta pembagian harta warisan. Pasti itu. Jika sekarang bukan mereka, pasti anak cucu mereka kelak yang akan menuntut. Jadi apa yang anda sebut menikmati sisa umur dengan santai itu kurang tepat! Betul tidak?"
"Iya betul juga, Kanjeng!"
"Bagaimana kalau begini saja, Raden, wilayah Pendopo Emas itu saya perkirakan setara dengan nilai sepuluh ribu kilogram emas. Saya akan memberikan seribu batang emas yang masing-masing seberat satu kilogram sebagai uang muka kepada anda. Nanti biar saya yang akan membangun tempat-tempat pusat belanja lengkap dengan penginapan, rumah makan, tempat rekreasi, dan lain-lain. Keyakinan saya, kalau nanti sudah jadi, aset itu nilainya akan menjadi seratus ribu kilogram emas. Setelah dipotong modal saya, sisanya akan kita bagi sama rata. Pendapatan dari kerja sama ini bisa dinikmati Raden sampai anak cucu selamanya!"