Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (104): Tugas Suci

6 November 2024   05:10 Diperbarui: 7 November 2024   20:22 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Ki Dewandaru dan Ki Jangkar diam terpaku, menatap nanar bangunan yang dulu begitu megah. Kini bangunan itu tampak kumuh dan mengalami banyak kerusakan. Tanaman-tanaman suplir liar berkecambah di beberapa bagian dinding teras rumah, di mana dahulu Ki Wiryo biasa mengawasi ratusan anak buahnya berlatih silat. Terasnya saja terkesan angker, apalagi di bagian dalam rumah.

Ki Wiryo Kertosastro, lelaki tua renta itu sudah tidak lagi dianggap masyarakat sebagai bangsawan terhormat. Walaupun masyarakat cenderung benci karena reputasi jahat yang disandangnya selama ini, tapi masih ada juga beberapa orang yang merasa prihatin.

 "Beliau dianggap orang yang tidak waras!" ujar salah seorang mantan pembantu.

Ki Wiryo nyaris memiliki semua kemewahan dalam kehidupannya, namun kehidupan telah mengambil satu per satu orang yang dicintainya. Saat tak menjabat lagi sebagai penguasa kademangan, ia kemudian kehilangan rasa percaya diri dan secara perlahan merusak mentalnya. Suatu kejadian yang sangat lumrah di jaman yang penuh kekacauan.

Segera sesudah kegilaannya, para pembantunya pun pergi. Akan tetapi karena mereka kebanyakan orang asli Jombang, masih ada yang kadang rindu untuk berkunjung. Apabila singgah, mereka membersihkan teras, menyapu pekarangan, dan dengan cara-cara lain yang cukup untuk sedikit upaya memelihara rumah kuno itu. Mereka senang istirahat sambil mengobrol di teras. Mengenang masa-masa muda dulu.

"Ki Wiryo sekarang mengembara ke desa-desa, maaf, seperti pengemis!" papar mantan pembantu itu.

"Jalannya pun sudah tidak normal!" timpal yang lain, "Seluruh tubuhnya menjadi tersiksa oleh rasa sakit dan beliau kehilangan semua rambutnya. Dalam penderitaan total, sampai akhirnya kehidupan mengambil semua akal sehatnya!"

Ki Dewan dan Ki Jangkar mendengar cerita itu dengan perasaan tak karuan. Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa di usia tuanya, Ki Wiryo akan mengalami nasib sedemikian menyedihkan.

"Barangkali kematian akan lebih baik baginya!" celetuk Ki Jangkar, dan sepertinya semua yang mendengarnya sepakat.

"Ini semua gara-gara Lintang dan Ki Demang Japa," geram Ki Dewan menyiratkan dendam. "Kedua orang itu memfitnah Ki Wiryo hingga jatuh dari jabatannya!"

"Dewata agung tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan menerima balasan!" timpal Ki Jangkar sok relijius.

"Kita yang akan membalasnya!" tegas Ki Dewan, "Pasti akan kita balas, dengan bantuan Kanjeng Wotwesi tentunya!"

Arya Dewandaru, mantan komandan Pasukan Alap-alap Kerajaan Daha itu telah mendapat bantuan dari Ki Wiryo untuk menghimpun sisa-sisa pasukannya. Setelah Daha dikalahkan Demak, pasukan itu terpaksa harus berpencar untuk menyelamatkan diri. Sayangnya kekuatan baru yang disokong Ki Wiryo itu hanya berumur pendek, karena penyamaran mereka dibongkar dan kemudian dihancurkan oleh Lintang Kejora.

Ki Dewan dan Ki Jangkar ditangkap. Mereka dibawah ke pusat pemerintahan untuk dijatuhi hukuman penjara oleh Kerajaan Demak. Di tengah perjalanan dengan pengawalan sangat ketat, mereka berhasil mengelabuhi petugas dan kemudian melarikan diri. Setelah bebas, yang ada dalam pikiran mereka adalah balas dendam. Sampai akhirnya mereka mendengar tentang Kanjeng Wotwesi dan memutuskan untuk bergabung dan mengikuti ajarannya.

***

Di sebuah warung ayam bakar legendaris, seorang anak usia sebelas tahun tampak cekatan bekerja. Bergerak membersihkan meja-meja, merapikan kursi yang baru ditinggal pengunjung, dan membawa piring serta gelas kotor ke tempat cucian. Anak yang lincah dan ceria.

Ki Dewan mengamati anak itu dari tempat duduknya. Ia kemudian berbisik di dekat telinga Ki Jangkar. "Anak itu adalah bidak pertama kita untuk melampiaskan dendam!"

Ki Jangkar selalu mengagumi kecerdasan komandannya itu, "Bidak? Bagaimana caranya?"

"Lihat saja nanti!"

Anak kecil yang bernama Manggala itu sadar sedang diperhatikan. Mata mereka lalu bertatapan, dan sama-sama saling melempar senyum.

Ki Dewan kemudian memanggilnya, "Kamu Gala kan? Kalau sudah selesai, nanti ke sini ya. Saya ingin bicara!"

Gala mengangguk dengan santun. Saat itu sedang ramai pengunjung. Dia tak berhenti dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.

Akhirnya saat yang ditunggu datang. Ki Dewan mempersilakan Gala duduk di depannya dan mulai bercerita. "Kamu Gala putera tungal sepasang pendekar besar Mahesa Wijaya dan Ayu Lastri?"

"Benar. Apa Tuan mengenal kedua orang tua saya?"

"Sangat kenal! Mahesa adalah sahabat saya!"

"Tapi maaf, saya tidak pernah mengenal Tuan sebelumnya. Apakah Tuan dulu juga murid Mpu Naga?" Dia tak sedikit pun canggung, balik bertanya dengan percaya diri sebagai seorang anak yang terbiasa bercakap dengan orang dewasa.

"Ya betul! Kami sangat akrab, tapi saya kemudian pergi merantau, sampai mendengar kabar tentang ayahmu!" Ki Dewan menatap dengan pandangan penuh kasih sayang. "Kamu sangat mirip ayahmu, Nak!"

"Terima kasih, Tuan!"

Ketika mendapat pertanyaan kenapa bekerja di warung, Gala menjelaskan bahwa itu atas kemauannya sendiri. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, dia diangkat anak oleh Guru Lintang dan Guru Arum. Guru besar Padepokan Benteng Nusa itu memperlakukannya seperti anaknya sendiri, tapi ia ingin belajar mandiri. Ia sudah tidak terlalu berambisi untuk menjadi pesilat. Oleh karena itu ia melamar bekerja menjadi pembantu di warung.

"Saya sangat prihatin melihat nasibmu seperti ini, Gala!"

"Terima kasih. Tapi saya baik-baik saja!"

"Ya, syukurlah!" Lelaki setengah baya berwajah bijaksana itu menatap serius. "Sebetulnya ada rahasia maha penting yang ingin kami sampaikan mengenai kematian kedua orang tuamu. Tapi kami tidak sampai hati menyampaikannya!"

Gala dibuat sangat penasaran. Ia bertanya dengan antusias, "Sampaikanlah Tuan. Saya sangat suka mendengar cerita tentang orang tua saya!"

"Tapi ini berita buruk!"

"Tidak apa-apa. Tidak ada hal buruk yang melebihi kematian kedua orang tua saya!"

"Kamu benar-benar mewaris sifat ayahmu!" Setelah menarik nafas panjang, Ki Dewan mengatakan bahwa pembunuh kedua orang tua anak itu yang sesungguhnya adalah Lintang. Karena tidak ada yang mampu mengalahkan sepasang pendekar hebat seperti Mahesa dan Lastri, kecuali Lintang Pendekar Pedang Akhirat.

Gala terpaku di tempat duduknya. "Itu tidak mungkin!"

"Saya sudah menduga kamu pasti tidak akan mempercayainya!"

Siang itu Ki Dewan tidak hanya menemukan ayam bakar yang enak sekali, tapi juga menemukan sebuah mangsa yang empuk untuk dihasut. Dia bercerita bahwa Mahesa dan Lastri adalah murid generasi pertama Mpu Naga yang mewarisi jurus-jurus asli padepokan. Ketika sepasang suami-istri itu memutuskan keluar dari padepokan dan mendirikan padepokan silat sendiri, Lintang dan Arum merasa dikhianati. Apalagi perguruan baru pecahan Benteng Nusa itu mulai menjadi buah bibir di tengah masyarakat, karena dianggap jauh lebih baik dari perguruan yang lama. Banyak murid Lintang yang akhirnya keluar dan memilih bergabung ke perguruan baru itu.

"Masih ingatkah kamu, Gala? Ayah dan ibumu mengambil keputusan untuk keluar dari perguruan karena kamu nyaris mati saat berkelahi dengan Ghandi?"

"Saat itu kami hanya sedang berlatih. Saya sudah biasa bertarung melawan Mas Ghandi!"

"Benar. Latihan yang membuat tulang dadamu patah dan menusuk jantung. Tapi semua itu rekayasa, sebuah rencana jahat untuk menyingkirkanmu. Benarkah anak kecil bisa melakukan itu, kalau bukan sebuah rekayasa?"

Peristiwa itu terjadi saat Gala menginjak usia tujuh tahun. Sekitar empat tahun yang lalu, tapi masih segar dalam ingatannya bahwa ketika ia terjatuh setelah menerima tendangan kaki Raden Ghandi, ada orang dewasa yang memukul dadanya dengan sangat keras hingga dia pingsan. "Aku tahu siapa yang memukulku sampai aku pingsan, dan bukan karena tendangan kaki!"

"Betul, dan kamu pasti kaget kalau tahu bahwa orang itu melakukannya atas perintah Lintang. Keluarga mereka yang terhormat tentu tidak ingin melihat ada yang menyaingi putranya. Kamu sebenarnya lebih tangguh, lebih berbakat, sehingga dikhawatirkan kelak kamu yang akan mewarisi perguruan itu. Itu tidak boleh terjadi, makanya kamu harus disingkirkan sedini mungkin! Orang tuamu tahu itu, dan demi menyelamatkan nyawamu mereka memutuskan keluar dari padepokan!"

"Dari mana Tuan tahu semua ini?"

"Dari surat yang ditulis sendiri oleh sahabat terbaikku, Mahesa. Surat yang dikirim oleh seorang kurir itu aku terima tepat sehari sebelum peristiwa keji itu terjadi!"

Gala termenung memikirkan itu. Matanya mulai sedikit sembab.

"Orang tuamu adalah pendidik yang baik, guru yang berkepribadian tangguh, dan rendah hati. Dikhawatirkan kelak perguruannya akan mampu melahirkan pendekar-pendekar yang hebat. Itulah alasan kenapa perguruan baru, Benteng Sejati, harus diluluh-lantakan! Tapi pembunuh-pembunuh sadis itu tidak mampu menolak takdir bahwa yang maha kuasa melindungimu! Ayahmu sempat berniat menitipkanmu ke aku!"

Air mata Gala mulai menggenang. Terbayang, saat sekelompok orang datang menyerbu, ibu menyuruhnya bersembunyi di kandang ayam yang lumayan jauh di belakang rumah. Hujan deras dan petir mengiringi pembantaian itu. Keesokan harinya warga desa baru tahu bahwa padepokan baru itu telah rata dengan tanah. Guru dan semua muridnya tewas.

"Lalu dengan liciknya Lintang menuduh pelakunya adalah komplotan Wong Langit yang dipimpin Ki Kalong Wesi! Padahal kelompok itu adalah orang-orang yang sudah meninggalkan kehidupan duniawi!"

Gala merasa kepalanya pusing dan perutnya mual. Terlalu banyak realitas yang terasa sulit diterima akalnya.

Racun hasutan telah merasuk. Ki Dewan kemudian menawarkan bantuan kepada Gala untuk membalaskan dendam. "Orang tua angkatmu itu memiliki kitab pusaka, nah kamu harus bisa mencuri kitab yang berisi ajian-ajian sakti itu, untuk kamu pelajari dan kuasai agar nantinya mampu menandingi Lintang!"

"Kitab Pusaka Sakti Mandraguna!"

"Ya benar! Itu yang aku maksud. Kamu tahu di mana mereka menyimpannya?"

"Tidak, tapi aku bisa menduga di mana kitab itu disimpan!"

"Bagus!"

***

Di sebuah tempat rahasia, Ki Arya Dewandaru membawa Manggala ke tengah orang-orang yang diperkenalkannya sebagai anak buah. "Sebuah kesuksesan hanya dapat diperoleh dengan kemauan yang kuat!" paparnya, "Untuk meraihnya, segala cara boleh ditempuh, segala tipu muslihat boleh digunakan, dan tidak ada yang salah atau buruk! Bahkan mencuri pun tidak dilarang!"

Di dalam hati Gala sama sekali tidak setuju dengan pendapat itu, akan tetapi tidak mungkin bisa membantah. Contoh-contoh yang dipaparkan Ki Dewan yang diambilnya dari sejarah memang masuk akal. Remaja lugu itu tidak tahu bahwa itu semua adalah sejarah yang diputarbalikan. Akhirnya, dengan kepolosan pola pikirnya, Gala mulai meragukan ajaran yang menyatakan bahwa kebaikan tidak mungkin bisa ditempuh kecuali melalui jalan yang baik. Benih keburukan pasti akan menghasilkan pohon keburukan pula. Seandainya ajaran itu yang benar, kenapa semua anak buah Ki Dewan mengangguk-angguk menyetujui ketuanya itu?

Ki Dewan lantas meminta Gala berdiri di sampingnya dan memperkenalkan kepada teman-temannya. "Saudara-saudaraku semua, ini adalah Manggala putra Mahesa. Meskipun masih sangat belia, tapi contohlah tekadnya yang kuat dalam meraih kesuksesan!"

Ki Dewan menatap Gala tepat di matanya. "Gala, perjuangan yang akan kamu lakukan bukan hal yang kecil dan mudah. Itu perjuangan yang mulia. Berhati-hatilah dalam melaksanakan tugas mencuri kitab pusaka! Ini tugas suci!"

Gala melihat cincin pirus di jari tangan kanan Ki Dewan. Ia tahu itu seperti cincin yang dikenakan ayah angkatnya, Guru Lintang. Ia pernah mendengar bahwa salah satu khasiat batu pirus adalah untuk menyelaraskan semua chakra tubuh dan untuk meningkatkan penyelerasan antara dunia metafisik dan dunia fisik. Secara spiritual, batu itu juga dipercaya dapat membuka hubungan ke dunia roh.

Gala seolah-olah sedang berhadapan dengan ayah angkat yang sekaligus gurunya, dengan wajah serius dia berjanji, "Saya pasti akan melaksanakan tugas suci ini dengan sebaik-baiknya!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun