Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (102): Pusaka Pring Kuning

2 November 2024   05:59 Diperbarui: 2 November 2024   06:03 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Kebo Klebat mencintai ayahnya, Ki Kebo Dedet. Akan tetapi, lelaki yang sangat dikaguminya itu pergi ketika ia masih terlalu kecil. Klebat tak pernah mengerti mengapa ayahnya meninggalkannya, dan apapun alasannya soal itu tidak akan banyak berarti. Kubangan masa kelam yang kerap menenggelamkan gairah hidupnya, dan hanya kerinduan untuk mencari tahu ayahnya itulah yang membuat ia punya alasan untuk bertahan melanjutkan pengembaraan di muka bumi.

Saat dulu masih kecil, Ki Kebo Dedet pernah mengajaknya jalan-jalan ke dalam hutan belantara yang jauh dari rumah. Di tempat itu, supaya tidak ada orang yang melihat, mata lelaki yang mendapat julukan Pendekar Kalong Wesi itu berkaca-kaca. Klebat tak pernah melupakan adegan itu, setiap detailnya akan tetap abadi dalam benaknya.

"Nak, apa kamu melihat istana di depan kita?"

"Iya, aku lihat!" jawab bocah kecil itu dengan perasaan was-was, "Istana apa itu, ayah. Besar tapi sangat sepi! Gak ada orang sama sekali!"

"Istana itu memang kosong. Masuklah ke sana dan carilah sepotong bambu pusaka yang diletakan di singgasana! Ambillah dan bawa keluar!" ujar Ki Kalong Wesi sambil memeluknya erat-erat.

"Kenapa bukan Ayah sendiri yang mengambilnya?"

"Karena tidak semua orang bisa melihat istana itu. Ayah tidak bisa melihat. Kamu yang bisa melihatnya, Nak! Jadi hanya kamu yang bisa mengambil pusaka itu!"

"Untuk apa diambil?"

"Pusaka itu sudah tersimpan selama ratusan tahun di sana, dan siapa yang bisa memilikinya, dia bakal jadi pendekar besar!"

Pusaka yang dimaksud berupa bambu kuning sepanjang lima puluh sentimeter dan memiliki ros pendek-pendek. Di dunia paranormal pusaka itu disebut 'Pring Sambung Nyowo Junjung Drajad'. Bagi orang yang memiliki pusaka tersebut, maka bakal 'ora tedas tapak palune pandhe', artinya akan kebal terhadap segala jenis senjata. Pusaka itu dulunya pernah menjadi milik seorang Senopati era Mpu Sendok yang tinggal di Watugaluh, Jombang. Ki Kalong Wesi sebetulnya masih memiliki darah keturunan senopati tersebut. Itulah kenapa dia merasa berhak mewarisinya.

"Kamu tahu, Klebat," imbuh Ki Kalong Wesi, "Sudah banyak pendekar yang berusaha mengambilnya tetapi mereka semua gagal. Nah, ini kesempatan besar buat kamu agar kelak kamu menjadi pendekar hebat!"

Setelah mengikuti arahan ayahnya untuk bisa mengambil pusaka di dalam istana gaib itu, tidak lama berselang, Klebat keluar dengan membawa benda berupa tongkat pendek bambu kuning.

Dengan muka berseri-seri Ki Kalong Wesi bangkit dari duduknya dan menyambut anaknya, "Kamu hebat Klebat. Sini, berikan tongkat itu, Nak!"

"Tapi..." Klebat mencengkeramkan tangan kuat-kuat ke bambu itu dan menyembunyikannya di balik baju.

Ki Kalong Wesi tahu betapa sangat berharga pusaka itu. Namun ia tak pernah membayangkan bahwa anaknya akan menolak memberikannya. "Baiklah. Ayah hanya ingin memegangnya sebentar saja!"

"Itupun aku tidak mau!"

"Kenapa, Nak?"

"Karena jika aku berikan ke orang lain, aku akan mati!"

"Siapa yang bilang begitu!"

"Raja jin di dalam istana!"

"Kamu tidak mempercayai ayahmu?

Ki Kalong Wesi nyaris kehilangan akal sehat dan berniat merebut paksa pusaka itu. Ia memang sedang memanfaatkan anaknya untuk bisa memilikinya demi mewujudkan cita-citanya menjadi orang paling sakti di seluruh jagad raya. Meskipun ia tidak mungkin akan membunuh darah dagingnya sendiri. Tapi ia sadar, selama pusaka itu di dalam genggaman anaknya, tak seorang pun akan mampu mengambilnya. Ia pun mengalah. "Nak, dengar, mulai saat ini ayah akan pergi dan kita mungkin tidak akan bertemu lagi!"

"Kenapa?"

"Karena kamu tidak mempercayai ayahmu!"

"Raja jin tadi berpesan...!"

Sebelum Klebat sempat menguraikan penjelasan, tiba-tiba muncul orang-orang mengepung tempat itu.

Sebagai seorang pemimpin padepokan silat, tentu saja kakek Kyai Wotwesi segera mengirimkan orang-orangnya untuk mencari dan merebut kembali cucunya dari tangan Ki Kalong Wesi. Sekalipun semua muridnya sadar bahwa mereka bukan apa-apa dibanding pendekar sakti itu, tapi selama berpihak kepada kebenaran, mereka siap mati.

Puluhan orang termasuk Kyai Wotwesi sendiri bergerak mengacak-acak hutan tempat di mana Ki Kalong Wesi membawa lari Klebat. Untungnya mereka berhasil menemukan, dan melihat bocah kecil yang sedang mereka cari itu dalam keadaan baik-baik saja.

"Jangan coba-coba bertindak bodoh!" Kyai Wotwesi dengan sikap dingin memberi peringatan.

"Kamu mau mengancam? Ha..ha.., rupanya kamu meremehkan kekuatan ilmu silatku?"

"Aku tahu, tapi aku tidak akan pernah takut!"

Ki Kalong Wesi memang bukan seorang dewa. Ia hanya pendekar jahat yang sangat sakti. Kalau bertarung tanpa ada sedikit pun rasa emosi. Itu karena pengalaman bertarungnya jauh melampaui kebanyakan pendekar. Itu sebabnya Kyai Wotwesi dan pasukannya harus berfikir panjang untuk menghadapinya.

"Selama ini pertarungan mengajarkan bahwa semua itu semacam hiburan yang menyenangkan. Ha..ha..!" Tanpa menunggu lama lagi, Ki Kalong Wesi segera melampiaskan kemarahannya kepada orang-orang yang mengepungnya.

Seorang lelaki perkasa meluncur menyibak belukar, setengah melompat menuruni lereng. Kedua lengannya yang dilingkari gelang Akar Bahar mengayunkan golok ke arah kepala. Dengan sorot mata tajam menatap langsung kepada penyerang yang rapuh di hadapannya, Ki Kalong Wesi secepat kilat melancarkan tendangan. Tepat bersarang di dada. Lelaki perkasa itu terlempar cukup jauh, memuntahkan darah, lalu ambruk tidak bergerak lagi.

Lelaki lain yang bertubuh tinggi besar, terbungkus kulit binatang, menyusul mengirim serangan ganas dengan golok besar dan berat. Segala sesuatu pada dirinya bernada kerasnya perjuangan untuk hidup.

Ki Kalong Wesi membiarkan golok lawannya menyerangnya dua kali, dia pun mengerti bahwa lawan itu tidak dapat digolongkan sebagai seorang pendekar yang sudah matang. Karena itu dia pun ingin menghentikan perkelahian itu secepatnya. Pada waktu orang itu kembali hendak menyabetkan golok yang ke tiga kalinya, Ki Kalong Wesi sudah menyelinap ke samping dan tinjunya melayang ke arah leher dengan keras. Bug...! Orang itu tersungkur dan tidak pernah bangun lagi karena tulang lehernya patah.

Lelaki lain segera menyusul. Dengan teriakan keras ia mengangkat pedang hendak membacok, tapi tiba-tiba tubuhnya seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat. Pedangnya terhenti di atas kepala lalu terlepas dan jatuh. Kedua kakinya terkulai dan bertekuk lutut. Rupanya tinju kanan Ki Kalong Wesi telah memasuki dadanya dan meremas jantung. Lelaki itu pun roboh tanpa sempat berteriak lagi, matanya terbuka memandang kosong ke arah wajah pembunuhnya.

Kyai Wotwesi tidak tahan melihat semua itu. "Ini balasanmu kepada orang yang menerimamu sebagai menantu?" Ia memang sudah tua. Rambutnya sudah memutih semua. Tapi dia belum lamban. Masih sangat kuat dan ilmunya silatnya tidak bisa dianggap remeh.

"Ini balasanmu kepada orang yang tangannya dulu membantumu memperoleh kekuasaan?" timpal Kalong Wesi.

Mereka berdua sudah siap untuk saling melancarkan serangan maut, tapi kemudian seolah-olah ada energi besar yang membuat tubuh keduanya terpental.

"Berhenti!" suara lantang di sela isak tangis dari seorang bocah kecil membuat mereka berdua tersadar. Itulah energi besar yang tadi menahan mereka.

Ki Kalong Wesi berpaling kepada putranya. "Klebat, Ayah sangat mencintaimu. Jaga dirimu baik-baik!"

Hanya itu kalimat terakhir yang ia dengar dari mulut ayahnya. Dengan mata berkaca-kaca, Klebat menyaksikan ayahnya pergi dengan cepat. Mereka tidak pernah bertemu lagi untuk selamanya, dan baru belakangan tersiar kabar bahwa Ki Kalong Wesi telah tewas.

Klebat masih sering bermimpi tentang ayahnya. Ia protes kenapa dibiarkan dalam asuhan seorang kakek yang gila tata tertib dan aturan. Apabila Kyai Wotwesi berada di dekatnya, ia selalu khawatir akan melakukan kesalahan. Tidak pernah bisa merasa tenang.

***

Kyai Wotwesi, yang dipercaya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan para bangsawan Daha, pernah berjasa dalam menumpas pemberontakan Ki Atos. Ki Atos adalah seorang pemimpin sisa-sisa pasukan setia Prabu Brawijaya V yang menguasai wilayah utara Jawa.

Atas jasanya itu, Kyai Wotwesi kemudian dianugerahi oleh Prabu Girindra Dyah Ranawijaya sebidang tanah perdikan. Tanah tersebut terletak di sebelah timur Kali Lusi, yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Blora. Sungai Lusi bermata air di Pegunungan Kapur Utara (Rembang), mengalir dari barat dan akhirnya bergabung dengan Kali Serang. Pada musim kemarau, sebagaian besar wilayah itu merupakan daerah krisis air, terutama di daerah pegunungan kapur. Sementara pada musim penghujan, justru rawan banjir dan longsor. Dari situlah kata Blora berasal, yaitu dari kata 'belor' yang berarti lumpur, kemudian berkembang menjadi 'mbeloran', tapi akhirnya lebih dikenal dengan nama Mblora atau Blora.

Kyai Wotwesi dibantu para pengikutnya mendirikan perkampungan di atas lahan tersebut. Pada saat perang menumpas Ki Atos, ia mendapat bantuan dari Ki Kalong Wesi, maka ia menikahkan putrinya yang bernama Dewi Rayungwungu dengan Ki Kalong Wesi. Dari pernikahan itu lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Kebo Klebat.

Suatu ketika, Kyai Wotwesi memberanikan diri mengumumkan berdirinya kademangan, meskipun saat itu belum mendapat pengakuan dari Daha. Sejak saat itu, berturut-turut desa-desa di sekitarnya dapat dibujuk untuk bergabung. Ia berniat menyaingi Raden Sutowo yang menguasai sebagaian besar wilayah bagian barat Sungai Lusi, dan baru saja menyatakan diri sebagai penguasa di wilayah itu.

Kyai Wotwesi sengaja ingin bermusuhan dengan Raden Sutowo karena raden itu dengan tegas menyatakan tidak mengakui kerajaan Majapahit di bawah Prabu Dyah Ranawijaya. Raden Sutowo dengan tegas memutuskan berpihak ke Demak. Perang pengaruh mulai terjadi dan secara perlahan namun pasti, merembet menuju perang fisik.

Kyai Wotwesi mendapat informasi dan ia sangat mempercayainya, bahwa akan ada rencana penyerbuan pendopo Raden Sutowo dari pihak Demak. Itu dikarenakan ada desas-desus yang beredar luas bahwa Raden Sutowo telah mengajarkan aliran sesat. Itulah sebabnya Kyai Wotwesi dengan senang hati merasa wajib ikut memerangi kesesatan itu. Ia juga sangat yakin tindakannya itu bakal mendapat restu juga dari Daha, tentu saja karena Raden Sutowo dianggap makar kepada Prabu Dyah Ranawijaya.

Sesuai rencana, Kyai Wotwesi juga akan langsung disambut bantuan pasukan Adipati Jayakusuma dari Kadipaten Pesantenan (Pati). Sebab selama ini musuh-musuh Adipati Jayakusuma yang melarikan diri ke Blora mendapat perlindungan dari Raden Sutowo. Lengkap sudah. Apalagi ditambah dukungan dari pasukan Ki Genuk Gluduk, pihak ketiga yang cukup kuat pengaruhnya di Blora.

Siang itu, dengan badan tampak gagah dan berotot kuat, Kyai Wotwesi berkotbah di depan ratusan pengikutnya. Rambut, kumis dan alisnya yang telah memutih tampak menambah kewibawaannya.

"Kematian hanya sekali, maka pilihlah mati di jalan Allah!" suaranya menggelegar, "Mari kita gempur orang-orang sesat itu dengan jiwa gagah berani. Bukan dengan jiwa rapuh. Karena tidak ada balasan bagi para pembela agama Allah kecuali surga!"

Rencana pertempuran itu sudah ramai dan tajam dibicarakan jauh hari, Pertempuran paling akbar yang mempertaruhkan harkat dan martabat, antara Kyai Wotwesi yang agamis melawan Raden Sutowo yang spiritualis. Keduanya berebut untuk menjadi yang paling berpengaruh di wilayah itu.

Semangat pihak Kyai Wotwesi bertambah berkobar-kobar manakala dihembuskan informasi bahwa ratusan pasukan berkuda dan bersenjata lengkap tiga hari yang lalu sudah berangkat dari Daha menuju ke barat. Itu mereka anggap sebagai bagian dari rencana. Nantinya Blora akan langsung dikepung, dinyatakan dalam keadaan darurat. Lalu Ki Sutowo yang dituduh telah berkhianat akan ditangkap. Bahkan, ia dan pendukungnya pasti akan langsung dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan.

Seorang kepercayaan juga melaporkan bahwa ia melihat sendiri Pasukan Adipati Jayakusuma sudah mencapai perbatasan wilayah Blora. Sesuai rencana, pasukan itu yang nanti juga akan bergabung untuk menggempur Raden Sutowo.

Kyai Wotwesi memimpin langsung pergerakan pasukannya menuju pendopo. Setelah sekitar satu jam berhasil mengepung, sambil berteriak-teriak "Bunuh Ki Sutowo! Bantai para pengikutnya!" tapi mereka belum berhasil mendobrak pertahanan lawan.

Di belakang pagar, berdiri barisan pemuda berwajah ganas. Mereka semua menggenggam tombak, siap menancapkan ke dada siapa pun yang berani menerobos masuk. Tombak adalah senjata andalan mereka yang paling ditakuti para musuh. Di barisan belakang, Raden Sutowo dan pengikut setianya menggenggam pedang tinggi-tinggi, siap menebaskan ke leher musuh yang cukup nekad mendekat. Pasukan itu tidak berbicara sepatah kata pun. Itu berarti mereka bermaksud hanya berbicara dengan tombak. Ketegangan kian memuncak.

Dapat dimaklumi, Raden Sutowo memang sudah memiliki pengikut dari pelbagai lapisan masyarakat sejak seperempat abad terakhir, sehingga ketika Kyai Wotwesi memploklamirkan diri akan menyerangnya, itu langsung dianggap seperti kambing yang mengusik macan tidur. Para pengikut Raden Sutowo segera mempersiapkan diri menjawab tantangan itu. Gerombolan kambing dipersilakan menyerang, dimana sang raja hutan sudah menunggu dengan tidak sabar.

Kebanyakan pengikut Kyai Wotwesi memang berani menyerbu pihak Raden Sutowo karena tergiur oleh iming-iming surga dan jebakan isu palsu. Entah dari mana datangnya. Ternyata tidak ada dukungan pasukan yang disebut-sebut. Mereka kecewa. Semua rencana yang dihembus-hembuskan itu tidak pernah terjadi. Fanatik memang buta. Ternyata mereka kemudian bisa dipukul mundur oleh pasukan lain. Kini sudah lebih ratusan orang terbunuh, sementara puluhan sisanya terluka dan tertangkap.

Pihak Kyai Wotwesi telah kalah. Ia tahu betul itu. Ki Genuk Gluduk, yang dikiranya sekutu, ternyata telah bergabung dengan pasukan Ki Sutowo. Ketika diserang pasukan Ki Genuk, jalan pertempuran pun berubah. Kyai Wotwesi kemudian kehilangan satu per satu orang andalannya, Ki Ukasa, Ki Bongkil, dan Ki Subangkit. Maka sempurnalah kekalahannya.

Kyai Wotwesi tidak pernah tahu bahwa Ki Genuk Gluduk, orang yang dianggapnya sebagai komandan Komando Jihad itu, adalah salah seorang kepercayaan Raden Sutowo. Dia bahkan beberapa bulan sebelumnya tampak mondar-mandir di kediaman Raden Sutowo.

Pasukan berkuda dari Daha rupanya tidak menuju Blora. Tidak pernah sampai di Blora. Hanya dalam waktu setengah hari pertempuran sudah dapat dipastikan siapa yang sejak saat itu akan berkuasa penuh di tanah Blora. Dialah Raden Sutowo yang perkasa.

***

Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan dengan kencang, menembus kabut petang. Kyai Wotwesi yang duduk di tempat kusir memegang cambuk, sementara mukanya masih pucat dan diliputi kedukaan sangat mendalam.

Di kereta itu terdapat Kebo Klebat yang masih berumur lima tahun dan seorang pembantu bernama Mbok Cipluk. Sedangkan, ibu Klebat yang juga putri semata wayang Kyai Wotwesi telah tewas oleh serangan balik musuh. Bocah kecil itu tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk berkabung.

Namun, setelah memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah yang jalan tanah liatnya becek oleh air, kereta tidak bisa berlari cepat. Akibatnya terpaksa harus di tinggal.

Kyai Wotwesi diikuti sebelas orang pengikutnya melarikan diri menuju ke arah Lamongan. Beberapa jam kemudian, rombongan berkuda itu sudah berdiri di tepi lembah, menyaksikan lautan ilalang sudah berantakan terkulai terkena badai. Tidak tampak ada cahaya. Tidak ada rumah. Ternyata di situ pun banyak mayat bergelimpangan. Rupanya perang lain baru saja terjadi. Salah satu mayat tertusuk tombak tegak di antara rumput tinggi. Banyak kepala yang tergeletak aneh di atas bebatuan. Ada yang tertindih kuda yang mati. Hujan telah membasuh darah, dan dalam sinar terang bulan, mayat-mayat itu menggambarkan seolah satu pasukan besar telah disapu habis.

Mata mereka nanar menyaksikan pemandangan itu dengan sikap dingin. Waktu itu sudah hilang perasaan ngeri melihat mayat. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara gamelan, ditimpah suara jangkrik dan binatang lembah yang mistis.

"Ada suara gamelan!" seru seorang anak buah, "Biar saya ke sana, minta tolong pada mereka!"

"Apa kamu bilang?" tegur Kyai Wotwesi gusar. "Kamu sudah gila? Kamu bisa membuat kita semua terbunuh. Kita harus berhati-hati dan bersembunyi sampai keadaan benar-benar aman!"

Mbok Cipluk yang menggandeng Kebo Klebat dengan hati-hati bilang kepada Kyai Wotwesi, bahwa ia ingin membawa bocah kecil malang itu pulang ke kampung halamannya. Desa itu tidak begitu jauh dari tempat mengerikan itu.

"Kasihan Klebat, Kyai!" Mbok Cipluk memohon, "Tentu jika diperkenankan, saya ingin membawa dia pulang ke kampung saya! Kasihan anak sekecil ini harus ikut lari dalam pengejaran musuh!"

Purnama tanggal lima belas itu menandai kandasnya segala impian Kyai Wotwesi. Kini, bulan yang muram itu sedang memandang ke bawah, dari langit yang tak berawan. Mereka sadar, betapa berbahayanya berada di ruang terbuka, dalam cahaya bulan terang. Pergerakan mereka akan tampak dengan jelas dilihat oleh siapa pun yang sedang mencari musuh yang berkeliaran.

"Kamu benar! Baiklah, Mbok! Nanti setelah situasi aman kalian akan aku jemput!" Kyai Wotwesi segera memberi perintah dua orang untuk mengantarkan mereka pulang.

Klebat akhirnya memilih ikut pembantunya dan lebih senang berpisah dengan kakek yang tidak tahu bagaimana menghibur cucu yang mengalami nasib tidak menguntungkan seperti itu. Serangan balik pasukan Raden Sutowo telah membuat ibunya tewas. Ia dan kakeknya kemudian harus berusaha menyelamatkan diri, pergi jauh dari wilayah musuh. Dalam pelarian itu otaknya merekam semua hal pahit tentang peperangan, hal yang sangat dibencinya.

Saat perpisahan, Kyai Wotwesi sempat meminta agar cucunya memberikan pusaka Pring Kuning. Tapi Klebat dengan gigih bercampur keras kepala khas anak tak berayah dan beribu, menolak tegas permintaan itu.

Klebat sering merindukan kedua orangtua yang terlalu singkat dikenalnya. Pusaka 'Pring Sambung Nyowo Junjung Drajad' itulah, entah kenapa, menjadi satu-satunya barang yang bisa mengingatkannya kepada mereka dan mengobati kerinduannya.

Kyai Wotwesi sadar akan kehampaan yang ada dalam hati cucunya. Menurutnya, hati itu sudah ditakdirkan untuk mati-matian merindukan apa yang tidak pernah bisa diperolehnya, yaitu cinta kedua orangtua.

"Nak, di saat kakek masih asyik berpetualang memburu kekuasaan, ayah dan ibumu telah pergi. Kakek merasa dituntut untuk bisa menjadi seorang yang bisa menggantikan mereka, yang bisa merawatmu dengan baik, tapi kakek bahkan belum mampu merawat diri kakek sendiri, maafkan kakek. Kamu berhak mempunyai seseorang yang lebih baik dari kakek, dan Mbok Cipluk adalah orang yang tepat untuk itu. Pergilah bersama Mbok. Kalau keadaan sudah aman, kakek pasti akan menjemputmu. Sekali lagi kakek minta maaf!"

Sore sebelumnya, kira-kira sebelum isya', hujan deras mengguyur dataran lembah Gunung Pegat. Lembah angker yang didiami kerajaan jin. Saat itu lewat tengah malam, tanggal lima belas bulan delapan tahun 1500 Masehi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun