***
Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan dengan kencang, menembus kabut petang. Kyai Wotwesi yang duduk di tempat kusir memegang cambuk, sementara mukanya masih pucat dan diliputi kedukaan sangat mendalam.
Di kereta itu terdapat Kebo Klebat yang masih berumur lima tahun dan seorang pembantu bernama Mbok Cipluk. Sedangkan, ibu Klebat yang juga putri semata wayang Kyai Wotwesi telah tewas oleh serangan balik musuh. Bocah kecil itu tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk berkabung.
Namun, setelah memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah yang jalan tanah liatnya becek oleh air, kereta tidak bisa berlari cepat. Akibatnya terpaksa harus di tinggal.
Kyai Wotwesi diikuti sebelas orang pengikutnya melarikan diri menuju ke arah Lamongan. Beberapa jam kemudian, rombongan berkuda itu sudah berdiri di tepi lembah, menyaksikan lautan ilalang sudah berantakan terkulai terkena badai. Tidak tampak ada cahaya. Tidak ada rumah. Ternyata di situ pun banyak mayat bergelimpangan. Rupanya perang lain baru saja terjadi. Salah satu mayat tertusuk tombak tegak di antara rumput tinggi. Banyak kepala yang tergeletak aneh di atas bebatuan. Ada yang tertindih kuda yang mati. Hujan telah membasuh darah, dan dalam sinar terang bulan, mayat-mayat itu menggambarkan seolah satu pasukan besar telah disapu habis.
Mata mereka nanar menyaksikan pemandangan itu dengan sikap dingin. Waktu itu sudah hilang perasaan ngeri melihat mayat. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara gamelan, ditimpah suara jangkrik dan binatang lembah yang mistis.
"Ada suara gamelan!" seru seorang anak buah, "Biar saya ke sana, minta tolong pada mereka!"
"Apa kamu bilang?" tegur Kyai Wotwesi gusar. "Kamu sudah gila? Kamu bisa membuat kita semua terbunuh. Kita harus berhati-hati dan bersembunyi sampai keadaan benar-benar aman!"
Mbok Cipluk yang menggandeng Kebo Klebat dengan hati-hati bilang kepada Kyai Wotwesi, bahwa ia ingin membawa bocah kecil malang itu pulang ke kampung halamannya. Desa itu tidak begitu jauh dari tempat mengerikan itu.
"Kasihan Klebat, Kyai!" Mbok Cipluk memohon, "Tentu jika diperkenankan, saya ingin membawa dia pulang ke kampung saya! Kasihan anak sekecil ini harus ikut lari dalam pengejaran musuh!"
Purnama tanggal lima belas itu menandai kandasnya segala impian Kyai Wotwesi. Kini, bulan yang muram itu sedang memandang ke bawah, dari langit yang tak berawan. Mereka sadar, betapa berbahayanya berada di ruang terbuka, dalam cahaya bulan terang. Pergerakan mereka akan tampak dengan jelas dilihat oleh siapa pun yang sedang mencari musuh yang berkeliaran.