Oleh: Tri Handoyo
Warung ayam bakar yang paling tua dan terkenal di Candimuyo, Jombang. Didirikan sekitar 100 tahun yang lalu, bertepatan dengan saat Majapahit menghadiahi Raden Fatah sebuah tanah perdikan di wilayah hutan Glagahwangi.
Di pagi yang cerah. Seorang pemuda gagah perkasa memasuki warung legendaris itu. Ia disambut bapak pemilik warung, seorang lelaki santun yang mewarisi warung itu dari orang tuanya.
"Selamat datang, Tuan pendekar!" sapa pemilik warung dengan senyum hangat. Lelaki yang menginjak umur enam puluhan itu sangat meyakini bahwa tamunya adalah seorang pendekar. Barangkali pendekar yang sedang mengembara.
Pemuda itu memilih duduk dekat jendela, agar bisa menikmati pemandangan yang menghadap langgar dengan leluasa.
"Di era Majapahit dulu, tempat yang diduduki tuan ini!" Pemilik warung menunjuk meja itu dengan jempol jarinya, "Adalah tempat favorit yang sering dipilih Pendekar Mpu Naga Neraka!"
"Wah, luar biasa?" Rupanya tamu itu sangat senang mendengar penuturan si pemilik warung.
"Kalau Sepasang Pendekar Macan Kumbang lebih senang duduk di pojok kanan sebelah sana!"
Masih banyak tempat kosong. Sang pemilik warung dengan nada bangga terus menyebutkan pendekar-pendekar besar yang pernah berkunjung ke warungnya. "Pendekar Kebokicak, yang jejak pertarungannya dengan Surantanu meninggalkan warisan nama-nama desa di Jombang, jupa pelanggan-pelanggan setia kami!"
"Hm.., luar biasa," Pemuda itu pun terkagum-kagum mendengarnya. Matanya menerawang jauh, mencoba membayangkan para pedekar besar itu seolah-olah kini sedang hadir di warung itu. Ia melihat sosok Pendekar Kebokicak yang tubuhnya bercahaya ditimpah sinar mentari yang menerobos melalui jendela. Di seberang meja duduk sosok angker, Surantanu, Sang Begawan Kegelapan. Lalu kedua pendekar itu lenyap seiring lamunannya yang dibuyarkan oleh celoteh pemilik warung.