Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (101), Para Petarung Ulung

31 Oktober 2024   06:31 Diperbarui: 7 November 2024   18:33 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Warung ayam bakar yang paling tua dan terkenal di Candimuyo, Jombang. Didirikan sekitar 100 tahun yang lalu, bertepatan dengan saat Majapahit menghadiahi Raden Fatah sebuah tanah perdikan di wilayah hutan Glagahwangi.

Di pagi yang cerah. Seorang pemuda gagah perkasa memasuki warung legendaris itu. Ia disambut bapak pemilik warung, seorang lelaki santun yang mewarisi warung itu dari orang tuanya.

"Selamat datang, Tuan pendekar!" sapa pemilik warung dengan senyum hangat. Lelaki yang menginjak umur enam puluhan itu sangat meyakini bahwa tamunya adalah seorang pendekar. Barangkali pendekar yang sedang mengembara.

Pemuda itu memilih duduk dekat jendela, agar bisa menikmati pemandangan yang menghadap langgar dengan leluasa.

"Di era Majapahit dulu, tempat yang diduduki tuan ini!" Pemilik warung menunjuk meja itu dengan jempol jarinya, "Adalah tempat favorit yang sering dipilih Pendekar Mpu Naga Neraka!"

"Wah, luar biasa?" Rupanya tamu itu sangat senang mendengar penuturan si pemilik warung.

"Kalau Sepasang Pendekar Macan Kumbang lebih senang duduk di pojok kanan sebelah sana!"

Masih banyak tempat kosong. Sang pemilik warung dengan nada bangga terus menyebutkan pendekar-pendekar besar yang pernah berkunjung ke warungnya. "Pendekar Kebokicak, yang jejak pertarungannya dengan Surantanu meninggalkan warisan nama-nama desa di Jombang, jupa pelanggan-pelanggan setia kami!"

"Hm.., luar biasa," Pemuda itu pun terkagum-kagum mendengarnya. Matanya menerawang jauh, mencoba membayangkan para pedekar besar itu seolah-olah kini sedang hadir di warung itu. Ia melihat sosok Pendekar Kebokicak yang tubuhnya bercahaya ditimpah sinar mentari yang menerobos melalui jendela. Di seberang meja duduk sosok angker, Surantanu, Sang Begawan Kegelapan. Lalu kedua pendekar itu lenyap seiring lamunannya yang dibuyarkan oleh celoteh pemilik warung.

"Bahkan ketika Pendekar Celurit Setan baru pertama kali berkunjung ke sini, ia kekurangan uang untuk bayar makanan. Untungnya saat itu ada Pendekar Kelabang Karang yang kemudian membayarinya. Namun di kemudian hari, Pendekar Celurit Setan itu termasuk orang yang mengeroyok Ki Kelabang Karang hingga tewas!"

"Ironis!" timpal si pemuda singkat. Niatnya datang ke Jombang memang tidak jauh dari itu, yakni menelusuri jejak pendekar-pendekar besar yang dikagumi banyak orang. Ia tidak sabar menunggu si pemilik warung menyebut nama Ki Kebo Dedet Si Pendekar Kalong Wesi.

"Tuan pasti pernah mendengar tentang Ki Blandotan Kobra?" tanya Ki Woto yang hobi memancing rasa penasaran tamu-tamu warungnya.

"Ya, tentu saja! Sekarang tolong anda ceritakan kisah tentang tewasnya penjahat besar itu! Kabarnya dia tewas di dalam langgar! Bukankah itu kisah yang hingga sekarang paling misterius?"

"Ha..ha.., Tuan Pendekar tidak salah!"

Kebo Klebat, Si Iblis Muka Gedeg, menyimak semua informasi bagaikan seorang bocah yang haus akan dongeng. Kata-kata pemilik warung itu terekam kuat dalam benaknya.

Cerita Ki Woto terus mengalir. Rupanya ia juga sangat menyukai pemuda yang benar-benar tertarik dengan cerita tentang para pendekar besar jaman dahulu. Para petarung ulung.

"Pada masa Ki Wiryo masih menguasai Jombang, siapakah orang yang sangat ditakuti karena keangkerannya? Siapa lagi kalau bukan Ki Blandotan Kobra! Tahukah anda bahwa pendekar paling menakutkan di seantero Nusantara di masa itu tewas di dalam langgar, tersungkur di depan kaki seorang kakek yang hidupnya zuhud dan tidak terkenal. Kakek itu dikenal dengan sebutan Mbah Kucing. Tidak ada yang percaya bahwa penjahat besar itu tewas di tangan seorang kakek kerempeng!"

"Tapi siapa lagi kalau bukan dia?"

"Di situlah misteriusnya!" ujar Ki Woto dengan menampakan wajah kosong. "Saya sendiri sampai sekarang juga heran. Lalu bila menyebut palang pintu benteng Kademangan, dialah Topo Surantanu Si Begawan Kegelapan. Kekuatannya setara dengan seratus orang lelaki dewasa. Belum ada ceritanya dia kalah dalam pertarungan satu lawan satu. Tahukah anda bahwa pendekar tersakti itu ditaklukan oleh seorang pemuda sederhana, yaitu Joko Tulus Si Pendekar Kebokicak."

"Oh iya, Ki, benarkah Surantanu dan Ki Blandotan Kobra itu murid Nini Jailangnak Siluman Betina?"

"Iya benar, tapi mereka beda generasi. Jika Nini Jailangnak mau mengangkat seorang murid, itu berarti murid sebelumnya sudah tewas. Tahukah anda siapa yang menghabisi Siluman Betina itu? Tidak lain adalah Topo Surantanu. Muridnya sendiri!"

"Murid yang tidak tahu diri!"

"Iya betul. Kemudian siapa jawara perang paling piawai memadukan silat dan sihir? Pasti orang akan menyebut nama Ki Kalong Wesi!"

'Hmm.., dia ayahku!' gumam Kebo Klebat bangga.

"Tahukah anda bahwa sosok paling menggetarkan nyali setiap pendekar itu tewas mengenaskan di tangan seorang pemuda rendah hati. Pemuda itu adalah Lintang, Pendekar Pedang akhirat!"

'Hmm.., Pendekar Pedang Akhirat, kamu akan menyesal karena telah membunuh ayahku! Tunggu kedatangan Iblis Muka Gedek!' Dia tanpa sedikit pun keraguan dalam menjalani kehidupan sebagai seorang penjahat. Dia bersumpah akan mempermalukan Lintang Kicak di mata dunia persilatan dan akan membunuhnya dengan sangat kejam.

"Oh iya kenalkan, saya Marwoto. Saya pemilik warung ini. Kalau boleh tahu siapakah nama anda, Tuan Pendekar?"

"Nama saya Kebo Klebat, Pak!"

"Ah.., saya jadi ingat pendekar yang bernama Kebo Dedet, yang lebih dikenal dengan Ki Kalong Wesi!"

Nah akhirnya saat yang dinanti tiba. "Coba ceritakan tentang Ki Kalong Wesi, Ki Woto! Saya sangat penasaran dengan pendekar tersebut!"

"Tapi silakan Tuan menikmati hidangannya dulu!" kata pemilik warung bersamaan dengan datangnya seorang pelayan muda yang menyajikan makanan di atas meja.

"Ah tapi saya lebih senang mendengar cerita Ki Woto!"

"He..he..," Pemilik warung tersenyum lebar tanpa mampu menyembunyikan rasa bangga, "Masih banyak waktu, dan saya masih menyimpan banyak cerita tentang tokoh-tokoh besar dunia persilatan jika Tuan Pendekar berkenan mendengarnya! Tapi sekarang silakan Tuan nikmati hidangannya terlebih dulu! Permisi!"

"Sebentar, Ki, menurut anda apakah Kebokicak itu adalah orang yang sama dengan Lintang?"

"Menurut saya tidak. Mereka berdua memang sangat mirip, dan sama-sama memiliki kesaktian yang hebat. Akan tetapi Lintang kabarnya memiliki tanda lahir berbentuk bintang di bagian belakang kepalanya! Itu yang jelas membedakan mereka!"

"Apakah tanda seperti itu tidak bisa dibuat?"

"Tentu saja bisa! Tapi buat apa dia melakukan itu? Tapi entahlah, he..he.., saya tidak mau ambil pusing mengenai itu!"

Lalu lalang orang lambat laun ramai mewarnai jalanan. Kuda yang menarik kereta dan lembu yang menarik pedati membawa penumpang dan barang ke berbagai tempat tujuan. Ringkik dan lenguhnya bak musik pengantar aktifitas pagi.

Kebo Klebat dengan cepat menghabiskan sarapannya. Sepertinya tidak sabar, segera memanggil bapak pemilik warung, menagih cerita tentang Ki Kalong Wesi, sosok yang paling penting dalam kehidupannya.

Dengan tinggi sekitar 185 sentimeter, Kebo Klebat cukup jangkung dibandingkan kebanyakan orang pada masa itu. Tubuhnya seperti tubuh banteng yang gagah, kekar dan lentur, dengan tangan dan kaki yang gesit. Alisnya hitam tebal, tampak menambah kejantanannya. Pendekar yang dijuluki Iblis Muka Gedek itu adalah putra satu-satunya Ki Kebo Dedet. Ia datang ke Jombang khusus hendak menuntut balas dendam atas kematian ayahnya.

Sosok pendekar berusia di awal dua puluhan itu punya kebiasaan aneh, yakni suka memisahkan dua kubu yang sedang berperang. Ia pada dasarnya memang sangat membenci peperangan. Namun yang seringkali terjadi, ketika sedang memisahkan sebuah peperangan, ia justru menikmati saat menjadi sasaran amukan amarah dari kedua belah pihak.

Akhirnya, demi alasan membela diri, ia melakukan pembantaian. Untungnya ia memang memiliki kesaktian yang luar biasa hebat. Sungguh aneh. Ia benci peperangan namun justru menikmati pertarungan. Baginya hal itu mendatangkan kepuasan tersendiri.

Kemunculannya yang pertama dan langsung menggemparkan dunia persilatan terjadi ketika Majapahit di bawah kepemimpinan Dyah Ranawijaya digempur oleh Demak.

Pasukan Demak dipimpin oleh Sultan Trenggana yang baru menginjak usia tujuh belas tahun. Seorang tokoh yang memiliki jiwa patriotisme luar biasa. Di samping itu ia juga lihai membakar semangat pasukannya. Terbukti, serbuan pasukannya bagaikan badai puting beliung yang tak terbendung.

Pintu gerbang kotaraja Daha jebol, dan pertahanan terakhir sudah akan mencapai benteng istana. Tiba-tiba muncul sosok manusia bertopeng gedek, topeng terbuat dari anyaman bambu, yang meloncat ke sana-ke mari merobohkan setiap orang yang sedang bertarung.

"Berhenti..!" teriaknya lantang di tengah aksi menebar maut, "Berhenti..!"

Tentu saja kejadian itu membuat semua orang tercengang. Heran sekaligus kagum. Belum pernah di belahan dunia manapun, ada seseorang yang mencoba menghentikan peperangan yang tengah berlangsung sengit.

"Benar-benar edan..!" gumam para prajurit yang menyaksikannya, sulit mempercayai pandangan mata mereka sendiri.

"Berhenti atau aku terpaksa hentikan dengan caraku sendiri!" teriak pendekar bertopeng gedeg yang dari suaranya jelas ia masih muda.

Satu per satu pasukan dari kedua belah pihak telah roboh di tangannya. Menjadi mayat. Kedua pihak yang tengah bertempur itu terpaksa berhenti dan sesaat memilih mundur. Mereka semua tertegun menyaksikan betapa pendekar muka gedeg itu kemudian dengan santainya menumpuk mayat-mayat di tengah pelataran. Mungkin ratusan jumlahnya.

Di dunia persilatan belum pernah ada yang kenal siapa sebenarnya sosok pendekar bertopeng gedeg itu. Sebuah misteri yang membuat siapa pun menjadi penasaran. Tidak sedikit yang berusaha keras menggali informasi untuk menguak misteri itu. Sebuah keuntungan besar bagi yang berhasil mengambil hati pendekar yang sangat sakti itu agar bersedia berada di pihaknya. Akan tetapi, semenjak kemunculannya beberapa tahun silam sampai sekarang belum ada yang berhasil mendapatkan jawabannya. Dunia persilatan hanya mengenalnya dengan julukan Iblis Muka Gedeg.

Seiring berjalannya waktu, ia kemudian sering mendengar obrolan masyarakat yang menyebutkan bahwa hanya ada satu orang di muka bumi ini yang mampu menandingi kesaktian dirinya, yakni, Lintang Kejora alias Pendekar Pedang Akhirat. Itulah awal mula ia merasa penasaran dengan pendekar yang ternyata juga sebagai pembunuh ayahnya.

'Ayah, aku berjanji untuk melakukan sesuatu yang bakal betul-betul membuat ayah bangga!' janji Kebo Klebat penuh keyakinan, 'Aku akan mengirim Pendekar Pedang Akhirat secepatnya menuju akhirat! Pasti!'

 

***

Tidak lama kemudian Kebo Klebat tampak keluar dari warung dan melangkahkan kaki menuju rumah di sebelah utara langgar. Ia melihat kakek tua yang tampaknya sedang berkebun di taman yang asri.

Bagi pendekar-pendekar silat yang tingkat ilmunya sudah tinggi, melakukan serangan tanpa menggerakkan anggota tubuh bukanlah hal yang aneh. Suara pun adalah bagian dari senjata yang sebetulnya lebih ampuh dari pada runcingnya tombak. Bagi mereka yang tenaga dalamnya sangat kuat, maka suaranya dapat diisi gelombang energi yang cukup untuk merobohkan musuh. Getaran energi itu bisa menyerap tenaga, bisa menggetarkan organ-organ tubuh dan menghancurkan urat-urat syaraf.

Angin yang cepat menyambar ke arah kakek tua dan jelas tampak betapa baju di bagian tepinya berkibar-kibar tersambar energi dasyat. Akan tetapi, kakek itu hanya menengok sambil melempar senyum tipis, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia tidak sedikit pun merasakan datangnya pukulan jarak jauh itu. Laksana sebongkah batu karang ditiup semilir angin.

Sesungguhnya kakek yang dijuluki Mbah Kucing itu tahu bahwa ada serangan gelap. Akan tetapi pukulan yang mengandung tenaga dasyat itu seolah sama sekali tidak terasa. Tidak berarti apa-apa. Saat itu ia sedang pulang dari tempat pertapaan rahasianya.

Mbah Kucing telah berlatih semedhi demi menghimpun hawa murni selama seratus tahun lebih, oleh karena itu ia memiliki tenaga dalam yang besar dan yang kini telah menjadi satu dengan pernapasan serta aliran darahnya, sehingga tenaga sakti itu akan otomatis bereaksi setiap kali ada bahaya datang mengancam.

Kebo Klebat bahkan merasa badannya terguncang oleh pantulan balik tenaganya sendiri. Kuda-kuda kakinya pun bergeser mundur selangkah. Di saat sedang mengalami ketakjuban itu, ia dikagetkan oleh suara seorang gadis.

"Hei, kenapa kamu seenaknya menyerang orang tidak bersalah?" tanya gadis bernama Alya, yang muncul dari dalam langgar. Dia adalah gadis belia berusia tujuh belas tahun, berkulit terang dan berambut hitam mengkilat, tubuh dan anggota badannya indah. Sosoknya itu menyiratkan kesan kudus, tidak seperti gadis-gadis desa pada umumnya yang biasa bekerja di ladang, yang kekar dan kecoklatan terbakar matahari. Gerak-geriknya anggun, lehernya jenjang dan wajahnya bercahaya. Kini, selagi berdiri di teras langgar, ia tampak bagai seorang peri dari negeri dongeng.

Kebo Klebat terpana melihat kecantikan itu dan membuat hatinya bergetar hebat. Ia segera melupakan si kakek. "Boleh tahu siapa namamu?" tanyanya gugup.

"Tidak boleh! Kamu orang jahat!" jawab Alya ketus.

Klebat langsung menaruh simpati. Sekalipun gadis itu masih belia, namun sikap dan bicaranya seperti wanita dewasa, dan gerakannya selalu membuat orang terpesona. Tapi ketika mata yang bening dengan bulu matanya yang lentik panjang menatap tajam, tiba-tiba Klebat merasakan sesuatu yang berada jauh di dalam hatinya mulai mencair.

"Ada apa, Mbak Alya?" tanya Raden Ghandi yang menyusul keluar dari langgar. Ia diikuti adik-adiknya, Khadiyah dan Zulaikah, serta Manggala putra Mahesa.

"Orang ini tiba-tiba menyerang Mbah Kucing!" jawab Alya.

"Kurang ajar sekali! Biar aku hadapi dia!" sahut Raden Ghandi dengan sikap berani dan siap-siap melangkah maju.

"Hmm..!" gumam Klebat, 'Bocah tidak tahu diri! Kalau aku mau sekarang juga kamu bisa kujadikan perkedel!'

"Sudah-sudah!" Mbah Kucing melerai. "Jangan berkelahi!"

"Iya, hajar saja orang jahat itu, Kangmas Ghandi!" celetuk Zulaikah, gadis kecil yang memiliki suara centil menggemaskan.

Mbah Kucing menyahut, "Huss, si kecil ini kok malah senang kalau ada orang berkelahi! Tidak boleh, itu tidak baik!"

Zulaikah malah tertawa cekikikan dan karena tingkah lakunya yang lucu, kemudian diikuti tawa oleh yang lain.

"Jangan begitu anak-anak!" nasehat Mbah Kucing dengan sikap penuh kesabaran.

"Hei pergi sana orang jahat!" sambung Zulaikah belum puas.

Klebat mengira Alya, Ghandi, Khadiyah, Zulaikah dan Manggala itu kakak beradik. Saudara yang tampak sangat kompak dan sangat bahagia. Ia merasa iri sekaligus kagum, dan secepat kilat segera menghilang dari tempat itu.

Ia tidak pernah menyangkah bahwa hari itu akan meninggalkan kenangan yang tak akan pernah terlupakan sepanjang perjalanan hidupnya. Kenangan yang banyak memberi pelajaran berharga. Kisah para petarung ulung. Kakek tua yang luar biasa sakti, bocah-bocah kecil yang berani dan lucu, serta seorang gadis cantik yang sangat istimewa.

Bagi ia yang sudah tercebur dalam kegelapan dendam kesumat, gadis itu tiba-tiba memberi cahaya, lalu mengentasnya ke keadaan terang. Mendatangkan perasaan yang sungguh aneh. Keganasannya menguap laksana embun tertimpah cahaya surya. Ia ingin memiliki gadis itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun